"Seru banget filmnya ya, Yan. Coba kita bisa sering-sering kek gini ya," seru Nara semringah saat keluar dari bioskop bersama Dyan sahabatnya.
"Iya, Ra. Kapan-kapan kita musti ketemuan lagi ya. Udah lama banget loh kita gak jalan bareng," sahut Dyan dengan wajah yang tak kalah cerianya.
"Suami kamu gak marah kan kita jalan hari ini? Apalagi jagain si kembar sendirian di rumah." Nara menatap wanita di sisinya dengan raut khawatir.
"Mudah-mudahan sih gak ya. Aku kan udah izin dari berapa hari yang lalu. Jadi kalo dia hari ini cuti, ya bukan salah aku kalo tetap pergi. Eh, temani cari baju buat si kembar yuk, kasian bajunya udah pada kesempitan." Dyan pun menggandeng tangan Nara kemudian mengajaknya memasuki sebuah toko pakaian anak-anak yang berada tak jauh dari tempat mereka saat itu.
Setelah puas mengelilingi beberapa toko di pusat perbelanjaan yang terletak di tengah Kota Tangerang, kedua wanita tadi pun mengakhiri pertemuan mereka hari itu. Nara pulang dengan mengendarai ojek online yang telah dipesan sebelum mereka keluar, sementara Dyan menggunakan jasa bus umum yang lewat di depan kompleks rumahnya.
"Assalamu'alaikum," seru Dyan saat memasuki rumah dua jam kemudian.
Kondisi rumah tampak sepi, tak terdengar keriuhan suara Fahri dan Fira, anak kembar Dyan dan Farel yang berusia tiga tahun. Setelah meletakkan tas belanja di meja dapur, ia pun menuju ke kamar si kembar. Tampaklah pemandangan yang membuat wanita itu tersenyum, dimana Fahri, Fira dan Farel tengah terlelap di ranjang di tengah ruangan.
Setengah jam kemudian, Farel keluar dan mendekat saat Dyan masih menyiapkan makan malam. Mengamati istrinya yang tengah mengolah makanan dari kursi makan sambil terdiam.
"Pulang jam berapa, Bun?" tanya Farel akhirnya.
"Eh, kamu kapan bangun, Mas? Ngagetin aja. Udah setengah jam yang lalu kayaknya. Oh ya ada salam dari Nara," jawab Dyan sambil tersenyum. Tangannya tetap cekatan memotong sayuran.
"Enak ya, kamu jalan-jalan, aku di rumah repot jagain anak."
"Loh? Maksudnya apa nih, Mas? Kan Mas sendiri yang izinin aku pergi."
Bukannya menjawab, Farel malah berlalu menuju kamar mereka. Dengan wajah heran, Dyan pun terpaksa mengikuti suaminya. Lantas duduk di sisi suaminya di tepian ranjang.
"Maksud Mas Farel apa? Bukannya kemarin aku udah izin kalo hari ini mau pergi sama Nara? Bukannya Mas sendiri yang bilang boleh? Trus kenapa sekarang Mas bilang begitu?" tanya Dyan lembut sembari menatap lekat suaminya.
"Ya, kamu … aku cuti malah ditinggal pergi …."
"Ya ampun, Mas. Mana aku tau kalo kamu bakal cuti hari ini. Aku udah terlanjur janji sama Nara. Gak enak kan dibatalin gitu aja. Apalagi kami udah lama banget gak ketemu. Kamu kenapa sih, Mas, bangun-bangun kok marah-marah gini?"
"Ya, kamu … datang-datang bukannya dekatin aku malah sibuk di dapur. Bilang makasih juga nggak, aku udah capek jagain anak-anak seharian ini."
"Loh? Tadi kan kamu tidur, Mas, masa iya aku ganggu. Jadi kamu marah karna aku gak bilang makasih? Iya deh, makasih ya, kamu udah mau jagain anak-anak. Makasih juga udah izinin aku pergi. Makasih banget ya." Dyan kemudian memeluk suaminya erat.
"Gitu dong. Aku udah capek begini, masa gak kamu hargain. Tau sendiri Fahri sama Fira lagi aktif-aktifnya, gak bisa lengah sedikit," ujar Farel dengan wajah cemberut.
Tanpa diduga Dyan malah tertawa mendengar ucapan suaminya. "Ya emang begitu setiap harinya, Mas. Mas Farel aja yang pulangnya kemalaman jadi mereka udah capek main trus gak lama tidur deh. Kalo siang mah, duh jangan ditanya, mau ke kamar mandi aja susah, karna pasti digedor-gedor sama mereka, belum lagi mandi yang harus secepat kilat. Ditambah masak yang harus ketunda berkali-kali karna sambil ngawasin mereka main, terus drama waktu makan yang udah ngalah-ngalahin drama Korea."
Farel terdiam mendengar penjelasan istrinya. "Tapi aku gak pernah bilang makasih ya untuk semua yang kamu lakuin …," ucap Farel dengan wajah murung.
Dyan tersenyum, kemudian mengusap lembut rambut suaminya. "Aku udah biasa, Mas, dengan semua rutinitas itu. Udah biasa juga gak ada ucapan makasih, biarpun gak bisa dipungkiri kadang ada rasa sedih saat kamu pulang trus langsung dekati anak-anak. Atau saat kamu telepon tapi yang ditanyain cuma anak-anak, seolah yang penting buatmu cuma anak-anak aja.
Padahal buat ibu rumah tangga kayak aku, penghargaan dari suami itu berarti banyak loh, Mas. Salah satunya membuat yang kami lakukan terasa berarti. Emang sih keliatannya ibu rumah tangga itu gak ngapa-ngapain, cuma di rumah aja. Tapi kalo gak ada kami, apa iya anak-anak tumbuh seaktif dan secerdas itu, Mas? Sekalipun dirawat pengasuh yang berpengalaman, tetap aja kasih sayangnya beda. Iya kan, Mas? Belum lagi urusan masak, ngurus rumah, dan lain-lain. Asal Mas tahu, sekali-kali keluar rumah tanpa perlu mikirin anak-anak tuh perlu juga loh, untuk menjaga kewarasan kami. Biarpun cuma ke minimarket misal, hehe."
Setelah terdiam cukup lama, akhirnya Farel buka suara. "Maafin aku ya, Bun. Gak pernah menghargai semua yang kamu lakuin. Padahal aku ini udah enak, mau kerja tinggal berangkat aja, gak perlu mikirin seragam, pulang juga gitu, tinggal mandi, makan, main sama anak-anak, trus tidur. Gak perlu mikirin apa-apa lagi. Gak kebayang gimana kalo gak ada kamu, Bun. Makasih yaa, untuk semuanya."
🍃🍃
"Assalamu'alaikum," sapa Farel saat memasuki rumah mungil tersebut.
"Ayah … pulang …!" Tiba-tiba terdengar langkah kaki berkejaran menuju ke arahnya. Farel pun segera berjongkok dan membentangkan tangan menyambut dua malaikat kecilnya.
"Anak ayah udah wangi semua, udah cantik dan ganteng. Udah makan belum nih? Ohya, bunda mana?" tanya Farel yang ditanggapi Fahri dan Fira dengan menarik tangan sang ayah mendekat ke ibu mereka yang baru saja keluar dari kamar.
"Loh, Mas, tumben jam segini udah pulang? Bukannya tadi pagi kamu bilang mau lembur?" tanya Dyan sembari mengambil tas kerja suaminya lalu melangkah ke dapur mengambil minum untuk suami tercinta.
"Iya sih, tapi aku kangen sama kalian, jadi dikebut deh kerjaannya. Ohya Bun, di tasku ada kesukaan kamu tuh."
"Apaan, Mas?" tanya Dyan seraya membuka tas suaminya dan menemukan sebuah bungkusan plastik. "Apa ini, Mas? Kayaknya baunya enak."
"Buka aja, kesukaan kamu tuh," jawab Farel yang kemudian beralih pada si kembar. "Yuk, Fahri, Fira, kita main di kamar, biar bunda makan dulu. Jangan kita ganggu."
"Loh, Mas? Kok aku ditinggal?" Keheranan memenuhi wajah Dyan.
"Iya, biar kamu bisa makan dengan tenang. Makasih ya udah jagain Fahri dan Fira. I love you." Farel melangkah ke kamar mengikuti si kembar setelah mengecup pipi istrinya.
Baru saja Dyan hendak membuka suara, tapi suara Farel kembali terdengar. "Iya, aku tau, harus mandi dulu sebelum main sama si kembar kan? Siap laksanakan, Nyonya."
Tinggallah Dyan yang bergantian menatap punggung suaminya dan bungkusan plastik di tangan dengan hati penuh haru. Tak lama, ia menyantap kwetiau pangsit kesukaannya dengan mata berkaca-kaca, merasakan kebaikan suami tercinta yang ia harap akan bertahan selamanya.
-Tamat-
Nb. Udah lama gak nulis, semoga masih enak dibaca tulisannya 😅
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir (Kumpulan Cerpen)
KurzgeschichtenCerita pendek tentang seorang gadis cilik.