"Kalau jadi kamu, istri penyakitan macam begitu, pasti udah papa buang ke tempat sampah."
Menyakitkan sekali mendengar papa mertua mengucapkan hal itu pada suamiku–meski hanya melalui sambungan telepon–kala aku sedang berjuang untuk calon cucu yang sedang kukandung ini. Aku yang sedang terkapar di ranjang Rumah Sakit dalam keadaan sekarat ini pun, masih punya hati.
Sejujurnya aku marah! Namun kutahan semua perasaan itu, demi menghargai lelaki terbaik yang aku cintai karena Allah ini. Tak ingin menambah beban di pundaknya. Pun tak ingin menjadi menantu yang durhaka. Biarlah kupendam semua sakit ini. Seorang diri.
Aku adalah Utami Larasati. Di usia yang terbilang muda, yaitu dua puluh tiga tahun, aku sudah menjadi leader pada perusahaan yang bergerak di bidang advertising. Berkat otak yang encer dan kemampuan dalam berbicara, aku mampu membawahi beberapa team. Kuakui, memang disinilah passion-ku.
Pada usia ini pula, takdir Allah mempertemukanku dengan lelaki baik yang kini menjadi pendamping hidupku. Dia adalah Angga Mahardika. Tak sengaja aku bertemu dengan lelaki yang memiliki tinggi seratus tujuh puluhan itu. Saat hampir terjatuh akibat jalanan yang licin, hingga menabrak dia yang baru saja berwudhu. Kami yang sama-sama merasa malu, akhirnya berpisah begitu saja.
Siapa sangka bahwa pertemuan memalukan saat menghadiri kajian itu, menjadi langkah awal kami menuju jenjang pernikahan. Melalui bantuan seorang Ustadz, kami saling mengenal. Berlanjut pada pertemuan dua keluarga, hingga akhirnya ijab kabul itu pun terucap.
Kebahagiaan menyelimuti setiap sudut hati ini. Harapan untuk menemukan sebuah cinta dari keluarga sangat membuncah. Aku yang sebatang kara sejak kecil, harus puas hanya dengan kasih sayang wanita berhati mulia pemilik panti. Yang setiap harinya beliau harus membagi perhatian pada puluhan anak tak beruntung, sepertiku.
Ah, nikmat Tuhan mana lagi yang bisa kudustakan? Sungguh aku akan menjadi istri yang baik, itu janji saat akad terucap.
🍃🍃🍃
"Kamu gak pulang karena gak diizinin sama Tami, ya?"
Pesan WhatsApp yang ingin disembunyikan Angga, akhirnya terbaca juga olehku. Mama mertua ternyata meminta suamiku pulang ke Surabaya, karena adiknya hendak bertunangan. Sungguh, pilu hati ini membacanya. Karena tuduhan yang tak pernah kulakukan itu.
Aku memang bersepakat untuk tidak bekerja lagi setelah menikah. Demi mengikuti tuntutan pekerjaan Angga yang sering kali berpindah tugas.
Aku yang terbiasa punya penghasilan sendiri, kini harus pintar-pintar mengatur pengeluaran. Terlebih Angga masih mengikuti pendidikan di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara. Sebetulnya bukan hal sulit, karena aku sudah ditempa dengan kesusahan hidup sejak kecil. Namun, semua semakin berat kala mertuaku mengharuskan suamiku mengirimi mereka setengah dari gajinya.
🍃🍃🍃
Akhirnya kami berhasil pulang setelah membongkar celengan yang isinya tak seberapa itu. Kenyataan menyakitkanlah yang kudapati pada kali pertama menginjakkan kaki di rumah ini. Rumah mertua yang ingin kuhormati layaknya orang tua yang tak pernah kupunya. Tentu saja aku kaget.
Sesederhana apapun kehidupan kami, karena Ibu Laras, pemilik panti memperlakukan kami semua sama. Hak dan kewajiban kami sama, yang harus merapikan tempat tidur, pakaian, dan bekas makan kami sendiri. Namun, tradisi yang terbangun dalam keluarga mertuaku sangatlah berbeda. Di sana seorang suami bisa duduk santai, sementara sang istri kepayahan membagi waktu dan tenaganya untuk urusan domestik sendirian. Tak ada empati sedikit pun.
"Jadi istri tuh harus kayak mama itu. Nurut, pinter masak, jago ngurus rumah. Bukan malah nyuruh suami ngejemur baju. Suami itu kepala keluarga, Tam, bukan pembantu!" ujar papa mertua saat melihatku keluar dari kamar.