Louis’ POV
Aku panik. Aku panik. Aku. Panik. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan saat ini. Pikiranku kacau. Adikku menghilang. Aku tidak tahu keberadaan adikku. Ayo bergerak, Louis! Kau harus menemukan Allison! Tapi apa daya, kedua kakiku mati rasa. Aku kehilangan semua otot di tubuhku. Kucoba menggerakkan semua anggota gerak di tubuhku namun apa daya, hasilnya nihil.
”Louis!” sebuah teriakkan membangunkanku dari lamunanku yang berusaha mengambil alih kesadaranku dan memutar balikkannya dengan tujuh puluh persen ketidaksadaranku yang sangat mustahil untuk dipahami. Bahkan oleh diriku sendiri.
”Louis, apa yang kau pikirkan? Tenangkan dirimu! Kita harus segera mencari Tuan Putri!” seru Niall yang berusaha mengangkat sang pengendara kereta kuda yang masih tidak sadarkan diri ke dalam kereta kuda. Benar. Aku harus sesegera mungkin mencari adikku. Aku tidak akan membiarkan kepala adikku berujung di tempat pelelangan ilegal tempat para bandit mengadu nasib mereka.
”Tu-Tuan Rainsworth,” aku dan Niall memalingkan kepala kami pada sumber suara. Sang pengendara kereta kuda berusaha menyadarkan dirinya dari semua mimpi buruknya.
”Tuan! Anda tidak apa-apa? Apa yang sebenarnya terjadi? Kemana adikku pergi?” seruku sambil menghujaninya dengan beberapa pertanyaan yang aku tahu mustahil untuk dijabarkan olehnya dengan kondisi seperti saat ini.
Tangan kanan sang pengendara kereta kuda mulai terangkat perlahan. Keempat jarinya mulai menekuk perlahan dan meninggalkan jari telunjuknya yang lebih terangkat dari yang lain. Kuikuti arah yang dia tunjukkan yang ternyata mengarah pada sebuah jalan kecil di ujung jalan yang dihimpit oleh rumah-rumah yang tinggi menjulang yang hanya bertembokkan batu-batu tanpa cat.
”Niall, ikut aku!” seruku yang diikuti anggukan Niall. Kami berdua berlari secepat mungkin menuju jalan sempit di ujung jalan. Tak ada pembicaraan di antara kami berdua. Ya, karena fokus pikiran kami hanya satu, Allison.
Dua buah rumah di sisi kanan dan kiri kami mulai mengecil ketika kami sampai di jalan kecil ujung jalan ini. Sebuah gang yang hanya bisa dilewati oleh para pejalan kaki tersebut membentang tanpa ujung dan terus bercabang seperti labirin. Rumah-rumah setinggi setidaknya lima meter menjadi sebuah pembatas atau pagar dalam labirin.
”Allison!” seruku mulai sedikit panik ketika hujan mulai turun perlahan membasahi jalanan setapak ini. Rambutku basah. Pakaianku basah. Hujan semakin deras dan membuat sepatu boots-ku terasa berat karena terisi oleh air hujan.
”Allison!”
”Louis hentikan!”
”Apa maksudmu dengan hentikan?!” teriakku semakin kencang membentak Niall yang terlihat sama basahnya seperti diriku. Aku merasa keadaan sekelilingku terasa sangat panas. Aku marah. Aku benci. Aku kesal.
”Louis, tenangkan dirimu! Jika kau terus berteriak seperti itu, hanya akan memancing para bandit tersebut untuk terus bermain game dengan kita. Kau harus lebih tenang, Louis. Putri Allison tidak akan apa-apa. Percayalah padaku,” tatapan keseriusan Niall mulai menenang diriku yang sudah hampir sepenuhnya dimakan oleh kemarahan.
”Dengarkan aku, kau lihat pertigaan di depan sana? Kita akan berpencar. Kau ambil jalan menuju Barat, dan aku akan mengambil jalan menuju Timur. Kita telah menyusuri semua jalanan di sini. Keberadaan Tuan Putri ada di antara kedua jalan itu. Siapapun yang menemukannya, berteriaklah dan yang lain akan datang padamu. Kau setuju?” tanya Niall dengan sangat serius. Aku bisa melihat asap hasil nafas yang keluar dari mulutnya setiap dia mengucapkan sebuah kata. Hujan ini membuat keadaan menjadi sangat dingin. Kuanggukan kepalaku sebagai tanpa persetujuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Turn Back The Pendulum
FantasyFairy tales don't always have a happy ending, do they?