Matahari bersinar terang menembus daun-daun pohon di atasku. Aku duduk sendiri sambil melanjutkan membaca sebuah buku mengenai kota ini yang dari beberapa hari lalu menarik perhatianku. Tidak pernah aku lewatkan sepotong kalimat pun dari buku ini.
Kedua kakakku lagi-lagi sedang pergi dengan berbagai urusan kerajaan. Aku sendiri. Membosankan. Biasanya aku selalu bersama Kak Liam karena urusan-urusan kerajaan telah diselesaikan Kak Louis. Yah, kurasa Kak Louis butuh bantuan lebih karena masalah pertunangan (bodoh) itu.
“Jadi, kau sangat tertarik dengan buku tua itu?”
“HUWAAA!” teriakku histeris ketika sebuah suara terdengar di telingaku. Kuberpaling dan kutemukan hantu gila itu lagi.
“Pergi kau hantu jelek! Apa maumu? Kau ingin tumbal, hah?” lanjutku mengayun-ayunkan tanganku padanya yang berdiri dengan kedua tangannya di dadanya.
Hantu aneh bernama Zayn itu hanya memasang sebuah wajah aneh dengan sebelah alisnya yang ia naikkan.
“Dasar. Tidak kusangka kau itu putri yang banyak berkhayal. Untuk apa aku membutuhkan tumbal sepertimu,” cibirnya memanyunkan bibir bawahnya sambil membuang wajahnya. Aku hanya memicingkan mataku.
“Siapa kau sebenarnya?” tanyaku mulai bergesar sedikit ke dekatnya yang sedang duduk melipat kedua kakinya di tempat dudukku semula. Aku tetap menjaga jarak darinya. Aku bukan perempuan yang sangat berani dengan sesosok hantu aneh di depan mataku.
“Aku Zayn. Untuk yang kedua kalinya,”
“Zayn?”
“Zayn Malik,” jawabnya melihatku.
“Nama belakang?” tanyaku yang tiba-tiba membuatnya terlihat sedikit shock. Aku hanya terlihat sedikit bingung menanggapi aksi tanpa jawabannya.
“…. Aku tidak ingat….” Zayn terlihat menundukkan kepalanya menatap barisan semut yang berjalan di bawah kakinya. Lebih tetapnya terlihat seperti memikirkan apa jawaban yang harus dia keluarkan dari mulutnya.
“Tidak ingat? Bagaimana kau bisa?”
Zayn menarik nafasnya panjang dan membuangnya secara perlahan. “Ketika aku mati, aku kehilangan beberapa ingatanku. Termasuk nama belakangku.”
“Bagaimana kau bisa mati?” tanyaku lagi. masih terlalu banyak pertanyaan di kepalaku mengenai ‘manusia’ ini.
“Ugh, bagaimana kalau kita saling bertanya tujuh pertanyaan saja? Begitu lebih mudah,” usulnya membuatku semakin sumringah.
“Baiklah. Aku yang memulai!” seruku girang. “Bagaimana kau mati?”
“Terbunuh…. Menyedihkan,” jawabnya sambil mendramatisir sebuah tangisan palsu.
“Aku turut berduka cita, Zayn…. Berapa umurmu ketika kau mati?”
“Um eh aku lupa.”
“Kapan tepatnya kau terbunuh?”
“Aku juga tidak bisa mengingatnya.”
“Keahlianmu?”
“Berpedang dan bermain hand gun!”
Kedua mulutku terbuka lebar. Wow, dia terdengar seperti bangsawan kelas atas. “Mengapa model rambutmu begitu?”
Zayn tertawa keras. “Karena aku suka.”
“Bunga apa yang kau sukai?”
“Mawar putih, huh?”
“Wah! Kau sama denganku! Roti atau permen?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Turn Back The Pendulum
FantasyFairy tales don't always have a happy ending, do they?