Chapter dua update, nih!
Yuk, yang belum follow dan masukkin ke library segera yaaaa!Aku pasti sudah gila! Kuterima tawaran pekerjaan yang diberikan Mami Ita padaku. Aku tak punya pilihan lain, setidaknya untuk saat ini. Aku butuh uang itu dengan cepat. Ia akan segera memberi kabar ketika sudah menemukan pembeli yang tepat.
Sepulangnya dari tempat Mami Ita, kusempatkan untuk pulang sebelum ke rumah sakit. Bapak masih dirawat di ruang ICU. Selama beberapa hari ini, kami berjaga secara bergantian. Biasanya, setelah aku datang Ibu akan pulang dan kembali keesokan harinya.
"Dari rumah, Di?" tanya Ibu. Aku mengangguk dan segera meletakkan tas di atas bangku ruang tunggu. "Kok tumben telat banget."
"Tadi pulang kerjanya agak telat, Bu. Bu Viona minta semua staf untuk kumpul," jawabku bohong. Aku jelas sangat gila kalau sampai kukatakan yang sebenarnya. Aku belum siap kalau Ibu sampai menyusul Bapak ke ICU. "Ada perkembangan apa, Bu?"
"Tadi Dokter Feri sempat ngomong sama Ibu. Kenapa kamu nggak bilang kalau Bapak harus dipasang ring?"
"Bukannya nggak bilang, Bu. Belum sempat."
"Di, biayanya mahal banget. Tadi Ibu tanya ke Dokter Feri. Dia bilang bisa 100 juta lebih. Kita dapat uang sebanyak itu dari mana, Di? Apa nggak lebih baik kalau Bapak dibawa pulang dan berobat alternatif? Ibu pernah ingat kalau Pak Handoyo sembuh dibawa ke Pak Haji yang ada di Pasar Minggu. Sakit jantungnya sembuh cuma dikasih minum air putih yang didoakan dan air rebusan rempah-rempah."
"Bu, aku nggak mau ambil resiko kalau itu soal nyawa. Masalah biaya, Ibu jangan khawatir. Aku lagi berusaha untuk bisa dapetin uang itu."
"Coba kamu pikirin lagi usulan Ibu, Di." Ibu terus saja bersikeras. Aku menggeleng.
"Sekarang, Ibu pulang diantar Danu. Biar aku yang jaga Bapak di sini, ya. Ibu bisa ke sini lagi besok pagi."
"Ibu pulang sendiri aja, Di. Biar Danu temani kamu di sini. Ibu nggak tega kalau kamu jaga di sini sendirian. Pesan ojek online aja buat Ibu."
Aku menuruti kemauan Ibu. Alih-alih memesan ojek online, sebuah taksi pun menjadi pilihanku. Usia Ibu yang sudah tidak muda lagi menjadi pertimbanganku. Angin malam terlalu berbahaya untuk kesehatan.
Setelah mengantar Ibu ke lobi dan memastikannya masuk ke taksi, aku kembali naik ke lantai atas. Di sana, Danu sedang duduk bersandar dengan kedua tangan yang terlipat di dada. Aku duduk di sebelahnya.
"Kamu kenapa?" tanyaku. Ia menggeleng. "Mikir soal apa?"
"Aku minta maaf karena nggak bisa bantu Mbak cari uang untuk biaya operasi Bapak."
"Jangan pikirin soal itu. Tugas kamu cuma satu. Belajar. Besok nggak sekolah?"
"Nggak, Mbak. Kan besok hari Sabtu. Mbak lupa, ya?"
"Mbak terlalu sibuk mikirin gimana bisa dapetin uang sebanyak itu sampe lupa sama hari."
"Mbak, soal studi tur itu ...."
"Kenapa?" sahutku. Melihat raut wajahnya, aku jelas bisa menebak apa yang akan dikatakannya. "Kamu mau bilang kalau nggak usah ikut. Begitu, kan?"
"Iya, Mbak. Aku nggak mau nambah beban pikiran untuk Mbak. Biayanya nggak murah, Mbak. Bisa kita pakai untuk tambahan biaya operasi."
"Kamu satu-satunya harapan Mbak, Nu. Mbak nggak bisa kuliah setelah lulus sekolah. Mbak nggak mau kamu kayak Mbak. Kamu harus sekolah yang tinggi. Mbak yang akan biayai kamu. Mbak harap kelak kamu bisa mengangkat derajat keluarga kita dengan pendidikan."

KAMU SEDANG MEMBACA
Ingin Bahagia
RomansaUPDATE SETIAP SENIN Menjadi seorang penjaja seks komersial jelas bukan keinginan Diandra. Namun, kebutuhan memaksa dan Diandra sama sekali tak punya pilihan. Untuk kali pertama, ia harus menjual keperawanannya pada seorang laki-laki demi uang. Sela...