Mencurigakan!

22 8 6
                                    

"Hai Luna! Selamat pagiii," sapa perempuan berambut pendek itu, kaki panjangnya lincah melompat kesana kemari hingga menarik perhatian para penumpang bus pagi ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Hai Luna! Selamat pagiii," sapa perempuan berambut pendek itu, kaki panjangnya lincah melompat kesana kemari hingga menarik perhatian para penumpang bus pagi ini.

"Eh, Jea? Tumben sekali naik bus?" Aku bertanya iseng, sedetik kemudian pemuda yang akhir-akhir ini selalu mengisi pikiranku muncul.

Seperti biasa, menggunakan earphone untuk menyumpal telinga dan duduk di bangku sebrang. Lantas berceletuk, "Biasanya dia berangkat pakai sepedah, tapi hari ini ban nya bocor. Tapi ada alasan yang lebih masuk akal, Juan tidak masuk sekolah 'kan? Makannya kamu ikut Kakak?"

Aku menutup mulut tak percaya. Juan? Laki-laki ketua kelas itu? Ada apa diantara mereka? Astaga, sebegitu nolep kah seorang Luna hingga ketinggalan berita semacam ini?

"Rumah Juan dan rumah kami lumayan dekat, Jea sering berangkat bersamanya. Dia sebenarnya sudah suka Juan sejak—HMPH! HWEUGFCJK!" Aku terpingkal-pingkal melihat Jea yang berapi-api karena terus terusan di goda Harsa. Bingung harus kasihan atau tertawa, keadaan Harsa sudah berantakan karena di jambak.

"Kak Harsa, sekali lagi kamu membahasnya... aku tidak segan-segan membocorkan semua rahasiamu kepada si Bulan itu!" Jea mengancam sambil lirik-lirik galak kearahku, bermaksud memberi kode. Apa ini? Bulan? Itu aku?

"Eh eh? Curang! siapa juga yang mau membahasnya! Jangan aneh-aneh!" Raut muka lelaki itu langsung gelagapan. Jea tersenyum geli sambil melirik diriku lagi, aku ikut tersenyum tipis. Harsa... taukah kamu? Sebagian rahasia itu sudah di beberkan kepada Luna dengan terang-terangan.

•••

Aku menatap kosong papan tulis di kelas, bahkan saking larutnya aku sendiri tak sadar sudah mencoret-coret sebagian halaman buku paling belakang. Dan lebih parahnya, ada coretan nama Harsa Astama disana. Ya Tuhan... maafkan hambamu.

"Lun, mau ikut beli roti keju tidak? Atau kubelikan saja?"

"Halo? Lun?"

"Luna!" Aku mengerjap dua kali sambil memegang dada. Astaga, suara melengking Jea sungguh mengagetkanku!

"Eh? Apa? Roti? tidak, aku sudah makan di rumah," kujawab sambil berhati-hati menutup buku yang berisi coretan nama Harsa.

"Ngomong-ngomong, Harsa lebih suka perempuan yang bagaimana?" Aku bertanya ragu, tapi sepertinya Jea belum menyadari pertanyaan aneh dariku.

"Yang... yang bagaimana ya?" Perempuan itu malah balik bertanya, dia langsung memasang pose berpikir.

"Ah, maksudnya... em, selera gaya berpakaiannya bagaimana? Harsa suka perempuan seperti apa?"

Jea diam sejenak, mencoba mengingat ingat sedangkan aku tiba-tiba merasa gugup entah sedari kapan. Jari jemariku saling memilin, menunggu ucapan selanjutnya yang keluar dari mulut perempuan itu.

"Dia suka perempuan yang berambut panjang, tapi seleranya bisa saja berubah karena kamu berambut pendek sekarang! Lalu... Kak Harsa suka perempuan yang tidak terlalu menor kalau berdandan, dia juga suka perempuan yang kalem dan cantik, lalu dia pernah bilang kalau suka perempuan yang wangi, berpakaian senyamannya dan—"

"Dan?" Alisku mengerut menjadi satu, astaga kenapa semakin gugup begini?

"DAN... AKU BARU SADAR CIRI-CIRI TIPE IDEAL KAK HARSA MIRIP SEKALI DENGANMU, LUNA!" Dengan dramatis Jea menutup mulutnya sambil memukuli meja menahan teriakan.

Selang dua menit seusai adegan penuh drama itu, aku mencoba bertanya lagi, "Seandainya ya! Seandainya nih, ada temanmu yang akan jalan-jalan berdua dengan pujaan hatinya untuk kali pertama, pakaian apa yang harus ia kenakan agar terlihat lebih... cantik?"

Tanpa di duga-duga, Jea langsung menjawabnya dengan lantang "Pakai saja baju yang menurutnya nyaman, toh kalau seumpama pakai gaun cantik tapi sebenarnya ia terasa sesak bukankah akan terasa menyiksa?"

"Begitu... ya?"

"Hmm... kamu ini... kenapa?" Jea secara tiba-tiba mendekatkan wajahnya, perempuan bersurai pendek itu mengrenyit mencoba menelisik. Aku otomatis melotot, dengan gerakan cepat kudorong keningnya agar sedikit menjauh.

"Ekspresimu akhir-akhir ini sama persis seperti ekspresi Kak Harsa di rumah deh... sering melamun, lalu tiba-tiba senyum senyum sendiri, lalu... pipinya memerah dan—OH ITU PIPIMU MERAH SUNGGUHAN!" Refleks saja aku memegang pipiku, astaga! apa yang harus kulakukan sekarang? apa aku ketahuan seperti remaja yang tengah tenggelam di lautan asmara?

"Sangat mencurigakan! Kalian sudah resmi menjalin hubungan ya?"

Aku menggaruk pipi dan tersenyum kikuk, "Belum..."

Lantas senyuman Jea pudar sedetik, sejurus kemudian ia menjentikkan jari sambil berteriak girang. Ya Tuhan, untungnya suasana kelas sepi karena jam istirahat.

"Kalau belum berarti... KAMU SUDAH PUNYA RASA DENGAN KAK HARSA YA? AYO MENGAKU! KAMU SUKA JUGA???" desaknya dengan semangat menggebu-gebu.

Aku menghela napas kasar, dan menariknya dalam-dalam. Dengan wajah yang di buat senatural mungkin aku berkata, "Sebenarnya akhir pekan besok, Harsa mengajakku pergi bersama."






April Wishlist ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang