Nanar kutatap benda tipis kecil dengan hiasan segaris strip merah di atasnya yang tergeletak di samping keran wastafel. Pras menghampiri, wajah yang sempat cerah itu seketika mendung. Pelan diusapnya punggung ini.
"Gak apa-apa, belum rezeki. Sabar, yaa ...."
Kuhela napas panjang mendengar ucapan suamiku. "Kira-kira kapan, ya, Allah akan kasih kita kesempatan menjadi keluarga seutuhnya ...?"
Sebuah pertanyaan yang lebih mirip keluhan, sukses meluncur dari bibirku. Pras mengambil benda tipis tadi dari tanganku, kemudian menggenggam tanganku erat.
"Allah yang paling tahu kapan waktu terbaik untuk kita. Tak pantas kita mempertanyakan ketetapan-Nya. Udah dong, jangan sedih lagi, masih banyak kesempatan untuk kita. Sarapan dulu, yuk!"
Aku mengikuti langkahnya menuju meja makan. Lelaki baik yang kuterima pinangannya empat tahun lalu itu, telah menyiapkan sarapan yang lezat untuk kami. Ah, sungguh dia adalah suami terbaik yang Allah kirimkan.
****
"Rin, ngapain sih bengong aja dari tadi?"
Sebuah sapaan serta tepukan di pundak membuatku terkejut. Segera kupalingkan wajah pada sumber suara yang telah kukenal baik itu. Dia adalah Wulan, rekan sekantorku.
"Gak apa-apa, Lan."
"Mikirin apa sih? Pagi-pagi udah melamun gitu."
Kutatap wajah teman baikku. "Gue cuma lagi mikir aja ... Nisa yang baru kemarin nikah, sekarang udah hamil. Sita yang barengan sama gue, anaknya udah mau dua. Sedangkan gue, masih begini-begini aja."
Wulan mengusap lenganku lembut. Memberikan senyum terbaiknya.
"Sabar, ya, Rina Sayaanngg ... Insya Allah kesabaran loe gak akan disia-siakan Allah. Percaya deh ...."
Kubalas senyumnya. Meski resah tetap bersarang di hati. Mengingat telah beberapa kali aku dan Pras mengikuti serangkaian tes, yang semua hasilnya menunjukkan kami baik-baik saja. Tak ada yang salah pada kami. Bermacam usaha pun telah dijalani, sebagai bagian dari ikhtiar. Semata karena ingin menunjukkan kesungguhan kami dalam menjemput karunia Allah. Ah, mungkin ini memang hanya masalah waktu saja.
****
"Sayang, sarapan dulu, yuk," bisik Pras.
"Sebentar, nanggung nih," jawabku.
"Sini, biar aku yang ngurusin. Kamu sarapan aja, ya. Aku gak mau kamu sakit."
Senyumku mengembang mendengar ucapannya. Perlahan kujauhkan bayi mungil yang sedang menyusu itu. Tampak mulut kecilnya bergerak ke kanan dan kiri, seperti belum puas telah menahanku di kasur selama tiga jam ini. Menggeser tubuh perlahan agar ranjang tak berderit.
Pras mengangkat dan menimangnya perlahan. Semua tampak terkendali, putri kecil kami perlahan menutup mata. Namun, sejurus kemudian tangisnya membahana. Membuat Pras sedikit kewalahan.
Segera kuambil bayi itu dari tangan Pras. Namun terlambat, tangis tadi telah membangunkan bayi lain yang tengah tertidur lelap di atas kasur. Kedua tangisan itu membuatku dan Pras saling berpandangan, senyum bahagia pun terbit.
"Nikmat banget rasanya ya, Yang. Gak pernah nyangka Allah kabulkan doa kita, di waktu yang tepat, yaitu saat kamu akhirnya mutusin untuk berhenti bekerja. Allah benar-benar Maha Baik, ya," ujar Pras seraya mengecup keningku. Sungguh, lengkap sudah keluarga kami saat ini. Semua penantian juga letih kala mengasuh putri-putri kami, hampir tak terasa lagi.
Ya, putri kembarku lahir tepat di tahun ke lima pernikahan kami. Saat aku mulai pasrah dan menyerahkan semua pada-Nya. Allah malah menunjukkan kebesaran-Nya, menghadirkan dua makhluk mungil di rahimku. Yang terlahir sehat dan sempurna, tak kurang suatu apapun.
Aku teringat ucapan Wulan hari itu. Mengakui bahwa yang dikatakannya benar. Allah tak menyia-nyiakan kesabaran kami. Terbayar sudah penantian lima tahun ini. Lunas.
~Tamat~