Kabur

29 8 4
                                    

Aku menatap kosong jalanan pukul 9 malam di depanku tanpa minat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Aku menatap kosong jalanan pukul 9 malam di depanku tanpa minat. Mengeratkan jaket dan terus menggosok tangan, hari ini moodku benar-benar kacau.

"Bagaimana harimu? Apa semua baik-baik saja?" Suara Harsa melenyapkan lamunan, kami sedang duduk bersandingan untuk menunggu bus pulang. Entah kenapa, kurasa Harsa ini memang ajaib. Ada di mana saja secara tiba-tiba.

"Tidak. Tidak baik-baik saja, sangat buruk," kubalas sambil memaksakan senyum, bermaksud menetralkan kan suasana keruh.

"Sesuatu terjadi saat wawancara, ya? Tadi Jea bilang." Aku mengangguk pelan, menduk untuk menyembunyikan wajah yang sudah tak karuan.

Harsa hanya diam. Kulirik dari ujung mata, dia memainkan kaki kaki panjangnya untuk menendang kerikil sesekali menatap langit kelam yang menyelimuti bumi.

"Boleh kudengar ceritanya, Nona? mungkin bisa saja sedikit membantu melegakan pikiran. Tapi kalau tidak ingin, tak apa. Jangan di paksa," dia berucap tanpa mengalihkan pandangan, seakan tau bahwa diriku enggan di tatap untuk saat ini.

"Hanya melegakan sedikit? kalau begitu aku tidak ingin membagikan ceritanya!" ucapku mencoba bergurau, Harsa tertawa kecil setelahnya. Lantas diam, aku sungguh membagi separuh kekhawatiranku kepada Harsa. Dan dia mendengarkannya dengan sangat amat baik, tanpa menyela sedetik pun.

Hari ini ada event dari sekolah yang berjudul; Menggali Bakat&Minat untuk Karir Masa Depan. Kegiatan itu semacam wawancara antara orang tua, murid, serta wali kelas di sebuah ruangan. Disana akan membahas apa saja hobi, kesukaan, atau impian dari sang siswa.

Mungkin event itu sangat berguna bagi tiap anak yang mempunyai sebuah bakat atau mimpi besar, mereka berkesempatan untuk mengungkapkan semua harapannya di depan orang tua, terlebih lagi guru.

Tapi faktanya, aku tak merasa bahwa event itu berguna bagi diriku. Tadi, saat tiba bagian sesi wawancaraku mulai, Bu Guru lekas menanyakan mimpi karir, harapan, dan hobiku. Sayangnya aku hanya menjawab, "Tidak tau"

Tentu jawaban asal itu membuat ekspresi Ayah yang sedang menghadap kamera langsung berubah masam. Dia tidak duduk mendampingiku secara langsung, hanya bermodal video call alias virtual. Alasannya? Sudah jelas, dia orang sibuk. Sangat sibuk hingga menyisihkan waktu untuk anaknya saja enggan.

Jika kau bertanya kemana ibuku, dia sudah punya keluarga baru sejak aku lulus sekolah dasar. Mana mau menemaniku? Buang-buang waktu! Lebih baik duduk manis di rumah sambil melayani suami baru, katanya.

"Apa maksudmu, Aluna? Bukankah Ayah sudah bilang, mimpimu adalah lanjut kuliah jurusan manajemen? Kenapa menjawab tidak tau?"

Terlihat sekali bahwa nada bicara itu terdengar sangat tidak ramah, Ayah sudah menunjukkan kode bahwa dirinya murka. Aku tau betul dia adalah tipe manusia yang ingin sekali hidupnya terlihat sempurna, apa pun itu termasuk kehidupan anaknya sendiri haruslah dia yang menentukan.

Apakah menyenangkan di tuntut menjadi sempurna?

Tidak.

Keluarga Ayah di dominasi oleh pebisnis dan semacamnya. Itulah mengapa aku di suruh mengikuti kuliah jurusan manajemen, diajari untuk mengurus masalah kantor, penjualan produk, mengelola strategi. Tapi sayang seribu sayang kukatakan bahwa aku sama sekali tak tertarik walau sebesar biji sawi.

Saat aku mengucapkan jika diriku lebih suka seni dan ilmu keperawatan, Ayah menunjukkan raut muka datar yang sama sekali tak menunjukkan setitik kebanggaan padaku.

Sakit Hati?

Dusta jika kubilang tidak. Tapi itu sudah biasa, pantas saja ibu meninggalkan kami. Melihat kelakuan ayah saja sudah membuat pening ingin muntah.

"Mama juga... meninggalkanku. Dia pergi untuk menggantikan Jea hidup di dunia, itu cukup menyakitkan karena Jea tidak pernah tau rupa asli ibunya. Terkadang aku merasa bersalah karena Papa jadi depresi, dia tidak mempedulikan kami selain menatap figura foto Mama," celetuk Harsa seusai dua menit hening di antara kita.

Saat itu aku sungguh terkejut, bahkan rasanya rahangku hampir copot. Harsa dan Jea penuh rahasia, mereka pandai menutupi fakta menyakitkan tanpa di ketahui oleh siapa pun. Termasuk aku, bayanganku setelah mendengar pernyataan bahwa mereka merupakan saudara, kehidupan keduanya pasti damai serta harmonis. Layaknya adik kakak yang sering bertengkar karena hal sepele. Ternyata salah besar.

"Kamu suka seni juga?" Harsa bertanya asal, sepertinya mencoba mencari obrolan lebih lanjut dan melupakan topik tadi.

"Suka, suka sekali. Waktu kecil dulu pernah diajak Ibu untuk melihat pertunjukan drama, saat memperhatikan akting mereka, ada perasaan kagum yang belum pernah kurasakan sebelumnya."

Ternyata Harsa ikut tersenyum kala bibirku sendiri secara tak sadar membentuk sebuah kurva indah. Saat tersadar, rasanya jadi salah tingkah. Uh, hei Luna! apa yang barusan kamu lakukan...

"Dulu aku pernah ikut pentas drama juga, tapi waktu sekolah dasar sih. Ceritanya tentang anak pengembala yang mendapat keajaiban dari penyihir." Harsa berkata malu-malu. Aku melotot kaget, serius kah?

"Kamu jadi pemeran utama?" kutanya dengan mata berbinar.

"Tidak, aku jadi pak tua penjaga kastil yang di tempati si penyihir. Tapi peranku hanya muncul satu kali, saat mempersilakan anak pengembala itu masuk kedalam ruangan penyihir. Hehe..." jawab sang lelaki di iringi kekehan ringan di akhir kalimat. Aku ikut tertawa, bisa di bayangkan jika Harsa mungil memakai pakaian khas orang tua serta beruban.

"Lucu ya. Pasti kamu di suruh pakai topi caping juga, kan?" Harsa terpingkal-pingkal, mengangguk dan menunjukkan jempol tanda setuju.

Sejenak. Tawaku hilang, di gantikan oleh degupan aneh yang terus-terusan memacu jantung. Dan bodohnya aku baru menyadari rasa itu hanya saat berada di dekat Harsa, apakah ini hal normal?

...

April Wishlist ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang