Chapter 23: Tacenda

283 36 10
                                    

Tacenda
(n.) Things better left unsaid; matters to be passed over in silence.

.

.

Suasana di ruangan nan megah itu kembali sunyi. Hanya suara nafas yang terdengar berat yang menghiasi ruangan tersebut. Anak tertua keluarga Rainsworth tengah berdiri di samping sebuah kursi kayu yang kini tergeletak di atas lantai akibat tendangannya yang cukup keras. Wajahnya sedikit memerah karena emosinya yang saat ini sedang berada di atas ubun-ubunnya. Kepalan tangannya mengubah tangan yang semula berkulit coklat itu menjadi memutih dan mumucat. Bahkan, gesekan gigi-giginya menimbulkan suara-suara yang tidak enak didengar telinga. Sedangkan anak kedua keluarga Rainsworth yang terlihat lebih tenang hanya bisa terduduk, mematung. Pandangannya hanya tertuju pada kepalan kedua tangannya yang diletakkan di atas meja. Kedua kakinya masih bergetar di balik meja, mencegahnya untuk berdiri mengikuti kakaknya. Ekspresi wajahnya terlihat seperti seseorang yang baru saja melihat hantu atau kejadian yang tidak disukainya. Takut.

Mereka berdua tahu betul apa yang sedang mereka lakukan saat itu. Mereka tahu betul apa dan dengan siapa mereka terlibat dalam sebuah kejadian yang sulit untuk diterima akal sehat. Semenjak laki-laki berambut pirang itu meninggalkan ruangan, kedua laki-laki berambut coklat itu terus berfikir. Apakah salah mereka melibatkan diri dalam lakon yang sedang dipentaskan seperti sebuh drama ini? Entahlah, tentunya mereka tidak bisa memilih. Karena, sudah takdir mereka terlibat dalam hal aneh ini.

Ucapan yang sejak awal dilontarkan pria berambut pirang dengan mata sedalam samudra itu terus menjadi pikiran dua bersaudara tersebut. Mereka sadar dan mengerti dengan semua hal yang dilontarkan laki-laki tersebut. Bahkan mereka mengetahui siapa sebenarnya laki-laki yang mengetahui segala hal yang ada dibenak mereka dan bagaimana bisa laki-laki itu mengetahui semua hal secara terperinci. Hanya mereka yang tahu. Hanya mereka berdua yang tahu siapa sebenarnya laki-laki itu.

Tapi, benarkah hanya mereka berdua?

Seorang laki-laki dengan long coat berwarna hitam senada dengan warna rambutnya tengah terduduk di sebuah jendela berbentuk lingkaran besar yang berada di belakang ruangan. Ukurannya yang sangat besar ditempatkan dibagian atas tembok – nyaris menyentuh langit-langit ruangan – dengan tujuan sebagai jalan penerangan alami. Matahari di siang hari, dan cahaya bulan di malam hari.

“Oh, Niall, tak kusangka kau semakin pandai dalam hal seperti itu,” ujarnya dengan senyum yang terlihat sedikit licik.

Siluet tubuhnya terlihat jelas akibat sinar bulan yang masuk tepat melalui jendela tersebut. Laki-laki itu hanya terus tersenyum sambil membaca sebuah buku tua nan kusam berjudul ‘The Beagle God’.

“Dan Louis, Liam, apa yang akan kau lanjutkan setelah ini, kawan? Apa yang akan kau lakukan dengan adik tersayang kalian? Kurasa, permainan ini akan sampai di titik puncaknya dalam waktu dekat.”

Kini laki-laki itu menghilang seperti sebuah debu yang ditiup angin. Sekilas, sinar bulan yang terlihat redup berhasil memantulkan cahaya redupnya yang mengenai kedua mata lelaki itu. Mata coklatnya yang seperti sebuah batang kayu tua nan kokoh hanya memandang kedua kakak beradik yang tengah dilanda kecemasan itu dengan licik.

Tepat sebelum dirinya lenyap begitu saja, secarik kertas jatuh dari buku yang dibawanya. Beberapa deret tulisan tangan yang ditulis dengan tinta hitam tersebut terlihat berbeda dengan tulisan tangan lainnya di buku tersebut. Seperti sebuah pesan yang ditulis seseorang untuk sang penulis buku.

Angin malam yang cukup besar masuk melalu ventilasi udara dan membuat kertas tersebut melesat menuju perapian di sisi lain ruangan. Sekejap, kertas itu terbakar tanpa menyisakan apapun dan siapapun untuk mengetahuinya.

Turn Back The PendulumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang