"Jadi ini yang kamu mau? Pisah dan ngorbanin anak-anak?" tanya Mas Harry dengan raut heran.
"Ya, Mas. Keputusanku udah bulat. Aku gak mau hidup dalam kesakitan terus," jawabku pelan.
"Kamu gak mau kasih aku kesempatan lagi, Lis? Gak kasian sama anak-anak?" tanyanya lagi.
"Justru karena aku kasian sama anak-anak, Mas, makanya aku ambil keputusan ini. Coba kamu ingat-ingat, Mas, udah berapa banyak kesempatan yang aku kasih tapi selalu kamu sia-siain?"
Mas Harry pun beranjak ke luar kamar. Entah akan tidur di mana ia malam ini. Di ruang tamu atau di kamar anak-anak. Biarkan saja. Bukan urusanku. Karena keputusanku sudah bulat dan aku tak akan pernah mundur kembali. Ingatanku otomatis kembali ke beberapa hari yang lalu.
🌷
Ponsel di meja bergetar kala aku masih sibuk memasak siang itu. Ternyata chat WhatsApp dari Lia temanku.
[Lisa, kamu lagi di Mall Ciputra? Aku panggil-panggil tapi kamu gak dengar.]
[Nggak kok, Li. Aku lagi masak di rumah.]
[Oh ya? Soalnya aku liat suamimu di sini, jalan sama perempuan. Aku pikir itu kamu.]
[Nggak, Li. Aku lagi di rumah sama anak-anak. Kamu salah liat mungkin.]
[Oh ya, bisa jadi. Ya udah deh, maaf ya Lis.]
Percakapan itu memang tak seberapa, tapi sungguh menggugah perasaan. Terlebih jika aku tak mengenal siapa suamiku, mungkin aku akan mengabaikan pesan dari Lia tadi. Menganggap ia hanya salah mengenali seseorang.
Akhirnya aku memilih untuk diam dan menyimpan semuanya sendiri, menunggu hingga Mas Harry pulang dari kantor nanti sore. Menjalani rutinitas kembali seperti biasa bersama kedua buah hatiku.
Menjelang Magrib Mas Harry tiba di rumah seperti biasa. Kedua anakku menyambut dengan gembira. Ia pun mengecup keningku seperti biasanya. Ya, semuanya tak ada yang berubah.
Namun, saat ia tengah mandi, ponselnya yang tergeletak di kasur berbunyi. Sebuah pesan WhatsApp masuk. Perlahan aku mengambil dan membukanya. Tampak sebuah pesan dari seseorang bernama Clarissa.
[Mas, makasih ya udah nemenin aku jalan-jalan tadi. Kapan-kapan kita jalan lagi ya.]
Tiba-tiba saja pintu kamar mandi terbuka. Segera aku mengunci kembali ponsel itu dan meletakkannya di tempat semula. Lalu bergegas keluar kamar setelah menyiapkan pakaian ganti untuknya.
Malam itu juga, aku bertanya tentang perempuan itu pada Mas Harry. Tentunya setelah anak-anak kami terlelap di kamar masing-masing. Seperti dugaanku, Mas Harry awalnya tampak terkejut, tapi tak lama. Raut wajahnya kembali seperti semula beberapa saat kemudian.
"Clarissa cuma temen kantor aja, Lis," jawab Mas Harry dengan santainya saat itu.
"Temen kantor yang bebas jalan-jalan ke Mall di jam kerja ya?"
"Siapa yang bilang aku ke Mall?" sanggahnya dengan wajah yang tetap datar. Ah, ia memang paling pandai dalam hal menyembunyikan sesuatu.
"Lia yang bilang, Mas. Dia liat kamu jalan sama perempuan tadi siang. Dia pikir aku makanya dia tanya aku." Aku yang mulai hilang kesabaran, akhirnya membeberkan semuanya.
"Salah liat kali dia, Lis."
"Oke. Kalo itu bukan kamu, terus kalian jalan-jalan ke mana siang tadi?"
"Tugas luar kantor aja kok. Kenapa harus segitu marahnya sih? Kamu cemburu?"
Aku menarik napas panjang, berusaha mengisi rongga dada ini dengan udara sebanyak-banyaknya. Karena tampaknya tak akan mudah membuatnya mengaku begitu saja.
"Kalo aku gak kenal kamu, aku gak akan securiga ini, Mas."
"Jadi kamu nuduh aku selingkuh, Lis? Kamu masih gak percaya sama aku? Gak percaya kalo aku udah berubah? Musti gimana lagi sih aku buktiin ke kamu, Lis?" Nada suara Mas Harry mulai meninggi, sepertinya ia pun mulai kehilangan kesabaran. Lalu ia pun pergi keluar kamar. Meninggalkanku sendiri dengan semua pikiran yang membuat kepalaku serasa akan meledak.
🌷
Keesokkan harinya ia masih berangkat ke kantor seperti biasa setelah mengantar anak-anak ke sekolah. Aku mengelak saat ia mencoba mengecup keningku seperti biasanya. Tapi ia tampak tak tersinggung dengan hal itu.
Kala aku sedang menyiram tanaman, seorang wanita turun dari motor yang kelihatannya adalah ojek online. Berjalan ke arah pagar rumah kami dengan wajah cemas. Lantas melihatku dengan raut yang sulit diartikan. Aku pun mendekat ke arahnya.
"Maaf, Mbak. Mas Harry-nya ada?" tanya perempuan itu masih dengan wajah cemasnya.
"Udah berangkat ke kantor, Mbak. Maaf Mbak ini siapa ya?"
"Sa-saya Clarissa, Mbak. Mbak pasti istrinya Mas Harry ya?"
Seketika itu juga jantungku berdetak lebih kencang. Inikah wanita yang mengirim pesan tadi malam?
Refleks aku memperhatikannya lebih seksama. Betapa cantiknya wanita itu dengan setelan blazernya, jika dibanding diriku yang hanya mengenakan gamis rumahan ini. Terlebih polesan sederhana yang membuat wajahnya kian menarik. Membuatku semakin merasa kalah telak.
"Iya, saya Lisa, istrinya Mas Harry. Kalo boleh saya tau, ada perlu apa Mbak Clarissa ke sini?"
Setelah terdiam dengan wajah bingung, akhirnya wanita itu meminta izin untuk masuk karena ada hal yang ingin dibicarakan denganku. Baiklah, karena aku pun dipenuhi rasa penasaran, akhirnya aku mempersilakannya masuk. Karena aku merasa ada hal yang sangat penting yang ingin disampaikan.
Akhirnya, malam itu juga aku menyampaikan keputusan yang telah aku pikirkan seharian ini pada lelaki yang telah menjadi suamiku selama delapan tahun ini. Bahwa aku ingin berpisah dari dirinya.
"Jadi ini yang kamu mau? Pisah dan ngorbanin anak-anak?" tanya Mas Harry dengan raut heran.
"Ya. Justru aku akan semakin sakit dan anak-anak yang akan jadi korban kalo kita tetap bersama, Mas. Aku gak mau hidup dalam kesakitan terus. Wanita itu meminta pertanggungjawaban kamu atas bayi yang dikandungnya."
"Kamu gak mau kasih aku kesempatan lagi, Lis? Gak kasian sama anak-anak?" tanyanya lagi. Kali ini ia mulai bersimpuh di hadapanku.
"Justru karena aku kasian sama anak-anak, Mas, makanya aku ambil keputusan ini. Coba kamu ingat-ingat, Mas, udah berapa banyak kesempatan yang aku kasih tapi selalu kamu sia-siain? Dari awal kita nikah kamu selalu begini kan, Mas, tapi aku selalu kasih kesempatan, berharap kamu bisa berubah dan menghargai pernikahan ini. Tapi nggak untuk kali ini. Kamu benar-benar sudah menodai pernikahan kita. Biarkan aku pergi dan mencari kebahagiaanku sendiri bersama anak-anak."
Mas Harry pun tak bisa berkata apa-apa lagi. Ia hanya menangis sambil bersimpuh di depanku. Tapi itu tetap tak akan merubah keputusanku.
Aku yang selama ini bertahan dengan semua tingkah lakunya di luaran sana, kali ini tak bisa melakukannya lagi. Selama ini aku masih berusaha memaafkannya dan mengesampingkan rasa sakit hati ini demi anak-anak. Ya, semuanya demi mereka. Agar mereka tetap merasakan keluarga yang utuh dan kasih sayang kedua orangtuanya.
Namun, kali ini aku tak bisa mentolerirnya lagi. Ia menodai pernikahan yang suci ini dengan tidur bersama wanita lain. Jadi biarlah aku yang mengalah dan mencari bahagiaku sendiri. Tak ingin lagi bertahan dalam kesakitan demi orang yang tak pernah menghargai keberadaanku di sisinya. Karena aku percaya, kebahagiaan itu kita sendiri lah yang menciptakan, bukan orang lain.
-tamat-