12

1.3K 194 14
                                    

Ya Tuhan! Kenapa sentuhannya selalu menjadi candu untukku? Usapan lembutnya di seluruh permukaan punggungku yang basah karena keringat pertempuran. Embusan napasnya terasa begitu ... memabukkan. Harum cairan pencuci mulut dengan sensasi mint bercampur greentea terasa begitu ... seksi. Mas Damar selalu berkumur dan membersihkan mulut sebelum kami melakukannya. Seketika aku langsung melupakan apa yang membuat kami terpisah hampir sebulan ini.

Suasana di kamar terasa begitu erotis. Teriakkan, lenguhan, desahan dan erangan bercampuraduk menjadi satu. Begitu membahana seiring dengan tumbukkan dan cecapan yang tercipta. Mas Damar belum berhenti menghujam bagian bawahku. Apa yang sudah kami lalui selama ini sudah membuatku terbiasa. Kalau di awal aku berusaha mati-matian menahan desahan karena malu, maka sekarang tidak lagi. Aku pun tak lagi menggunakan bantal untuk menutup wajah merah padamku karena malu.

“Kamu seksi banget kalau lagi begini,” ucapnya sambil terengah. Aku begitu menikmati gempurannya yang semakin lama terasa semakin menggila. Aku hanya mampu mengangguk. “Aku rindu saat-saat kayak begini, Di.”

“Kamu nggak cari perempuan lain selama aku nggak ada kan, Mas?” sahutku. Ia menggeleng. “Awas aja kalau sampai kamu cari perempuan lain untuk pelampiasan. Aku nggak akan mau disentuh kamu lagi.”

Kecupannya membabi buta di seluruh tubuhku. Isapan kuat di puncak dadaku membuatku menjerit kencang. Jeritan kenikmatan. Lidahnya menari-nari memainkan puncaknya yang menegang.

“Mas, sudah. Geli ....” Aku menggeliat dalam kungkungannya. Digarap sekaligus atas dan bawah membuatku hilang akal. Kusaksikan Mas Damar yang menyeringai puas melihat responsku akan perlakuannya.

“Tapi, kamu suka, kan?” tanyanya yang kujawab dengan anggukkan. “Aku suka semua yang ada di diri kamu.”

Diandra yang selama ini dikenal baik sudah benar-benar menjelma menjadi wanita binal. Aku tak ada bedanya dengan pelacur yang kerjanya memuaskan nafsu pria-pria hidung belang di rumah bordil. Aku simpanannya. Aku gundiknya.

Mas Damar mengerang kencang saat mencapai pelepasannya. Beberapa kali ia menggaungkan namaku. Terdengar begitu menggoda di telinga.

Tubuh lemasnya terkapar di sebelahku. Semburat sinar dari lampu tidur menciptakan kesan mengkilap di tubuh berkeringatnya. Deru napasnya masih belum sepenuhnya teratur.

Hampir satu jam kami bergelut bertukar keringat. Makan malam pun terlupakan. Kalau kubiarkan, Mas Damar akan tidur setiap kali pergumulan selesai. Kuminta ia untuk segera membersihkan diri. Kupanasi semua makanan. Aku menunggunya di meja makan.

Dengan keadaan yang segar, ia bergabung denganku di meja makan. Kami masih saja terkekeh tiap kali mengingat apa yang baru saja terjadi. Saat makan, kakinya usil menggoda kakiku dari bawah meja.

“Jangan bercanda terus, Mas! Cepat makannya. Sudah malam. Aku kan juga mau istirahat. Capek banget.”

“Masakan kamu enak banget,” pujinya. Sengaja kumasak semua makanan yang ia suka. “Selama kamu pergi, makanku nggak teratur.”

“Aku tau. Kamu sering makan mi isntan, kan?” tanyaku. Ia mengangguk. “Kalau aku yang makan mi instan, kamu ngomel-ngomel nggak jelas.”

“Beda ceritanya, Sayang.”

“Mas, kenapa sih waktu itu kamu muncul di rumahku?” tanyaku penasaran. Sejak malam itu, meskipun kami sudah mulai berkomunikasi lagi, aku tak pernah menanyakan perihal kedatangannya ke rumah kedua orang tuaku. “Kenapa?”

“Aku nggak mau kamu dijodohin sama laki-laki itu,” ucapnya tegas. Denting sendok dan garpu yang beradu terdengar jelas di ruang makan. “Aku cuma mau memperjelas hubungan ini di depan Bapak dan Ibu kamu.”

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 31, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ingin BahagiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang