Ratih menerima uang lembaran warna biru itu dengan senyum lebar. Wajahnya semringah. Baru kali ini ada yang memberi sebanyak ini. Berkali-kali ia mengucap terima kasih melalui jendela mobil yang telah tertutup itu.
Kemudian segera menyingkir ke tepi jalan raya. Lampu merah telah berganti warna, kendaraan-kendaraan yang terhenti pun segera melaju kembali.
Ratih membalik plastik bekas bungkus permen di tangan. Menuang semua isinya. Mulai menghitung dengan wajah ceria. Seribu, dua ribu, lima ribu, lima puluh lima ribu ... matanya membulat sempurna.
Bahagia melihat penghasilannya siang itu. Segera dirapikan kembali uang yang terserak di tanah, bersiap meneruskan kerja lagi. "Coba setiap hari begini, ya,' pikirnya dengan senyum di wajah.
Baru saja hendak melangkah, dua orang lelaki yang tubuhnya lebih besar dari tubuh Ratih menghadang. Menghalangi jalannya.
"Lu belum kasih setoran sama gue." Lelaki yang dikenal bernama Adit itu menadahkan tangannya.
"Tapi gue baru kerja, Dit," jawab Ratih dengan wajah memelas.
"Bukan urusan gue. Lu dapet banyak 'kan," kata Adit lagi.
"Jangan, Dit. Gue mau bawa ibu gue berobat dulu. Entar sorean gue kasih, ya," ujar Ratih. Berharap Adit sedikit berbelas kasih.
"Heh! Itu bukan urusan gue, ya. Yang sakit itu, ibu lu 'kan. Gak ada urusannya sama gue. Cepetan siniin duitnya," Toni yang bersuara kali ini. Berusaha menarik paksa kantong plastik bekas permen dari tangan Ratih.
"Jangan, Ton. Jangan yang ini, entar gue ngamen lagi," Ratih berusaha mempertahankan hasil kerjanya siang itu.
Sayang tenaganya kalah kuat dibanding dua orang lelaki yang jauh di atasnya, dari segi postur tubuh maupun usia. Akhirnya Ratih merasakan kerasnya aspal di bokong akibat dorongan Adit dan Toni. Yang kemudian menjauh dengan membawa hasil kerja Ratih siang itu.
"Maaf, bu. Ratih janji akan bawa ibu ke dokter, walau mungkin bukan hari ini," lirihnya dengan buliran bening yang siap tumpah.
****
Ratih kembali mengamen. Menjajakan suara dari satu kendaraan ke kendaraan yang lain di setopan dekat Sekolah Internasional itu.
Suaranya tak lagi selantang tadi. Raut wajah pun tak lagi ceria. Pikirannya dipenuhi wajah ibunda yang sedang menahan sakit di kontrakan dua petak yang mereka tempati.
Sudah satu pekan ini ibu tak dapat beranjak dari tempat tidur. Tubuh kurusnya terlampau lemah. Bahkan beberapa kali ibu mengalami mimisan. Sempat muntah-muntah pula dengan sedikit bercak darah. Kala malam tiba, ibu akan menggigil hebat hingga pagi menjelang.
Ah, entah penyakit apa yang dialami ibu. Yang membuat ibunya kini tak bisa lagi bekerja sebagai buruh cuci di sebuah laundry. Sungguh, Ratih ingin sekali membawa ibu ke dokter. Sayang, hasil mengamennya seringkali hanya cukup untuk membeli beras, jika ada lebih baru akan dibelikan kerupuk atau kecap sebagai teman makan. Meski begitu, Rio tetap lahap menyantap makanannya.
Ratih pun hanya mampu bekerja selepas sekolah. Ibu tak mengizinkan bila sekolahnya putus di tengah jalan. Ibu ingin anak-anaknya punya masa depan yang bagus. Meski ia miris, karena adiknya yang hampir berusia enam tahun itu belum juga bersekolah.
Tangan-tangan terjulur mengangsurkan rupiah. Ratih menerimanya dengan ucap terima kasih dan anggukan kepala. Sayang pendapatannya tak sebanyak yang telah diambil Adit tadi. Hanya lima ribu lima ratus rupiah saja. Ratih menarik napas panjang.
Ratih menyingkir ke tepi saat lampu lalu lintas berubah hijau. Menarik napas panjang kembali. Berjalan gontai dengan wajah murung. Sepertinya ia belum bisa membawa ibunya berobat hari ini.
Langkah Ratih terhenti saat tiba di depan gerbang Sekolah Internasional paling terkenal di Kota itu. Menatap wajah anak-anak yang keluar dari Sekolah itu dengan wajah semringah. Digandeng kedua orangtuanya dengan penuh cinta, tawa dan senyum pun tak pernah lepas.
Ah, kalau ayah ada di dekat mereka, pasti Ratih dan Rio, adiknya juga akan sama seperti mereka. Belajar di Sekolah yang bagus, tak perlu tinggal di kontrakan dua petak, bahkan ia tak perlu bekerja setiap hari. Tiba-tiba Ratih merasakan rindu pada orang yang selama ini disebutnya ayah.
Masih terngiang ucapan ibunda, bahwa ayah telah bahagia bersama keluarga barunya. Tak pantas mereka mengusiknya. Karena ayah pun sudah tak memedulikan mereka lagi. Buktinya sampai hari ini ayah tak pernah mencari tahu di mana Ratih beserta ibu dan adiknya tinggal.
Ratih hanya ingat, ibu membawa Ratih dan Rio keluar dari rumah malam itu, saat ayah membawa pulang seorang wanita dengan bayi mungil dalam gendongan. Ratih bahkan setengah diseret keluar oleh ibunya, setelah sebelumnya ia terbangun karena teriakan ibu dan ayahnya.
Tak terasa air mata Ratih menitik. Segera diusapnya. Ia tak boleh larut pada kenangan yang serasa mustahil untuk dipeluk itu.
Tiba-tiba seorang gadis kecil berlari ke arah jalan raya. Disusul teriakan-teriakan di belakangnya.
"Tolong! Tahan anak saya! Tahan anak saya! Jangan sampai lari ke jalan raya!" sebuah teriakan menyadarkan Ratih.
Segera Ratih berlari mengejar gadis kecil tersebut. Syukurlah ia berhasil meraihnya sebelum mencapai jalan raya. Gadis kecil yang sepertinya berusia lebih kecil dari Rio itu, tertawa dalam gendongan Ratih.
Ratih berjalan menuju gerbang sekolah kembali. Menghampiri seorang wanita yang berlari ke arahnya, dan mengambil gadis kecil itu dari gendongan Ratih. Mengucapkan terima kasih berulang kali.
Kemudian menyusul seorang pria di belakang wanita tadi, mengucapkan terima kasih pula. Ratih mengalihkan pandangan dari gadis kecil yang tertawa dalam dekapan ibunya dan menatap pria itu. Perlahan senyum di bibir Ratih memudar. Buliran bening menggenang sekali lagi di pelupuk matanya. Ia hanya mampu berucap lirih.
"Ayah ...."
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir (Kumpulan Cerpen)
KurzgeschichtenCerita pendek tentang seorang gadis cilik.