Yang Bapak dan Ibu tahu aku adalah anak baik sampai detik ini. Berangkat dan pulang kerja seperti biasanya. Memberikan sebagian gajiku untuk memenuhi kebutuhan rumah dan biaya sekolah Danu. Keduanya sama sekali tak menaruh curiga setiap kali aku beralasan menginap di rumah Elisa. Sebegitu percayanya mereka padaku.
Pak Damar memintaku untuk pindah ke apartemennya. Aku sudah memegang kode keamanan unitnya. Permintaannya belum kuiyakan. Aku tak tahu harus beralasan apa pada kedua orang tuaku. Rumah ke restoran tempatku bekerja hanya berjarak satu jam setengah jika ditempuh dengan bus kota. Apa alasan terlalu lelah di sepanjang perjalanan bisa kugunakan?
Keadaan Bapak sudah jauh lebih baik. Bapak sudah bisa beraktivitas, meskipun tak boleh terlalu kelelahan. Bapak sudah mulai sering duduk-duduk di teras rumah sambil menemani Ibu berjualan nasi uduk setiap paginya.
Kuputuskan untuk mengatakan soal rencana kepindahan pada Bapak dan Ibu. Rasa-rasanya, aku memang harus menggunakan alasan lelah di perjalanan. Aku tak punya alasan lain.
"Pak ... Bu, aku mau bicara."
"Bicara apa, Di?" sahut Bapak. Ia menepuk sisi kosong bale bambu yang didudukinya. "Sini."
"Aku mau ngekos. Boleh?" Kuamati raut wajah keduanya yang seketika berubah bingung. "Aku mau mandiri."
"Kenapa harus ngekos? Rumah ini kan cukup untuk kita semua."
"Pertimbangan jarak rumah dan restoran yang lumayan jauh. Aku sering ngerasa capek di perjalanan. Efeknya aku pun suka ngantuk di tempat kerja."
"Selama ini kayaknya kamu baik-baik aja, Di," sahut Ibu. "Kamu nggak lagi aneh-aneh, kan?"
"Nggak, Bu. Aku beneran cuma mau mandiri aja. Beberapa hari yang lalu aku ditemani Elisa cari-cari kosan dekat restoran. Sudah dapat dan sempat tanya harga per bulannya juga. Aku cocok sama keadaan kosannya."
"Di, ngekos itu nggak sesederhana pikiranmu. Setiap bulan kamu harus menyisihkan uang untuk bayar dan uang makan. Apa sudah kamu pertimbangkan?"
"Tenang, Bu. Semuanya sudah aku perhitungkan. Rencanaku pindah nggak akan mencampuri urusan uang bulanan rumah ini. Gajiku naik, Bu," ucapku bohong. Padahal, gajiku ya masih segitu-segitu saja.
"Apa tmpat kosnya aman?" tanya Bapak. Aku mengangguk. "Laki-laki dan perempuan dicampur?"
"Nggak, Pak. Ini rumah kos khusus untuk putri. Nggak akan ada laki-laki selain penjaga kos."
"Bapak kasih izin. Tapi, kamu harus tetap jaga diri. Jangan terbawa pergaulan yang nggak baik. Setiap libur, pulang ke rumah. Paham?"
Paham, Pak."
Andai Bapak tahu, sebaik apapun usaha yang kulakukan untuk menjaga diri, nyatanya aku harus menyerah pada takdir dan kenyataan.
"Paham, Pak."
"Kapan mau pindahnya?" tanya Ibu.
"Kalau Ibu dan Bapak kasih izin, besok aku berangkat. Nanti malam aku packing barang-barang yang mau dibawa. Aku nggak akan bawa banyak barang. Cuma baju-baju aja karena semuanya sudah ada di sana."
"Mau diantar sama Ibu dan Bapak?"
"Jangan, Bu!" jawabku refleks.
"Lho, kenapa? Kami kan juga mau tau tempat tinggal yang nantinya bakal kamu tempati."
"Bapak masih harus banyak istirahat. Aku bakal sering-sering pulang, kok."
"Ya sudah. Terserah kamu. Ibu buatin lauk-lauk yang sekiranya awet disimpan lama, ya. Kamu bisa hemat sedikit untuk masalah makanan."

KAMU SEDANG MEMBACA
Ingin Bahagia
RomanceUPDATE SETIAP SENIN Menjadi seorang penjaja seks komersial jelas bukan keinginan Diandra. Namun, kebutuhan memaksa dan Diandra sama sekali tak punya pilihan. Untuk kali pertama, ia harus menjual keperawanannya pada seorang laki-laki demi uang. Sela...