"Assalamu'alaikum. Gimana jadi gak?"
Suara yang sangat kukenal itu langsung terdengar kala tombol hijau di layar pipih kuusap. Membuatku tersenyum meski hati tetap merasa khawatir.
"Waalaikumussalam. Jadi. Ini udah izin. Jemput jam berapa?" jawabku.
"Setengah jam lagi sampe. Tunggu ya."
Tak lama panggilan dari lelaki tercintaku pun berakhir. Ya, dia adalah Fahri, yang menghalalkanku sebulan lalu dalam sebuah ikatan pernikahan.
Tanganku cekatan merapikan berkas-berkas di meja, agar telah siap pergi saat suamiku tiba. Tanpa sengaja mataku tertumbuk pada sebuah benda yang melingkar di jari manis. Bukti keseriusan seorang Fahri yang ingin menjadikanku bidadarinya di dunia. Senyum terkembang lagi dari bibir tipisku.
"Fan. Katanya kamu mau izin pulang. Gak jadi?" tanya Pak Ardi, atasanku yang tadi kumintai izin untuk pulang kantor lebih cepat.
"Jadi, Pak. Tunggu jemputan dulu."
"Oh, ya udah. Tapi besok masuk loh ya, besok kita mulai kerjain payroll."
"Siap, Pak."
Ponselku kembali berdering bersamaan dengan Pak Ardi yang masuk kembali ke ruangannya. Segera kuraup tas dan kunci laci lalu berjalan tergesa ke luar ruangan seraya mengangkat panggilan.
"Iya, tunggu ya. Ini udah mau turun."
Setelah menuruni deretan anak tangga, aku pun tiba di lantai satu. Lalu keluar melalui pintu kaca. Benar saja, lelaki itu telah menanti di roda dua kesayangannya.
"Udah siap?" tanyanya seraya mengangsurkan helm padaku.
"Yaaa, gitu deh," jawabku yang membuat tawa menawannya terbit.
Kami pun segera melaju menyusuri jalanan beraspal yang belum padat. Perjalanan dilalui dengan obrolan demi obrolan dengan tanganku melingkar di pinggangnya. Membuat tubuh kami melekat sempurna.
Empat puluh menit kemudian, kami pun tiba di depan klinik dokter yang dituju. Setelah menunggu sepuluh menit, namaku pun dipanggil. Dengan hati berdebar aku pun masuk diikuti oleh suamiku.
"Jadi juga nih operasi gigi?" sapa dokter Elisa yang telah berusia setengah baya dari balik meja praktiknya.
"Jadi, Dok. Abis kalo ditunda-tunda, yang ada sakit terus-terusan," jawabku.
"Nah, iya. Apalagi kalo nanti udah hamil, bakalan susah deh mau operasi giginya."
Ucapan dokter Elisa sukses membuat rona merah muncul di wajahku. Ah, kenapa jadi malu begini sih ngomongin tentang hamil. Wajar kali, kamu kan udah nikah, Fan!
Aku pun naik ke bed khusus pemeriksaan gigi setelah dipersilakan oleh dokter. Lalu memeriksa gigi bungsu yang saat itu sedang bersahabat. Dalam artian bengkak dan sakit yang membuatku harus mengonsumsi obat-obatan.
"Berani kan?" tanya dokter Elisa lagi sambil mempersiapkan peralatan yang diperlukan.
"Takut sih, Dok, aslinya," jawabku jujur.
"Gini deh. Saya doain abis operasi gigi ini, Mbak Fani langsung hamil ya. Mau kan?" tawar bu dokter lagi.
Aku pun melirik Fahri yang masih duduk di kursi sebelahku tadi. Ia tengah menatapku dengan senyum, lalu mengangguk mantap.
"Mau, Dok, doain ya," sahut Fahri.
"Tuh, suaminya aja mau. Masa Mbak Fani gak mau," ujar dokter Elisa lagi.
"Mau atuh, Dok."
"Ya udah, sekarang gak usah takut ya. Operasi kecil aja kok. Cuma buang gusi yang nutupin gigi bungsu aja biar gak bengkak dan sakit terus-terusan."
"Gak takut kok, Dok, kan ada saya di sini." Tiba-tiba saja, Fahri telah ada di sisiku dan menggenggam tangan ini erat. Entah sejak kapan.
Tak lama tindakan pun dimulai. Tubuhku sedikit mengejang saat pisau menyentuh gusi dari gigi bungsuku. Bukan sakit, mungkin hanya ketakukanku saja, toh sebelumnya telah diberi bius. Tanganku meremas tangan Fahri yang menggengam semakin erat. Ah, aku memang penakut.
"Udah selesai. Ini saya kasih penghilang nyeri, nanti sampai di rumah langsung diminum ya." Dokter Elisa menuliskan sesuatu di kertas, sepuluh menit kemudian saat telah tindakan selesai.
Kami pun menuju parkiran setelah obat-obatan telah diterima dari perawat yang berada di meja pendaftaran tadi. Lalu kembali menyusuri jalan raya. Kali ini menuju rumah.
"Mau makan sekarang apa nanti, Yang?" tanya Fahri sambil membukakan pintu.
"Nanti aja, mau cucian dulu." Aku masuk dan mendahuluinya Fahri menuju kamar mandi.
Selesai bersih-bersih tubuh, aku pun menuju meja makan. Hendak menyiapkan makan malam untuk Fahri. Namun, tiba-tiba sensasi nyeri muncul di gusi yang tadi mengalami tindakan. Tanpa sadar rintihan meluncur dari mulutku. Membuatku mulai menangis.
Fahri yang baru keluar dari kamar, segera menghampiri begitu melihat kondisiku. "Kenapa? Mulai hilang ya biusnya?" Tanpa diduga ia mendekapku erat. Membuat tangis ini semakin keras.
"Maaf ya, Sayang. Aku lupa ingetin buat minum penghilang nyerinya dulu." Fahri mengusap rambutku pelan. Mencium puncak kepala dengan lembut. "Minum obatnya dulu aja yaa biar gak sakit lagi."
Aku pun mengangguk. Fahri pun segera mengambil segelas air dan obat yang tadi diberikan perawat. Ia melayaniku dengan baik, senyum pun tak pernah hilang dari bibirnya. Betapa beruntungnya aku memiliki dia.
"Abis itu makan ya kalo sakitnya udah hilang. Apa mau dibeliin bubur aja biar gak usah kunyah-kunyah dulu?" tanyanya masih dengan seulas senyum yang selalu mampu meruntuhkan pertahananku.
"Iya, mau bubur aja. Tapi pesen online aja ya, aku gak mau ditinggal."
Fahri tertawa pelan. "Manja banget sih. Jadi berasa punya anak kecil. Eh masih inget doa ibu dokter tadi gak? Semoga dikabulin Allah ya, aku udah pengen gendong bayi."
Seketika rona merah muncul lagi di wajahku. Kenapa sih, ia harus membahas hal tersebut sekarang, saat nyeri ini masih terasa.
"Kenapa mukamu merah? Udah gak sabar juga kan? Yuk, kita proses lagi, biar cepet nambah garisnya kalo kamu testpack."
"Ih, apa-apaan sih, aku masih sakit begini, malah ngomong begituan," sahutku dengan bibir mencebik.
"Haha ... iya deh, nanti ya kalo sakitnya udah hilang."
Ampun deh ... apa semua suami seperti ini sih?
Tangerang, 14 Mei 2019
Nb. Kisah ini berdasarkan kisah nyata penulis 😅
Iyaaaa, kisah nyata akuuuu 😆