Sebuah pena dengan bulu bergerak di atas selembar kertas coklat di atas sebuah meja kayu keras. Aku duduk sambil terus menggenggam pena dan menuliskan beberapa kalimat di kertas di depanku. Buku harian. Bukan juga, sih. Mungkin bisa lebih disebut sebagai coretan-coretan hatiku. Sedikit menjijikkan, sih, mendengarnya.
“Ali, boleh aku bicara denganmu?” tanya sebuah suara yang membuatku tersontak ketika aku sedang serius menuliskan beberapa kalimat di atas selembar kertas.
“Uh ah eh aduh eh iya, kak. Kenapa, kak?” aku hanya terus mengelus-elus dadaku karena aku merasa jantungku akan copot ketika Kak Louis tiba-tiba telah berdiri di depanku.
Kak Louis mengambil sebuah kursi dan meletakkannya di hadapanku sehingga Kak Louis duduk tepat di depanku. Hanya meja besar ini yang memisahkanku dengannya. “Ini tentang…. Perjodohan itu,” ucapnya terlihat sedikit kecewa. Aku hanya mengangguk dan melepas kacamataku. Melipat dan meletakkan kacamata bacaku. Ugh, mataku mulai jelek.
“Pertama, aku ingin minta maaf soal kejadian kemarin malam. Aku kelewatan,” Kak Louis terlihat semakin menyesali kejadian kemarin malam.
Aku bangun dari dudukku dan mulai menepuk pundak Kak Louis hingga dia mengangkat wajahnya dan melihat ke arahku. “Tidak usah dipedulikan, kak. Aku juga sebenarnya tidak sopan kabur begitu saja,” senyumku dan membuat kakakku mulai tersenyum.
“Jadi, apa yang ingin kakak bicarakan mengenai perjodohan itu?” tanyaku ketika tumpuan badanku telah berpindah pada sebuah kursi yang kududuki.
Kak Louis menghela nafasnya panjang. “Lusa nanti dia akan kemari. Yah, sekedar bertemu denganmu,” ucap Kak Louis membuatku sedikit membatu. Wow. Aku belum siap. “Tidak apa-apa, kan?”
“Uh, iya, kak. Tidak ada masalah,” balasku dengan senyum yang terkesan memaksa di wajahku. Jujur saja aku sama sekali tidak siap untuk bertemu dengan laki-laki tanpa identitas yang tidak pernah aku ketahui itu.
“Yasudah kalau begitu. Aku harus pergi dulu bersama Liam. Jangan nakal, ya,” kakakku mencium keningku dan kemudian menjulurkan lidahnya tepat di depan wajahku.
“Tidak akan, Kak Louis yang jelek,” balasku menjulurkan lidahku. Kak Louis hanya tersenyum jahil dan meninggalkan kamar ini. Aku kembali duduk di kursiku dan memutarnya hingga membuatku menghadap jelas ke luar jendela di mana taman bunga dapat terlihat jelas. Entah mengapa aku sangat senang memperhatikan bunga-bunga bermekaran di luar sana.
Tiba-tiba secara sekilas namun pasti, kedua mataku melihat bayangan hitam di bawah pohon besar di dalam taman bunga. Hanya bayangan hitam. Siluet seorang laki-laki dengan pedangnya. Itu laki-laki misterius dengan bayangan hitamnya di hari hujan kemarin hari.
Aku berdiri dari dudukku ketika bayangan itu mulai bergerak ke belakang pohon. Langkah kakiku menuntunku berlari menuju taman bunga di belakang gedung. Kedua kakiku berusaha berlari mencari sosok bayangan hitam itu di setiap blok semak-semak besar yang tertata rapi di antara para bunga-bunga.
“Hei, siapa di sana?” tanyaku sambil memperhatikan sekitar mencari laki-laki itu. Tidak ada jawaban sedikit pun sampai aku melihat bayangan hitam itu berjalan memasuki mansion di sisi Barat.
“Hei, kau! Tunggu dulu!” teriakkanku yang diikuti langkah kaki cepatku kembali mengejar sosok misterius itu. Aku terus berlari mengejar bayangan hitam yang selalu menghilang dan hanya menampakkan wujudnya setiap muncul persimpangan baru. Terdengar seperti menuntunku menuju sebuah tempat.
Aku terus berlari dan berlari hingga masuk ke sebuah lorong panjang di sisi lain gedung sayap Barat. Lagi-lagi bayangan itu menuntunku hingga kedua kakiku berhenti di depan sebuah pintu. Perpustakaan. Mengapa bayangan itu menuntunku sampai sini? Kudorong pintu masuk menuju perpustakaan dan lagi-lagi kulihat bayangan hitam itu berada di dekat lemari besar di tengah ruangan. Kudekati dirinya dan tiba-tiba bayangan hitam itu menghilang di balik lemari. Aku yakin laki-laki itu berjalan ke arah sini. Ke mana dia sekarang?
KAMU SEDANG MEMBACA
Turn Back The Pendulum
FantasyFairy tales don't always have a happy ending, do they?