Kemana?

29 7 5
                                    

-Psst! Luna siap bertemu Harsa!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-Psst! Luna siap bertemu Harsa!

-Psst! Luna siap bertemu Harsa!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

...

Dewi matahari memancarkan sinarnya dengan adil. Angin pagi menyapa tanpa malu, pukul setengah sepuluh ternyata sudah terasa terik.

Aku menatap pantulan diriku dari cermin. Hari ini aku mengenakan gaun selutut berwarna coklat terang, rambutku tergerai di hiasi pita, dan hari ini pula aku nekat bertanya tentang warna lipstik yang cocok kepada tetangga sebelah rumah yang kebetulan memang fashionable. Berakhirlah warna coral peach yang terpoles cantik di bibir.

Rasanya seperti akan melakukan kencan pertama. Eh? apa ini bisa di sebut kencan? Astaga, apa yang kupikirkan sih!

Sambil mengayun-ayunkan kaki di rerumputan, aku berkali-kali merapikan helaian rambut yang mengudara secara bebas. Harsa janji bertemu di taman pukul sepuluh. Tapi ini sudah jam sebelas, matahari pun semakin menyengat.

Dengan bermodal pikiran positif, aku menunggunya sembari membeli segelas soda dingin. Bisa saja lelaki itu punya urusan atau terjebak macet kan?

Sembilan puluh menit berlalu sia-sia, entah aku memang bodoh atau tolol, bisa-bisanya masih yakin kalau Harsa akan kemari. Padahal sang surya sudah berada tepat di tengah kepala. Berkali-kali pula aku memeriksa roomchat kami, tapi tetap saja sama. Kosong, dan centang satu. Aku memang sempat bertukar line dengannya tempo hari.

Keputusanku adalah pulang. Biarlah kembali dengan membawa setumpuk perasaan gundah. Aku di desak oleh kebimbangan, sebenarnya aku ini sungguhkah mencintai Harsa? Atau jangan-jangan perasaan ini hanya sekedar kagum?

Aluna tengah jatuh cinta atau sekedar jatuh hati?

Tidak tau. Hatiku sendiri tidak bisa memahaminya, bahkan mulutku sedari tadi tidak bisa menjawabnya barang sepatah kata pun.

Jikalau memang hanya jatuh hati, apa aku berhak merindukan Harsa? Apa aku boleh khawatir saat tidak melihat wajahnya? Apa aku di perbolehkan merindu? Apa aku berhak marah dan sakit hati saat dia mengingkari janjinya?

Tidak bohong kalau dadaku terasa sesak, bahkan rasanya untuk menghirup oksigen saja berat. Apa jatuh cinta memang selalu menyakitkan?

Kalau jawabannya iya, maka seharusnya dari awal aku tidak perlu merasakannya.

...

Hari yang berbeda, namun kegiatannya sama. Aku naik bus untuk pergi sekolah, duduk manis dan belajar, lalu pulang. Memangnya apa lagi yang akan kulakukan?

Tapi kali ini perbedaan itu terasa pekat karena hampir lima hari penuh aku tidak melihat kehadiran Harsa, entah di halte, bus, mau pun di room chat line kami.

Rasanya aneh, seperti sepi dan sunyi. Padahal sebelum ada Harsa, setiap hari bukankah begini? Aku benar-benar tidak mengerti dengan perasaanku sendiri. Lucu sekali ya? sang pemilik hati tak pernah bisa memahami isi hatinya sendiri.

Dua kaki jenjangku sempurna berdiri di depan kelas. Menghela napas gusar, aku mengedarkan pandangan untuk mencari perempuan yang menyandang status adik Harsa. Tapi lagi dan lagi, sepertinya semesta sedang mencoba menyembunyikan sesuatu dariku.

Jea tidak ada di tempat duduknya sejak bel pelajaran pertama berbunyi. Bahkan hingga jam pulang sudah tiba, seharusnya kami sedang piket bersama sekarang.

Dengan langkah ragu, aku membenahkan posisi rambut yang berantakan sambil menepuk bahu Juan-ketua kelas kami sekaligus lelaki yang pernah di ceritakan Harsa saat di bus.

"Ya? Oh, Luna? piketnya sudah selesai?" Suaranya menyambut ramah, lesung pipi itu timbul kala sang lelaki tersenyum.

Aku menggeleng sambil mengulum bibir dan tersenyum kikuk, lantas berkata, "Jea kemana? Apa dia sakit? kudengar rumah kalian lumayan dekat ya?"

Sejenak diam, Juan hanya menunjukkan senyuman khas miliknya. "Aku kurang tau karena hampir seminggu ini sedang menginap di rumah nenek, salah satu keluargaku ada yang sakit. Jadi aku tidak tau kondisi Jea bagaimana,"

"Tapi kalau kamu mau mengunjunginya... aku bisa memberi alamat rumah Jea." Sejurus kemudian senyumanku merekah sempurna. Tiba-tiba saja aku seperti ingin meledak, apa mungkin karena terlalu bersemangat?

...

Tunggu. Bolehkan kutarik kembali ucapanku tadi? Nyatanya realita menamparku seolah menyadarkan untuk tak terlalu berharap banyak atau lebih parahnya menaruh harapan besar kepada raga yang tiba-tiba saja hilang tanpa alasan.

Sudah yang kesekian, mungkin ada puluhan kali aku memencet bel rumah bernuansa krem di hadapanku, pun selama itu juga aku berdiri dengan kekosongan tanpa adanya sahutan.

Lalu sekarang... aku harus apa?

Duduk diam dan menunggu? tolong jauhkan pikiran bodoh itu dari kepalaku, Luna tak sekonyol orang-orang yang galau merana.

Jadi, haruskah kita kembali pulang dengan keputus asaan seperti kala itu?

Tidak perlu di jawab, sepertinya angin yang lewat pun tau jelas jawabannya. Iya, pulanglah. Biarkan Harsa dengan janji ingkarnya muncul dengan sendirinya. Luna... Luna... memang kamu ini siapa? apa berhak bertindak seperti ini?

Aku tau kamu mulai nyaman dan menyukai lelaki itu, wahai Luna. Tapi ini... apa boleh seperti ini?

Kurasa untuk seukuran orang asing yang belum tau seluk beluk kehidupannya, tindakanmu sudah melewati batas.

...

Yah... hilang:)

Harsa, Harsa... jangan di ghosting ya? kasian Luna

April Wishlist ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang