Hubungan yang Terlarang

1.2K 34 3
                                    

[Bebi, mall yang di daerah Citra itu udah buka loh. Kita nonton yuk.]

Sebuah pesan WhatsApp masuk saat masih asyik berkutat dengan berkas-berkas penerimaan pegawai baru. Setelah membacanya sekilas, aku pun melanjutkan pekerjaan semula. Berusaha mengabaikan seseorang tersebut.

[Bebi … Sayang … kok gak dibalas? Kenapa? Udah makan belum? Makan yuk, aku laper nih.]

Pesan berikutnya pun masuk lagi. Yang lagi-lagi cuma aku baca sekilas saja, tanpa ada keinginan untuk membalasnya. Dan bisa kutebak apa yang akan terjadi setelah itu.

Benar saja, panggilan telepon dari orang yang sama pun datang. Berkali-kali panggilan itu berdering sampai ponsel terpaksa di "silent" agar tidak menimbulkan kecurigaan yang lain.

[Bebi, kenapa teleponku gak diangkat? Kamu marah? Aku buat salah?]

Pesan itu masuk bersamaan dengan Manager HRD yang memanggil via interkom. Segera kusimpan ponsel di laci dan beranjak menuju ruangan di sudut demi memenuhi panggilan atasan tadi. Pekerjaan lebih penting ketimbang meladeni orang itu.

🍃

Mentari telah beranjak ke ufuk barat. Cahaya jingga mulai meninggalkan cakrawala dan digantikan oleh gelap. Aku berjalan gontai menuju parkiran dengan pikiran yang masih berkelana ke mana-mana.

Dari jauh tampak siluet seseorang yang bersandar di pintu mobilku. Perlahan tapi pasti detak jantung terasa semakin kencang. Ya, aku tahu siapa yang tengah menunggu di sana. Bahkan tanpa melihatnya sama sekali.

"Susah banget ya sekarang nemuin kamu, Beb. Aku sampe harus izin pulang cepat dari kantor," tukas lelaki yang tampaknya telah menunggu cukup lama di sana.

"Aku kan kerja, Den. Ngapain juga kamu harus nunggu di sini?" Sengaja aku jawab seketus mungkin berharap hal itu akan membuatnya mengerti.

"Iya, aku tau. Tapi kenapa kamu gak balas pesan aku? Telepon aku juga gak diangkat. Aku buat salah apa sampe kamu begitu? Ustadz mana yang sukses ngerubah kamu, Fir?"

"Apa hubungannya aku sama ustadz, Den? Gak perlu diceramahin juga aku tau kalo semua ini salah. Kamu aja yang gak mau sadar!"

"Jadi kamu serius mau udahin semua ini, Fir? Kenapa? Apa Hendra sekarang udah berubah jadi suami yang perhatian? Apa perhatiannya melebihi perhatianku?" Denny mendekat dengan wajah yang tampak kecewa.

"Hendra berubah apa gak, itu bukan urusanmu, Den. Urusanmu adalah anak dan istrimu. Dari awal juga aku udah bilang kan kalo yang kita lakuin ini salah? Karena kita udah punya kehidupan masing-masing. Kamu aja yang gak pernah mau ngerti, Den."

"Iya, aku emang gak mau ngerti. Karena aku masih sayang banget sama kamu. Aku gak bisa liat kamu selalu kesepian, Fir, karena suami bodoh yang gak peduli sama istrinya itu!"

"Siapa bilang aku kesepian, Den? Siapa juga yang bilang kalo Hendra gak peduli? Udah waktunya kamu sekarang perhatiin istrimu sendiri, Den. Kasian dia dicuekin terus-terusan."

"Fira … aku gak bisa hidup tanpa kamu, Bebi. Please jangan begini, jangan tinggalin aku," ujar Denny setengah memohon.

"Denny! Dari awal kita udah tau kan, kalo gak akan ada masa depan untuk kita. Karena kita udah punya kehidupan sendiri yang gak mau kita lepas, iya kan? Jadi buat apalagi kita lanjutin semua ini? Jangan serakah jadi orang, Den!"

"Jangan tinggalin aku, Fira! Aku udah gak ada rasa sama Mira. Kalo bukan karena Fikri, mungkin udah lama aku tinggalin dia."

"Tega kamu ninggalin Mira? Kamu gak kasian sama Fikri yang masih butuh perhatian orang tuanya? Demi Fikri, aku mohon bersikap baiklah sama Mira. Perasaan itu nanti akan tumbuh dengan sendirinya. Dan yang terakhir, jangan pernah hubungi aku lagi."

Takdir (Kumpulan Cerpen)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang