"Assalamu'alaikum. Mal, besok pulang ya, Nak."
Suara Mentari, ibuku langsung terdengar, saat kutekan lambang telepon warna hijau.
"Waalaikumussalam. Ibu sehat? Ada acara apa, Bu?" tanyaku yang tentunya sudah tahu maksud beliau menghubungiku.
"Ibu baik, Alhamdulillah. Itu loh, keluarga Om Frans mau ke rumah. Pulang ya, mereka datang sekitar jam dua belasan."
"Insya Allah, Bu. Mala besok ada agenda matrikulasi mahasiswa baru di kampus, kebetulan Mala dapat tugas. Jadi, tetep setelah acara, baru bisa pulang."
"Ya, pokoknya usahakan pulang secepatnya ya. Ayah sama ibu gak enak sama mereka."
Tak lama pembicaraan tersebut pun berakhir. Aku menghela napas panjang. Bukan tak tahu apa maksud kedatangan mereka ke rumah, karena Teh SiRa telah memberitahu sebelumnya. Namun, karena pengalaman yang kualami, membuatku selalu berusaha menghindari pertemuan itu dengan alasan apa pun.
Ya, kegagalan dalam membina hubungan, membuatku tak mudah untuk membuka hati lagi. Bukan sedikit lelaki yang datang dan mendekat. Sayang, tak satupun yang kutanggapi.
Terlebih aku tahu betul siapa keluarga Frans. Tak akan terlupa, bagaimana Ali, anak lelaki mereka satu-satunya yang pergi dengan membawa separuh jiwaku. Lelaki itu ternyata hanya menjadikanku bahan taruhan dengan teman-teman kampusnya, dan menyisakan sebuah lubang di hati.
🍀
Agenda yang berjalan lancar, membuatku bisa pulang ke kost-an lebih awal. Namun, baru saja merebahkan diri di kasur, panggilan dari ibu lagi-lagi mengusik istirahatku. Memaksa agar aku pulang sekarang juga.
"Pulang sekarang ya, Nak! Semuanya nungguin kamu nih."
Sungguh berat rasanya langkahku untuk pulang. Meski hanya menempuh jarak Jakarta-Bogor. Apalagi harus melihat wajahnya lagi, sungguh perkara yang sulit untukku. Terlebih harus berdamai dengan masa lalu yang tak menyenangkan.
Semua kenangan kembali membanjiri benakku, membuat luka itu kembali berdarah. Bahkan hingga tiba di rumah dan duduk di ruang tamu saat pertemuan dua keluarga itu berlangsung. Membuatku akhirnya mengucapkan kalimat penolakan untuk seorang Ali, kakak kelas di kampus biru yang kini menjelma menjadi pengusaha muda.
Alih-alih menunjukkan kekesalan, ia malah memamerkan senyum menawannya. Membuatku sekuat tenaga menenangkan desiran di hati. Apa ini berarti cinta masih berada di tempatnya semula?
"Nirmala, aku mengerti apa yang mendasari keputusan ini. Aku hormati sepenuhnya, dan meminta maaf atas segala salahku di masa lalu. Tapi aku akan berjuang sekuat tenaga, agar kelak hatimu terbuka lagi untukku."
🍀
Aku yang telah menyelesaikan kuliah, kini menjalani ikatan dinas di sebuah rumah sakit di daerah terpencil. Selain panggilan hati, alasan lainnya adalah untuk menghindar dari Ali. Yang selama tiga tahun ini tetap setia menungguku. Berbagai cara telah dilakukannya untuk menarik perhatianku. Namun, aku tetap berkeras untuk menjauh.
Hari ini jadwal praktek di rumah sakit sangatlah ramai, sampai-sampai tak dapat waktu untuk sekadar beristirahat. Rasa lelah yang mendominasi, membuatku ingin segera memejamkan mata. Sayang, keinginan tersebut rasanya akan sulit terwujud, karena hujan yang turun dengan derasnya.
"Dokter Mala yakin mau tetap jalan kaki nih? Gak nunggu hujan reda aja?" tanya Niken, asistenku di rumah sakit ini.
"Iya, Ken. Keburu malam kalo nunggu reda. Toh tetap jalan kaki juga, tau sendiri rumah Pak Yudist jauh kemana-mana." Aku tertawa menanggapi perkataan Niken tadi. Pak Yudist adalah pemilik rumah yang kutempati selama berada di daerah ini.
Baru saja berjalan sepuluh menit, tiba-tiba terdengar suara gemuruh. Lalu sebuah tebing di atasku longsor dan menimpaku. Tak sempat mengelak, membuatku terjebak dalam lumpur hingga tak mampu bergerak lagi.
Sia-sia aku berteriak meminta tolong, waktu Maghrib seperti ini, semua penduduk akan berada di rumah masing-masing. Ah, mungkin inilah akhir dari hidupku, tanpa ada seorang pun yang akan menolong.
Di tengah keputus asaan, tiba-tiba sesosok pria mendekat dan berusaha meraih tanganku yang sebagian besarnya tertutup lumpur. Tampak ia berjuang mengeluarkan tubuhku dari sana. Sayang, hari yang mulai menggelap membuatku tak mampu mengenali siapa orang itu.
Bermenit-menit kemudian, barulah aku bisa berdiri di atas kakiku lagi, setelah terbebas dari longsoran tebing tadi. Meski dengan pakaian dan kerudung yang sepenuhnya tertutup lumpur.
"Makasih banyak ya, Pak. Kalo gak ada Bapak, gak tau gimana nasib saya."
"Sama-sama."
Eits, suara itu ... aku mengenalnya. Bukankah itu suara ....
"Ali ...?"
"Iya, ini aku. Senangnya kamu mau menyapaku lagi."
Merah padam mukaku mengetahui hal itu. Tergesa berusaha meninggalkan tempat tersebut, meski harus susah payah karena jalanan yang sangat licin.
"Tunggu, Nirmala! Kumohon jangan pergi! Kita harus bicara." Ali menarik tanganku sekuat tenaga hingga aku berhenti dan menghadapnya.
"Mau apalagi kamu? Belum puas kamu membuat hatiku sakit? Tolong pergilah dari sini! Aku mohon!" Isakku mulai terdengar perlahan.
"Maaf. Maaf untuk semua sakit di hatimu. Tapi aku sangat menyesal setelah jauh darimu. Kamu lihat sendiri, bagaimana selama tiga tahun ini aku berusaha meraih lagi hatimu. Apa sedikit pun hatimu tak tersentuh, Mala? Aku sungguh-sungguh mencintaimu. Tolong beri aku kesempatan lagi."
"Hatiku bukannya tak tersentuh, tapi aku takut ini hanya permainanmu lagi. Aku tak mau terluka lagi."
"Izinkan aku membawa keluargaku sekali lagi untuk membuktikan ucapanku. Bukankah ini waktu yang sangat tepat, saat kita telah sama-sama yakin dengan perasaan masing-masing?"
🍀
Di sinilah kami sekarang, bersanding di pelaminan. Masih kuingat bagaimana lelaki itu meyakinkan keluarganya lagi, bahwa kali ini takkan ada penolakan dariku. Bagaimana mantapnya ia saat prosesi ijab kabul tadi.
"Saya terima nikah dan kawinnya Nirmala Utami Dewi binti Dwi Bani Khalman dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai."
Sungguh ini bukanlah kisah cinta yang seindah negeri dongeng, tapi aku percaya bahwa cinta akan selalu hadir tepat pada waktunya.
Pojok kamar, 29 Maret 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir (Kumpulan Cerpen)
Cerita PendekCerita pendek tentang seorang gadis cilik.