3

1.3K 294 42
                                    

Perlahan kulonggarkan pelukan Pak Damar yang terasa begitu erat. ia masih terlelap. Kuambil semua pakaian yang tercecer di lantai dan masuk ke kamar mandi. Ada rasa nyeri di bagian intiku. Dan semakin terasa nyeri saat buang air kecil.

Saat keluar dari kamar mandi, aku dibuat terkejut karena laki-laki yang mengoyak keperawananku sudah terbangun dari tidurnya. Ia menatapku sebentar, lalu kembali sibuk dengan ponsel yang ada di genggamannya. Hanya selang beberapa menit, Pak Damar bangun tanpa menghiraukan sama sekali tubuhnya yang tak dibalut sehelai benang pun.

Kutatap noda darah yang ada di sprei. Noda itu menjadi saksi apa yang terjadi dengaku tadi malam. Noda itu juga yang menjadi saksi kalau aku tak lagi berharga.

Dengan santai, Pak Damar berjalan melewatiku dan masuk ke kamar mandi. Cukup lama aku menunggunya. Sekitar sepuluh menit setelahnya, ia keluar dengan balutan jubah mandi yang disiapkan pihak hotel di kamar mandi.

"Pak, saya ...."

"Kamu ingat omongan saya tadi malam, kan?"

Omongan apa?

"Kamu cuma boleh melayani saya. Saya nggak mau ada orang lain yang pakai kamu. Paham?"

Apa itu artinya aku harus terus-terusan bergelung di pekerjaan ini? Tapi, bukan begitu rencana awalnya! Aku hanya butuh uang untuk biaya operasi Bapak. Aku sama sekali tak berniat untuk menggeluti pekerjaan sampingan sebagai seorang wanita pemuas nafsu.

"Tapi, Pak ...."

"Kita sudah buat kesepakatannya semalam. Kamu nggak bisa mundur. Lagipula, harus saya akui kalau kamu bisa memuaskan saya di ranjang. Saya suka body kamu. Jadi, kamu harus siap kalau sewaktu-waktu saya butuh kamu."

"Saya punya pekerjaan yang nggak bisa ditinggal seenaknya, Pak," sanggahku.

"Kalau begitu, kamu bisa resign."

Resign? Gilakah dia? Aku harus berhenti dari pekerjaan yang sudah bertahun-tahun menafkahiku dan keluarga?

"Saya nggak bisa, Pak. Saya butuh pekerjaan itu. Saya tulang punggung keluarga."

"Maka kita bisa buat kesepakatan baru. Kamu kasih tau saya jadwal kerja kamu setiap harinya, jadi saya bisa menyesuaikan waktu setiap kali saya butuh kamu."

Ternyata berhubungan dengan laki-laki ini sangatlah rumit. Kenapa dia yang harus menjadi pembelinya?

OoO

Pak Damar bersikeras untuk mengantarkanku ke bank. Aku memang berniat untuk menarik uang yang semalam ditransfernya. Jumlah nominal yang besar memaksaku untuk datang langsung ke bank.

"Saya nggak mau ambil resiko kamu kehilangan uang. Kamu sudah berkorban banyak demi uang itu," ucapnya saat mobil yang dikendarainya kembali melaju. Tujuan selanjutnya adalah rumah sakit di mana Bapak dirawat. Sesampainya di lobi rumah sakit, aku tak langsung keluar. "Diandra, saya minta kamu kasih tau saya siklus bulanan kamu. Bisa, kan?"

"Bi—bisa, Pak. Saya permisi dulu."

Dengan perasaan bahagia bercampur lega, aku segera menaiki lift menuju ke lantai atas. Seperti biasa, Ibu dan Danu ada di ruang tunggu. Semalam, sebelum bertemu dengan Pak Damar kukatakan pada Ibu kalau aku tidak bisa menyusul ke rumah sakit karena sedang kurang sehat.

"Kenapa ke sini, Di? Kan lagi kurang sehat. Seharusnya kamu tidur di rumah."

"Sudah enakkan kok, Bu. Aku mau ketemu sama Dokter Feri."

"Mau ngpain, Di?"

"Mau konsultasi soal operasi Bapak supaya Dokter Feri bisa langsung tentuin jadwalnya."

Ingin BahagiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang