Aku melajukan sedan biru secara perlahan setelah menurunkan penumpang di Jalan Mawar. Kulirik arloji di pergelangan tangan. Sudah hampir tengah malam.
Merasa cukup dengan hari ini, kupacu mobil menuju rumah. Meski jaraknya cukup jauh dari lokasi terkini, tapi karena esok adalah jatah libur, jadi tetap kupaksa pulang juga.
Tanganku bergerak mematikan radio panggil yang ada di pojok kanan depan, saat terlihat seorang gadis melambaikan tangan di kiri jalan. Segera kuhentikan kendaraan persis di depannya.
"Malam, Mbak." Kubuka jendela sebelah kiri.
"Anterin ke daerah Bogor mau, Pak?"
"Lumayan jauh dari sini, Mbak."
"Iya sih, Pak. Tapi udah malam gini, susah cari kendaraan lagi."
Merasa iba dengan gadis berpakaian kasual itu, aku pun segera menyanggupi untuk mengantar.
"Ya udah, naik Mbak!"
"Bener, Pak? Makasih ya, Pak." Wajahnya semringah kala membuka pintu belakang.
Mobil pun melaju kembali setelah ia bergeser hingga tepat di kursi belakangku. Gadis muda yang kutaksir berusia dua puluhan ini sangat menyenangkan diajak bicara.
Aku pun memberanikan diri bertanya, kenapa ia ada di sana sementara malam hampir mencapai tengahnya.
"Saya abis dari rumah teman, Pak. Tapi kemalaman pulangnya. Nyesel juga sih, terlanjur nolak waktu ayah temen saya nawarin untuk anterin pulang."
"Gak dicariin orang tua, Mbak?"
"Saya udah telepon Mama saat masih di rumah temen tadi."
"Biasanya anak seumuran Mbak gini kemana-mana dianter pacar."
"Iya sih. Tapi saya udah putus sama pacar, Pak."
Lalu meluncurlah kisah tentang kekasih yang berkhianat dengan sahabat dekatnya sendiri. Wajah manis itu berubah sendu. Sedikit iba aku mendengarnya.
Tak terasa kami hampir tiba di tempat tujuan. Dia menunjuk sebuah rumah yang terletak setelah persimpangan jalan ini. Aku pun menepikan kendaraan di depan pagar tinggi.
"Udah sepi, Mbak."
"Iya, udah pada tidur kayaknya. Tapi saya bawa kunci cadangan kok. Bapak tunggu sini, ya. Saya minta dulu sama Papa, uang saya kurang soalnya." Matanya melirik argo di depan.
Kemudian gadis itu keluar dan melangkah menuju pagar besi yang tinggi, khas rumah orang kaya. Membuka gembok dengan kunci yang dikeluarkan dari kantong jeans. Lalu menuju pintu depan yang lagi-lagi dibuka dengan kunci itu.
Kunyalakan rokok sambil menanti gadis itu kembali. Lima menit ... sepuluh menit ... tiga puluh menit berlalu. Namun, gadis dengan rambut sebahu itu tak kunjung terlihat.
Aku pun segera keluar dan menyusul. Memasuki gerbang yang telah terbuka dan langsung menuju pintu cokelat besar. Memencet bel berkali-kali.
Akhirnya pintu terbuka. Seorang pria paruh baya dengan garis ketampanan yang masih tampak, muncul di ambangnya. Terkejut melihatku.
"Bapak masuk dari mana? Ada perlu apa?"
"Saya masuk dari gerbang itu lah, Pak." Aku balas menatap pria itu tak kalah heran.
Lelaki di hadapan ini sekilas melihat gerbang yang setengah terbuka. Keningnya berkerut dalam. Lalu memandangku kembali.
"Ada perlu apa, Pak?"
"Saya ke sini nagih ongkos taksi perempuan muda yang tadi masuk ke rumah ini."
"Ongkos taksi? Perempuan muda? Perempuan yang mana? Bapak jangan bercanda, ya! Dari tadi saya sama istri lagi tidur, sampai Bapak pencet bel tadi."
"Loh? Saya juga gak tau namanya, Pak. Tapi katanya ini rumah orang tuanya."
Pria itu terkejut mendengar ucapanku. Setelah berpikir keras, akhirnya membukakan pintu lebih lebar dan menyuruh duduk di ruang tamu. Sementara ia melangkah ke dalam.
Tak lama berselang, pria tadi kembali dengan seorang wanita berusia sekitar empat puluhan yang membawa sebuah bingkai foto di tangan. Lalu keduanya duduk di seberang, dibatasi meja.
Terlihat mereka saling berpandangan. Keraguan menyelimuti wajah keduanya. Hingga akhirnya wanita itu mulai bersuara.
"Maaf sebelumnya, saya mau tanya seperti apa perempuan yang naik taksi Bapak?"
"Hmm ... masih muda, kulit bersih, rambut sebahu, yaa ... agak sedikit mirip dengan Ibu kayaknya."
Keduanya kembali berpandangan.
"Kayak yang di foto ini bukan, Pak?" Wanita itu mengarahkan foto di pangkuan ke arahku.
"Iya, bener itu orangnya, Bu."
Pria itu menghela napas panjang dan ikut berbicara.
"Ini anak kami yang bernama Tari, Pak. Anak satu-satunya. Sayang, dia sekarang gak ada lagi di sini."
"Gak ada gimana, Pak? Saya liat sendiri dia masuk ke rumah kok."
"Iya, Bapak mungkin melihat dia masuk. Seperti beberapa kejadian sebelumnya juga. Saya sendiri gak tau gimana caranya dia bisa membuka pintu, yang tadi saya kunci sebelum tidur." Terdengar helaan napas berat.
Keningku berkerut. "Ya, dia bawa kunci, kan Pak. Jadi bisa masuk lah."
Gantian wanita itu yang angkat bicara. "Masalahnya, anak kami itu telah meninggal setahun yang lalu. Dia diperkosa preman-preman di daerah Cisauk, waktu pulang dari rumah temannya."
"Di mana, Bu? Cisauk?" Seketika degup jantungku berkejaran.
"Iya, Pak. Di Cisauk. Bapak tadi ketemu Tari di mana?"
"Di ... Cisauk ... Bu ...," jawabku lemah.
Kami semua terdiam, larut dalam pikiran masing-masing.
"Tari memang beberapa kali membawa supir-supir taksi ke sini. Entah benar apa ngga, tapi kami belum pernah melihat sosoknya selama ini."
Aku segera bangkit dengan pikiran kacau. Pamit pada pria dan wanita di hadapan yang menanyakan berapa ongkos taksi yang harus dibayar. Namun, segera kutolak. Aku hanya ingin cepat pergi dari sana.