Suara-suara itu menggema di balik salah satu kamar resort dengan konsep kemah. Felisya Aurelin baru saja meletakan koper miliknya ke sudut ruangan. Kemudian menjatuhkan tubuh ke permukaan kasur empuk berlapis kain putih. Imajinasi yang ada dalam pikirannya langsung bekerja tatkala melihat lampu hias di langit-langit ruangan. Kerangka mungil yang terbuat dari susunan pelepah palem itu seperti rok yang sedang berputar di pesta dansa.
"Coba aja gathering kayak gini diadain tiap sebulan sekali, atau seminggu sekali, refresh otak gue!" celoteh Anindia Putri yang terduduk di tepi ranjang sambil memandangi apapun yang ada di ruangan itu secara bergiliran.
"Dikasih hati minta empedu, lu! minta didepak ya?! rugiin perusahaan."
"Becanda kali, Fel. Sensi amat, belum nemu pengganti lu, ya?"
"Putri!" pekik Felisya kencang.
"Iya Fel, Putri gak pernah jomlo."
Felisya bangkit dari rebahan dan menoleh ke belakang cepat. "Keluar gak lo?!" ancamnya sambil mengangkat bantal tinggi-tinggi siap dijadikan bumerang.
"Iya-iya, ah!" Dengan rasa takut, Putri segera keluar, melangkah cepat.
Cewek berambut sekitar bahu itu menjatuhkan lagi bantal ke tempat semula. Ia jongkok untuk membuka koper dan mengambil sesuatu dari sana. Pouch mungil berisi make up, barang berharga sejuta perempuan itu selalu menjadi prioritas. Diletakannya wadah berupa kain dengan warna biru itu ke nakas di samping ranjang. Lalu terdiam.
Sudah hampir dua bulan Ia menduduki posisi sebagai perancang busana di salah satu butik branded. Merantau ke kota metropolitan dengan bekal gelar dan pengalaman tentu saja membantunya memperlancar nasib di sana, tetapi belum dengan statusnya. Selama di Bekasi, Felisya singgah di berbagai tempat dengan harapan banyaknya suasana baru yang ditemui akan membantunya melupakan masa lalu. Akan tetapi, tanpa menemukan seseorang yang berbeda, Ia merasa tersesat dan tidak tahu kemana harus pulang.
"Woy!" Suara gertakan itu tiba-tiba saja membuat Felisya nyaris jatuh telentang. Kali ini Ia benar-benar meraih bantal dan dilemparkan ke arah sahabatnya itu sambil memaki, "Lo mikir gak sih gimana kalau gue koid? gue belum nikah, kesian nanti jodoh gue kalau jadi jomlo sendirian di dunia ini. Udah tahu gue orangnya jantungan."
"Iya maafin Putri deh," sahut cewek berambut panjang itu mengalah, kemudian ekspresinya berubah. "Ayo keluar, katanya putra bungsu yang punya butik udah datang. Cewek-cewek hebohnya pada amit deh."
"Ya terus? maksudnya siapa tahu berjodoh sama gue gitu? terlalu sering kita berpikiran kayak gitu lama-lama mati halu beneran. Udah deh, gue mau beresin dulu barang. Lo duluan aja." Felisya berpaling lagi ke koper yang sudah terbuka. Benar, seumur hidup ada banyak cowok yang ditemuinya, tapi belum juga ia dipertemukan dengan yang benar-benar ingin dipilih.
"Jangan pesimis gitu dong! Buka hati lo, buka!"
Tanpa menoleh, Felisya menyahut, "Realitanya begitu, Put, lo duluan aja gih, bentar lagi kelar kok."
"Ya udah deh, gercep ya!" Putri membalikan tubuhnya dan berjalan melenggang keluar. Temannya yang satu itu benar-benar ratu kepala batu. Batu biasa masih bisa berubah dengan proses alam seiringnya waktu. Namun Felisya Aurelin, memilih untuk tidak jadi batu biasa.
oOo
Tawa lebar mendominasi selembar foto di ujung jemari seorang fotografer handal. Sudah berbulan-bulan sejak pertemuan terakhir yang memilukan itu, Arsenio Dareen tidak pernah lagi melihat cewek over narsis yang selalu ingin menjadi objek bidikan kameranya. Teriakan suaranya juga tidak pernah lagi membuat kepalanya berdengung.
"Arsen ngapa jauh-jauh dari Fefel? udah gak mau sahabatan lagi?" tanya cewek itu saat dirinya tidak bisa lagi menjaga jarak.
"Buat apa sahabatan kalau kamu sendiri berharap lebih dari itu?"
Pertanyaan cowok berkulit seputih susu itu berhasil membuat bibir mungil Felisya menganga untuk beberapa detik, kemudian mengatup. Bagaimana bisa cowok tidak peka itu langsung membungkam mulutnya dengan kalimat yang kecepatannya lebih tinggi dari senapan? Dengan gemetar Ia bertanya, "Tahu dari mana?"
"Anak-anak kampus bilang kamu selalu ngomongin aku dan mereka menyimpulkan sendiri."
Demi derai hujan yang kembali ke langit, Felisya tidak pernah membayangkan situasi seperti ini. Melihat perangai manis yang selalu menyuguhkan kedamaian tiba-tiba saja bisa datar seperti itu. Bukan lagi seperti Arsenio yang dikenalnya, tetapi di sinilah Ia baru tahu bahwa ada sisi lain darinya yang tidak dikenali dan ingin berkenalan.
"Kenapa gak tanya aku langsung?"
"Tanpa harus aku nanya ke kamu, gestur kamu itu udah nunjukin kalau kamu suka sama aku!"
"Terus kamu gak suka?"
"Fel, jangan mengubah apapun yang udah seharusnya begini!"
Arsenio merasakan jempol kakinya basah. Ketika dilihat ke bawah, itu air mata cewek di hadapannya yang terjatuh dan tertiup angin. Kedua bahu yang lebih rendah itu terlihat gemetar. Sejenak merasakan hatinya terbelah-belah, apa yang baru saja dikatakannya? tidak seharusnya sekasar itu. Kamu sudah bikin anak orang nangis, Sen! umpatnya dalam hati.
"Fefel?" gumamnya seperti manusia yang baru sadar dari kesurupan.
Tanpa mendongak, Felisya berbicara, "Fefel emang childish, wajar kalau Arsen gak suka, tapi gak seharusnya kamu ngejauh, sebab aku udah menahan lama perasaan ini demi kebaikan persahabatan kita, tapi sikap kamu itu bikin aku sadar gak seharusnya aku masih temenan sama kamu, Sen!" Ia melirik sekilas cowok pemilik mata sayu itu sambil melangkah pergi.
Untuk sesaat Arsenio merasa terkejut. Cewek itu memang kekanakan, sembrono dan emosinya mudah tersulut. Namun tidak pernah mengatakan kalimat kejam di akhir pembicaraannya itu. Tenang, tenanglah Arsen, dia bakalan baikan lagi seperti biasa. Pikirannya berusaha membuat afirmasi. Ya, besok atau lusa cewek itu akan kembali mencarinya ke manapun, meminta didengarkan segala keluh kesahnya dan berakhir dengan mengacaukan pekerjaannya.
Namun satu minggu sejak saat itu, jangankan kembali, bahkan segala media komunikasi dan sosial media diblokirnya. Arsenio baru menyadari jika sikapnya selama ini sudah membuat cewek itu merasa sangat tidak diinginkan sehingga menyimpulkan untuk benar-benar pergi dari hadapannya.
"Tante, Fefel ada?" tanyanya ketika mendatangi rumah Felisya.
Renata heran dengan pertanyaan anak muda itu. "Sudah seminggu Fefel pergi, kalian ada masalah? pantes nolak saat ditawarin biar Arsen aja yang ngantar dia."
"Fefel kemana, Tan? nginep di rumah sepupunya kan?"
"Maaf, Arsen. Fefel minta Tante gak bilang kemana dia pergi, termasuk bilang ke kamu. Yang pasti dia baik-baik aja di tempat yang jauh itu."
Mendengar kalimat terakhir, Arsen merasa apa yang telah diciptakannya, yaitu jarak, benar-benar telah menjauhkan keduanya. Padahal maksudnya selama ini hanya ingin menghindari pertemuan yang terlalu intens dengan cewek itu agar perasaan Felisya kepadanya tidak semakin mendalam. Namun terkadang melupakan satu hal, jika menggunakan satu cara pandang saja, justru bisa mengubah persepsi.[]
KAMU SEDANG MEMBACA
UNCOMMON REGRET (telah terbit)
Genel KurguFelisya Aurelin melarikan patah hatinya ke kota perantauan dengan menghabiskan waktu bersama Haidar Galen, sahabatnya. Ia mewujudkan mimpinya sebagai desainer profesional, kemudian menjalin cinta baru dengan Candra Emilio, pemilik perusahaan tempatn...