Setelah beberapa hari berkeliling kota Jakarta, akhirnya kutemukan juga tempat tinggal Mas Rivan, suamiku. Sebelumnya aku harus mengunjungi beberapa alamat, yang disebutkan teman-teman Mas Rivan sebagai rumah kontrakannya.
'Semoga Mas Rivan ada di rumah,' batinku.
Perlahan aku mendekati rumah kecil di ujung gang itu. Dengan bayi tujuh bulan dalam gendongan dan tangan seorang gadis cilik berusia tiga tahun dalam genggaman, membuat langkahku tak segesit biasanya. Belum lagi sebuah tas lusuh berisi beberapa helai pakaian yang terpaksa kuseret pada tangan satunya.
Rumah yang terlihat asri dengan beraneka macam tanaman hias tergantung di depannya itu, nampak sepi. Fani, gadis kecilku gembira melihat beberapa mainan teronggok di sudut, kemudian menghampiri dan mulai memainkan dengan tangan kecilnya. Tas lusuh kuletakkan pada salah satu dari sepasang kursi kayu di dekat pintu.
Tanganku terjulur mengetuk pintu. Sekali, dua kali, tiga kali tak ada jawaban dari dalam rumah. Kujatuhkan tubuh pada kursi kayu yang satunya. Lelah ini membuatku ingin merebahkan diri sejenak.
"Mas Rivan belum pulang kali, ya. Biasanya jam segini sudah selesai jam ngajarnya."
Gumamku seraya melirik benda warna hitam di pergelangan tanganku. Waktu maghrib akan segera tiba. Fani kemudian mendekat, mengatakan bahwa ia lapar. Aku hanya bisa memintanya untuk bersabar, menunggu ayahnya yang sebentar lagi tiba. Ah, itu hanya jawaban yang kubuat agar gadis kecilku berhenti merengek, karena hatiku sendiri pun merasa galau.
Sudah delapan bulan ini, Mas Rivan tak pernah berkunjung sejak mengantar kami pulang ke desa. Kandungan yang semakin besar membuatnya khawatir, seiring dengan kian melemahnya tubuhku.
Salahku sendiri, dulu menunda menikah hingga hampir mencapai kepala empat, dengan pria yang tujuh tahun lebih muda dariku. Yang membuat tenagaku hampir habis saat melahirkan Fani. Jadilah, Mas Rivan memutuskan untuk mengirimku pada keluarganya di desa, agar ada yang menemani jika suatu saat aku melahirkan anak ke dua kami.
Merasa tak enak hati pada keluarga Mas Rivan, kuputuskan menyusulnya seorang diri. Meski dengan bekal seadanya, karena uang yang dikirim suamiku setiap bulan, seringkali tak bersisa. Dengan berat hati keluarga Mas Rivan melepasku, diiringi ucapan bahwa aku harus ikhlas dengan apapun yang terjadi nanti. Entahlah, apa maksud kata-kata ibu mertuaku itu.
Tak lama kemudian, sebuah kendaraan roda dua mendekat. Memasuki pekarangan rumah. Menilik dari gesturnya, aku yakin bahwa itu adalah Mas Rivan. Segera aku bangkit menyambutnya dengan wajah ceria.
"Tari ...?"
"Ya, Mas. Alhamdulillah akhirnya ketemu juga alamat Mas Rivan."
Kusalami tangan suamiku takzim. Lalu memanggil Fani agar menyalami ayahnya pula.
"Fani sudah besar."
Mas Rivan mengangkat tubuh Fani ke udara, yang membuatnya tertawa seketika. Ah, syukurlah ia masih mengingat ayahnya. Aku tersenyum bahagia.
Namun wajah cerah kami tak berlangsung lama. Mas Rivan langsung menurunkan Fani dari gendongan kala seorang wanita muda memasuki pekarangan pula. Wanita itu menurunkan gadis kecil yang terlihat lebih kecil dari Fani. Rupanya ialah pemilik mainan yang tadi dimainkan Fani. Dengan gaya anggun wanita muda itu mendekati kami. Berdeham pelan, yang membuat Mas Rivan seketika mematung. 'Aneh sekali. Siapa perempuan ini?'
"Siapa ini, Mas?" tanya perempuan itu.
"Emm, kita masuk dulu, yuk. Maghrib begini gak baik berada di luar rumah."
Tergagap Mas Rivan kala mengucapkan itu. Bergegas memasukkan kunci pada lubang di pintu dan membukanya lebar-lebar. Mempersilakan kami semua masuk. Perasaan was-was tetiba menyeruak di hati ini.
Setelah menidurkan Farrel, bayi lelakiku di kamar, aku menggandeng Fani menuju kursi di ruang tamu. Mas Rivan telah berada di sana dengan gadis kecil tadi di pangkuannya. Juga wanita muda yang kini menatapku dengan pandangan memusuhi. Aku duduk pada kursi di sudut ruangan, dengan Fani di sisi. Agaknya aku telah mengetahui siapa wanita ini, bahkan tanpa sepatah katapun dari suamiku.
Semua terdiam, dalam keheningan yang membuat canggung. Kuhela napas panjang berkali-kali. Keputusan telah kubuat. Tak ada kesempatan untuk mundur kembali.
"Mas, sejujurnya aku sangat kecewa. Tak pernah sekalipun, Mas menjenguk kami. Bahkan aku harus bertaruh nyawa seorang diri untuk melahirkan Farrel. Dengan prasangka baik bahwa suamiku sedang berjuang menjemput rezeki halal untuk kami.
Kini, aku merasa menjadi orang yang paling bodoh, karena tak mengetahui apa-apa. Sementara keluargamu mengetahui semuanya, bahkan setengah mati menyembunyikannya.
Biarlah aku yang mengalah, Mas. Aku akan pergi jauh. Mas Rivan cukup mengucapkan kalimat talak saja. Karena Mas Rivan telah melanggar janji pernikahan kita, untuk tidak menikah lagi selama aku masih hidup," jelasku panjang lebar.
Mas Rivan hanya bisa menunduk dalam. Mengucap maaf dan memohon agar aku tak pergi. Namun langsung dibantah wanita muda di sisinya. Membuat mereka berdebat dengan sengit.
"Sudahlah, Mas. Tak ada gunanya kita bersama lagi. Mas telah menodai pernikahan kita. Sekarang aku akan pergi. Maaf telah mengganggu kebahagiaan kalian. Terima kasih untuk semuanya."
Aku segera mengangkat Farrel dan menarik Fani ke luar rumah. Tak lupa pula menyeret tas lusuhku pada tangan satunya.
**
Mohon kritik dan sarannya 😊
Cerpen ini repost dari grup KPFI di Facebook 🙂