Perbincangan kecil

32 8 5
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

...

Hari ini hari Sabtu. Mungkin bagi sebagian orang akan terasa sangat menyenangkan karena di keesokan harinya adalah Minggu. Tapi hal itu tidak berlaku untukku. Karena setiap Sabtu, selalu ada Matematika.

Bolehkah kita protes untuk menghapus mata pelajaran itu dari sekolah?

Aku mengeratkan jaket pink pastel yang kukenakan, cuaca pagi ini cukup bagus, setidaknya tak akan mempengaruhi mood. Ternyata aku tidak sadar jika aku sendiri mengikuti nasehat lelaki itu untuk terus membawa jaket, tak tau ini sebenarnya otak dan hatiku tidak sinkron atau memang aku yang tidak menyadarinya. Biarlah, toh tidak ada salahnya juga membawa jaket.

Kedua netraku menyapu seisi bus, pantas saja ada yang terasa kurang dan janggal. Rupanya, lelaki dengan earphonenya itu tidak ada di kursi sebrang. Entahlah, mengapa pula suasana bus pagi ini terasa ramai, jadi sedikit berdesakan. Untungnya aku sempat kebagian kursi duduk. Semenit berlalu, aku yakin dalam hitungan detik sang supir akan menarik pedal dan melajukan bus bernomor 07 ini.

Tapi... kenapa hatiku agak resah ya? Padahal biasanya tidak begini, aku terus-terusan melirik kursi sebrang yang sudah di tempati oleh seorang anak kecil. Rasanya aneh saja kalau bukan Harsa yang menduduki.

Namun kegelisahan itu salah. Salah besar. Orang yang sedari tadi berkeliaran di dalam pikiranku akhirnya muncul. Dia menyapa supir dengan senyuman khas, membenahkan posisi ranselnya sambil mengatur napas. Aku tidak yakin saat itu, apakah aku sadar bahwa detik itu pula aku ikut menarik senyuman simpul disana.

Selesai, setelahnya bus bernomor 07 sungguh bergerak. Kulihat lelaki itu celingukan, dia segera berlari kecil kearahku. Sejurus kemudian, dia meraih pegangan bus yang bergantung rapi sambil menyapa hangat.

"Selamat pagi, Luna!"

Kalau boleh jujur, sejak aku mengetahui rahasia kecil itu dua hari lalu, lelaki pemilik nama Harsa Astama lah yang mengisi kekosongan di otakku setiap detiknya.

Huft... sial!

Sekitar sepuluh menit berlalu, tanpa di rasa pula satu persatu penumpang bergiliran untuk turun, kursi di sebelahku sempurna kosong. Tepat saat itu pula, pemuda Astama yang sedari tadi kuperhatikan mengambil tempat.

"Sudah sarapan?" tanyanya begitu saja. Aku mengangguk canggung, sebenarnya banyak sekali pertanyaan yang ingin kutanyakan pada lelaki itu, tapi apa boleh buat? kami dekat saja tidak.

"Oh iya, kalau kupikir-pikir kita belum berkenalan dengan benar ya? hanya tau raga masing-masing, bukan?" Tidak tau, aku refleks terkekeh sambil mengangguk setuju.

"Namaku Harsa Astama, dari sekolah Nusantara. Dan kamu pastinya Luna, kan? Aku tau namamu dari berkas tes ujian tahun lalu. Bukankah dulu kamu pernah ikut tes masuk ke SMA Nusantara?"

Aku melotot sedetik. Astaga, ternyata dari sana pemuda ini mengetahui identitasku? Benar-benar tak terduga!

"Iya, kamu benar. Agak malu ya, padahal skor nilaiku nyaris berhasil masuk 150 kuota murid yang di terima," balasku mulai mengikuti topik obrolan.

"Hei kenapa malu segala sih? Kamu berada di urutan 155 dari 1000 orang. Itu kan sudah bagus, bayangkan siswa yang ada di urutan 151? Pasti dia merasa hidupnya terlalu konyol. Lagi pun dari 150 siswa yang di terima belum tentu mereka semua sungguhan daftar di SMA Nusantara!" jelas Harsa dengan nada bicaranya yang lumayan nyaman. Wajahnya selalu terlihat ceria, setelah di lihat, ternyata Jea juga hampir mirip dengan Kakaknya itu.

Perbincangan kami berjalan tanpa arah, membahas hal aneh, seperti mengapa air itu bening, atau kenapa pelangi bisa di beri nama pelangi. Di luar dugaan, Harsa membawa banyak pengaruh di sekitarku. Kalau hari biasanya cuma diam suntuk dan membaca novel, kali ini rasanya sangat menyenangkan. Baru pertama kali aku berbicara panjang lebar bersama seseorang. Dan yang lebih menyenangkan lagi, rupanya kami punya kesukaan yang sama, yaitu makan mie ramen di malam hari sambil bermain game atau menonton film tanpa kenal waktu.

"Sampai jumpa, Luna! Semoga kita lebih dekat lagi kedepannya, eh terima kasih juga untuk permennya!" Kulihat Harsa melambai-lambai kegirangan, menunjuk beberapa bungkus permen pemberianku di genggamannya.

Senyumannya yang sangat teduh itu membuatku tak mampu menahan lengkungan di bibir yang merekah. Manis, sungguh manis.

Tunggu!

Apa yang baru kukatakan?

Ah, maksudku itu sedang memuji ciptaan Tuhan...

Ada apa ini?

Sepertinya aku sudah gila ya?

...

bonus pict

Harsa udah mirip penjaga halte deh!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Harsa udah mirip penjaga halte deh!

Kata Harsa:

"Soalnya kalau mau ketemu ayang perlu perjuangan"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Soalnya kalau mau ketemu ayang perlu perjuangan"

April Wishlist ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang