26th May 1613
Aku adalah ruh yang kehilangan suara oleh derap dan raung angkara.
Satu demi satu nyawaku disergap halimun bersama rantai pathos. Selinap sembilu dalam lipatan-lipatan waktu. Tetap di sini aku tegak. Di tengah kemarau mengurapi liang-liang luka dan bertahan pada pusaran limbubu.
Seperti peri, aku akan terus menunggu muara-muara untuk berlumut. Dan bersaksi tentang padang-padang di balik deru debu dan lahar yang terpanggang. Seperti jelagra, aku akan terus mencatat tiap tonggak yang berarti dan menata kembali keping-keping yang luruh dari mimpi.
Aku adalah ruh yang kehilangan bayangan ketika gerhana.
Akulah saksi semua mereka yang dimangsa dalam negeri oleh ribuan celeng raksasa yang menyulut cakrawala jadi rimba mereka. Dan aku akan terus memberi marka di setiap jalan berbalik dan menyimpang agar garis awal tetap nyata dan senja tetap berjingga.
Selalu kubuka daun-daun jendela agar angin musim tetap berhembus seperti setiap kali roda-roda sejarah bergemuruh. Setiap waktu, butir-butir impianku tertimbun lahar dan mengering. Seperti parit ditinggal sungai.
Beberapa kalimat yang disusun seakan menjadi sebuah catatan harian menghiasi halaman-halaman pembuka buku kuno yang, yah, berjudul cukup mengerikan ini, The Beagle God. Di sini aku masih terus menggenggam buku tebal yang penuh debu. Mencerna setiap makna yang tertulis di dalamnya.
“Jadi, kau mengerti apa maksud dari catatan pertama dari si penulis yang tidak mencantumkan namanya itu?” tanya Zayn di sebelahku sambil menggenggam dudukan lilin berwarna emas itu.
“Sejujurnya aku sama sekali tidak mengerti semua makna yang tertulis di buku ini. Penulis ini seakan menceritakan tentang dirinya yang bukan dirinya lagi,” ucapku sambil membuka halaman sebelumnya.
“Bacalah kalimat-kalimat pembuka buku ini. Orang-orang yang selamat. Selamat dari apa? Apa yang terjadi pada hari itu? Hei, Zayn, apa kau tahu?”
Di sebelahku, Zayn hanya dapat menggeleng-gelengkan kepalanya tanpa memberiku sebuah titik terang. “Aku tidak tahu, Al. Aku benar-benar tidak tahu apa yang terjadi. Tidak ada satupun catatan sejarah yang mencerikan mengenai peristiwa seratus tahun yang lalu.”
“Hei, lihat. J.T. Kau mengerti maksud dari kata ini?” tanyaku pada Zayn sambil menunjuk sebuah singkatan di pojok kiri bawah kertas di mana dirinya hampir tertutupi oleh lipatan buku. Kubuka halaman-halaman selanjutnya dan kembali menemukan singkatan itu di tiap halamannya.
“J.T. Perhatikan, singkatan itu selalu ada ditiap halaman.”
“J.T. Aku rasa aku pernah mendengar nama itu. Tapi, aku tidak bisa mengingatnya. Argh, aku benar-benar lupa,” omel Zayn sambil mengacak-acak rambutnya karena rasa frustrasi. Secercah harapan bagiku seakan kembali pudar ketika aku tahu Zayn tidak dapat mengingatnya.
“Sudahlah, Zayn, jangan terlalu kau pikirkan. Kita masih bisa mencari artinya, kan,” senyumku padanya.
“Ugh, maafkan aku Al. Andai saja aku bisa mengingatnya, mungkin kita akan lebih mudah memecahkan semua ini malam ini.”
“Yang kita dapat malam ini sudah cukup banyak. Kita lanjutkan saja esok hari dan saatnya untuk kembali ke kamarku dan tertidur. Selamat malam, Zayn,” ucapku pada Zayn dan berjalan meninggalkan perpustakaan ketika wujudnya menghilang seperti sebuah asap yang diterpa angin malam. Buku besar yang kini ada di pelukanku akan menuntunku ke sebuah dunia alam bawah sadarku di mana sebuah kepingan waktu yang dilupakan akan kembali muncul dan menjadi sebuah lukisan besar di depan kedua bola mataku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Turn Back The Pendulum
FantastikFairy tales don't always have a happy ending, do they?