Angin sore ini menyapa dengan kencang menandakan bahwa hujan akan segera turun.
Gadis berhodie putih itu segera menutup kepalanya dengan tudung hodienya lalu segera bangkit dari bangku taman itu. Ia berlari kencang menuju rumahnya karena hujan yang turun semakin deras membasahi tubuhnya.
Gadis itu sedikit tersentak saat mendengar suara gemuruh dari langit, hujan turun semakin deras membuat gadis itu menggigil kedinginan dan gadis itu baru saja sampai di depan rumahnya.
Rain mengatur napasnya yang tak beraturan, lalu mengetuk pintu rumahnya.
tok!tok!
"Bibi...." panggil Rain, namun tak ada jawaban.
"Kenapa pintunya ke kunci sih," gumam Rain.
"Bibi, bukain pintunya," teriak Rain dari luar rumah tapi sama sekali tak mendapatkan jawaban.
Rain mengambil benda persegi panjang itu lalu segera menelepon ayahnya karena ia sudah sangat kedinginan.
Gadis itu menghela nafas, mengetahui bahwa ayahnya sama sekali tak mengangkat telepon darinya, ia menatap pintu rumahnya yang tertutup dengan tatapan kesal. Gadis itu menyimpan ranselnya, menghela nafas pelan lalu berjalan pergi dari rumahnya.
Gadis berhodie putih berjalan tak tentu arah, saat ini dirinya sudah basah kuyup karena terkena air hujan yang sangat deras. Bibir gadis itu seketika bergetar hebat merasakan dingin yang menembus kulitnya.
"Rain bodoh, kenapa lu ga nunggu depan rumah aja," batin Rain merutuki dirinya yang selalu mengambil keputusan yang menyiksa dirinya.
"Kenapa papa ga angkat telepon dari gua ya, apa gua telepon Gavan aja?" tanyanya pada dirinya dan segera menepi untuk mendapatkan tempat yang tidak terguyur hujan.
Rain menatap layar ponselnya dan segera menelepon Gavan. "Dingin banget, pliss angkat Van," gumam Rain.
tak membutuhkan waktu yang lama telepon yang semula berdering tergantikan dengan suara sahabatnya itu.
"Ada apa?," tanyanya diseberang sana.
Rain tak menjawab pertanyaannya ia hanya berdiam diri tak berniat bersuara, yaah gadis ini memang sedikit anehh.
"Halo, Rain? lu baik baik aja kan?" ucap Gavan khawatir.
"Dingin van," lirih Rain menahan rasa dingin yang saat ini mendominasi dirinya.
Gavan menghela napas gusar mendengar jawaban dari sang sahabat, ia tak habis pikir dengan sahabatnya itu yang sangat hobi menyiksa dirinya.
"Lu dimana?"
"Gatau tapi ga jauh dari rumah, tadi...." ucapan Rain terpotong saat Gavan menyuruhnya berhenti berbicara.
"Udah gausah ngomong lagi, mending gosok tangan lu biar anget, gua bakalan jemput." setelah mengucapkan itu Gavan lalu mematikan teleponnya sepihak.
Disisi lain....
Gavan segera mengendarai motornya, melaju dengan kecepatan tinggi tak memperdulikan pengendara lain yang mengklakson dirinya agar tidak ngebut seperti itu, tapi sang empunya tidak memperdulikan itu semua yang saat ini ia pikirkan hanya gadis aneh itu yang membutuhkan dirinya.
Rahang Gavan mengeras dibalik helmnya saat melihat gadis berhodie putih sibuk menggosok tangannya dan tak menyadari kehadirannya.
"Rain," ucap Gavan pelan.
Gadis itu mengalihkan perhatiannya dan segera menatap ke arah pria yang saat ini berada dihadapannya.
"Gausah ngomong, cepetan naik," perintah Gavan penuh penekanan.
Gadis itu hanya menundukkan wajahnya dan segera melakukan apa yang Gavan perintahkan.
.
.
.Rain menelan ludahnya cukup gugup mendapatkan tatapan tajam dari Gavan. "Bisa ga sih lu tuh dengerin ucapan gua gausah ngeyel," ucap cowo itu menghela napas pelan lalu meletakkan coklat hangat yang baru saja ia buat.
"Bisa ga?"
"...."
"Oh, gabisa ya."
Gadis itu menangis tanpa suara dengan tubuh yang menggigil, Rain memejamkan matanya saat merasakan tangan Gavan mengelus lembut rambutnya.
Cowo itu selalu punya cara agar gadis didepannya tidak mengeluarkan air matanya, ia tersenyum miris melihat keadaan sahabatnya itu.
"Maaf," ucap Gavan lalu duduk disebelah Rain.
Rain menggeleng. "Lu gada salah, seharusnya gua yang minta maaf ga pernah dengerin apa kata lu," balas Rain.
Gavan menghela nafas, lalu tanpa sepatah katapun ia segera menyandarkan tubuhnya pada sofa yang ia duduki saat ini.
"Cerita," ucap Gavan menatap langit langit ruang tamu.
"Pulang sekolah gua langsung ke taman terus tiba tiba hujan, pas nyampe rumah ternyata pintunya ke kunci gada orang jadi gua pergi tapi pas stengah jalan gua udah kedinginan jadi gua telepon lu," jawab Rain panjang lebar.
"mending sekarang lu tidur, istirahat gua masih ada kerjaan." cowo itu berbalik memilih pergi meninggalkan Rain.
Rain hanya bisa mengangguk lalu meluruskan kakinya ia tidak ingin beranjak dari sofa ini, dirinya terlalu malas menaiki tangga menuju kamarnya.
Apartemen Gavan memiliki dua kamar, ia sengaja mencari apartemen yang memiliki dua kamar karena ia tahu pasti sahabatnya akan selalu menginap.
.
.
.Ellia menatap sinis sosok yang ada dihadapannya itu. "Nyebelin banget sih lu, kan gua mau kerumahnya Rain," ucap Ellia kesal.
"Mau ngapain lu dirumah Rain?" tanya Reza dengan tingkat kesabarannya yang sudah berada di ubun-ubun melihat tingkah Ellia.
"Mau ngadain konser," jawab Ellia ngasal.
"Kenapa ga ke pacar lu aja sih, gua lagi main PS ege."
"Aldo sibuk."
"Nunggu gua selesai main PS."
"Gamau nunggu, maunya sekarang Ezaa."
Reza mengacak rambutnya frustasi melihat tingkah sahabatnya itu. "Sabar Ellia," ucap Reza mengukir senyumnya.
"Gua pulang," jawab Ellia berlalu meninggalkan Reza.
"Iya iya, kita kerumah Rain," teriak Reza lalu menyudahi kegiatannya.
"Lu telepon Rain dulu coba," ucap Reza.
"Ga di angkat, tadi gua udah coba telepon tapi ga nyambung teleponnya."
"Belum tentu tuh anak ada dirumahnya."
"Tapikan gua mau kerumah Rain."
"Kalau semisalnya Rain gada dirumahnya gimana?"
"Kita pulang lah, emang lu mau ngapain lagi."
"singgah makan dulu, gua laper belum makan."
"kasian banget lu."
"Ya mau gimana lagi."
.
.
.Reza menghampiri Ellia yang sudah menunggu di depan rumah Rain.
"Gimana, ada orang ga?" tanya Reza menghela nafas pelan saat melihat bahwa rumah Rain sangat sunyi dan juga gelap seperti tidak ada tanda kehidupan didalamnya.
"Kenapa suasananya mencekam njir, kek uji nyali," ucap Ellia seraya memperhatikan sekitarnya.
"Berarti orangnya gada, mungkin mereka lagi pergi," jawab Reza.
"Mengecewakan banget, anterin gua kerumah ya Za."
"Siap laksanakan nyonya Ellia."
"Jadi sayang deh sama Eza, sini peyuk duyu peyukk," ucap Ellia dengan senyum manisnya.
"Berpelukan...." ucap mereka berdua.
"Yaudah yuk pulang."
"Okee." Ellia menaikkan jempolnya tanda setuju dengan ucapan Reza.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
HOPE
Teen FictionAku hanya bisa meringkuk ketakutan saat melihat semua piring hancur berkeping-keping yang diiringi dengan jeritan amarah serta nada yang saling membentak. Aku takut kehilangan mereka, aku takut mereka akan pergi, aku takut. Disaat aku meminta kedam...