(n.) traitor
.
.
Kepergian Niall dari pandangan Zayn hanya diikuti oleh helaan nafas panjangnya disertai raut wajah yang mencerminkan simpati mendalam pada seorang lelaki bermata biru tersebut. Wujud Niall yang semakin menghilang dikegelapan malam membuat rasa sesak di dada Zayn yang entah mengapa terasa begitu menyakitkan. Dipegangnya dadanya sembari menyandarkam tubuhnya di sebuah pilar tepat di bawah lilin yang meredupkan suasana malam.
Rasa itu tidak pernah hilang, di mana denyut jantung berdetak kencang hingga rasa sakit tak tertahankan itu kerap membuat kepalanya terasa berputar dengan kecepatan tinggi. Ingatan di masa yang telah lalu selalu menjadi pemicu sakit yang tak berujung itu. Entah yang keberapa kalinya, mata biru milik lelaki yang baru saja meninggalkan eksistensinya tersebut selalu menggali kenangan lama yang telah Zayn kubur dalam-dalam. Kenangan di mana dirinya – yang hanya sebagai penonton – untuk pertama kalinya meneteskan air matanya ketika dirinya pernah merasakan melihat dunia dari pandangan kedua bola mata biru milik Niall.
"Dasar, bodoh," ucap Zayn perlahan dengan kepala tertunduk. "Bodoh. Bodoh. Bodoh."
Dengan tubuh yang semakin tenggelam, kini dirinya terduduk tepat di atas permukaan lantai marmer yang dingin, Zayn tidak dapat menyembunyikan setetes air mata yang menetes tepat di lantai marmer tersebut di antara kedua kakinya. Tetes demi tetes mulai berubah menjadi layaknya air terjun dengan debit air yang meningkat drastis di musim hujan. Rintihannya pelan, namun terdengar jelas. Dirinya sangat beruntung dengan kondisinya saat ini, tidak akan ada yang bisa mendengar tangisnya yang sangat menggelikan tersebut.
Zayn kembali teringat hari di mana dirinya bertemu dengan Niall beberapa tahun lalu. Seorang lelaki berkeliaran sendirian di tengah hutan dengan baju penuh darah cukup membuat Zayn berteriak sekuat tenaganya hingga burung-burung yang bertengger di pohon sekitar berterbangan dengan paniknya. Pandangan anak tersebut terlihat kosong sesaat, sebelum teriakan megah Zayn membuat tatapan terlihat lebih manusiawi. Zayn sangat mengingat hari tersebut, hari di mana dirinya tidak pernah menyangka bahwa hidupnya akan berubah seratus delapan puluh derajat.
"Dasar bodoh," ucapnya lagi untuk kesekian kalinya. "Kau memang orang paling mengesalkan di dunia ini."
Remasan tangan Zayn di dadanya meregang dan membuat tangan kirinya kini tergeletak di sisi kanannya. Genggaman tangannya terbuka dan secarik kertas lusuh menggelundung keluar dari genggaman tangannya tersebut. Gulungan kertas itu terbuka perlahan ketika tidak ada ada lagi halangan yang menahannya untuk terbuka. Sepotong kalimat yang ditulis dengan tinta hitam mulai terbaca dengan jelas. Tulisan tangannya khas, cukup dikenali tanpa nama penulis yang harus tertera di dalamnya.
Buat mereka membunuhku, Zayn.
"Bodoh."
.
.
Tepat di tengah kesunyian hutan di belakang mansion keluarga Rainsworth ketika bulan sabit yang sendirian tengah bersinar dengan cahaya redupnya di atas sana, seorang lelaki berumur tidak lebih dari tiga puluh tahun tengah mempersiapkan dirinya untuk melakukan sebuah kewajiban yang sudah diturunkan turun temurun dari beberapa generasi di atasnya. Postur tubuhnya tegak, tidak terpancar kegelisahan dan keraguan apapun di kedua bola mata coklatnya. Tak lupa sepasang hand gun bertengger dengan indahnya di kedua sisi pinggangnya, siap untuk diluncurkan. Gelapnya malam dan sunyinya hutan membantunya dalam berkamuflasi dengan sempurna. Terlebih lagi, suara serangga-serangga nokturnal menyamarkan suara langkah kakinya yang hanya bersifat minoritas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Turn Back The Pendulum
FantasiFairy tales don't always have a happy ending, do they?