Jejak

1.3K 57 6
                                    

Wanita berhati lembut itu perlahan menghampiri. Sungguh, inilah saat yang kutunggu. Saat belaian tangan wanita paruh baya itu hinggap di rambut panjangku. Mengusapnya perlahan seraya membujuk dengan kalimat-kalimat yang menyejukkan. Membuat hidupku terasa berarti.

"Naya sabar ya, Adi kan cuma bercanda. Sama kayak kemarin waktu Naya bercandain Sisi. Ibu tahu, Adi gak sengaja narik baju Naya terlalu kencang, sampai Naya jatuh. Maafin Adi, ya...."

Sebetulnya jatuh yang disebabkan oleh tarikan Adi di baju itu, tidaklah terlalu sakit. Hanya saja aku menyukai saat wanita itu mendekapku. Ingin rasanya waktu terhenti, agar tangannya tetap memeluk tubuh ini.

Ah, tapi keinginan itu terlalu mustahil untuk menjadi kenyataan. Buktinya, baru beberapa menit wanita itu di sisiku, seorang anak yang lain telah ikut menangis pula. Membuat wanita tadi beranjak dan menghampirinya pula. Membujuk seperti wanita itu membujukku.

Belum selesai dengan anak yang tadi, telah terdengar suara bayi yang menangis di pojok kamar ini. Membuatnya bergegas mendekat dengan wajah khawatir. Lalu disusul oleh rengekan anak-anak yang lain pula. Ah, mereka semua sama sepertiku, berebut cinta dan perhatian dari wanita yang baik hati itu.

Begitulah yang terjadi setiap waktu dalam keseharian kami. Meskipun ada beberapa wanita yang juga memberi perhatian pada kami. Namun, tetap tak sama rasanya.

****

Hei, lihatlah! Sudah beberapa jam aku menangis hari ini. Namun wanita itu tetap tak kunjung datang. Berganti-ganti wanita yang mendekat, tetap tak ada hasil, kecuali tangisku yang semakin mengeras.

Hingga suatu saat ... Adi, Sisi, Nisa, Rahma, Fajar dan yang lain, ikut menghampiri. Mereka memelukku erat. Turut menangis bersamaku.

"Naya jangan nangis lagi. Kami sedih liat Naya nangis. Ibu Aisyah udah tenang di alam sana. Sekarang biar kami yang menjaga Naya, seperti ibu menjaga kita selama ini."

Ah, ya ... bagaimana bisa aku terlupa. Bahwa wanita berhati malaikat itu telah pergi untuk selamanya. Takkan kami dapati lagi, senyum tulus dan dekap hangatnya dalam hari-hari kami.

Bagaimana bisa aku terlupa, bahwa aku turut mengantar wanita mulia itu menuju peristirahatan terakhirnya. Malah menangis paling keras, kala tanah merah menutupi tubuh berbalut kain putih itu.

Ah, entah sampai kapan kami harus berpelukan sambil menangis seperti ini. Mengenang setiap detik yang pernah kami lalui bersamanya. Mengenang wanita yang rela menjadi ibu bagi puluhan anak-anak tak beruntung di sini. Mengenang wanita berhati malaikat yang telah menorehkan jejak mendalam di relung hati kami.

Ya, dialah ibu Aisyah, wanita yang ikhlas menyulap tempat tinggalnya menjadi "Panti Asuhan Kasih Bunda" ini.

**

Mohon kritik dan sarannya yaa ... ikut mewek nulis ini, hiks....

Cerpen ini saya buat bulan Januari tahun 2018 di grup KPFI di Facebook.

Takdir (Kumpulan Cerpen)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang