"Terimakasih adikku, Rose"
Setelah mengucapkan beberapa patah kata tersebut, Carlton segera pergi dan menutup pintu kamar Roseanne dengan cepat. Gadis itu menatap kepergian Carlton yang menyisakan keheningan dikamarnya.
Selang beberapa saat, Roseanne berusaha untuk menyandarkan tubuhnya pada bantal besar sambil mengalihkan pandangannya. Ia menatap gelang yang diberikan oleh Carlton untuk waktu yang cukup lama. Di balik gelang itu terukir detail nama Roseanne de Feliceu. Gadis itu tersenyum hangat sembari mengamati pemberian Carlton.
Ia menyisir rambut panjang lurus miliknya dengan kelima jemari yang menguntai tiap helai rambut perak Roseanne. Gadis itu termenung dengan kejadian-kejadian yang menimpanya beberapa hari ini. Mulai dari salam perpisahan Raven hingga Identitas Lord Felix yang merupakan seorang keturunan kerajaan. Ia pun tak luput dari mimpi yang dialaminya barusan, gadis itu menghembuskan napas dengan berat, mengingat kembali peristiwa pahit dalam hidupnya di masa lalu.
"Apa semua ini masuk akal?"
Ia bertanya-tanya kepada dirinya sendiri, sebenarnya apa tujuan hidup yang sesungguhnya? Bukankah ini berarti Tuhan memberikannya kesempatan untuk membuat akhir yang bahagia kali ini? Berbagai pertanyaan yang timbul kembali memicu nyeri di kepalanya. Roseanne menujukan kedua bola mata violet miliknya ke arah tangan yang sedang bergetar. Berusaha untuk tenang, dan mengingat memori bahagia di pikirannya namun malang, tak satupun kenangan itu terlintas dalam benaknya.
"Tidak, tidak. Semua akan baik-baik saja, Aku...aku pasti bisa mengubah alur cerita ini" Roseanne menahan agar air matanya tidak jatuh dan membasahi kedua sisi wajahnya. Ketika ia merasa dapat mengontrol emosi, ia beranjak dari ranjang tersebut dan melangkahkan kakinya menuju Cermin besar yang terletak tak jauh dari ranjangnya.
Memandang tubuh ramping dengan kaki jenjang milik gadis itu membuat Roseanne tak mampu mengalihkan pandangannya pada sosok yang tampak pada cermin itu.
"Kurus sekali...."
Ia memanyunkan bibir dan mengucap hal yang sama berulang kali. Kemudian sebuah ide mengalir dalam benaknya, membuat Rose bersemangat kembali dan berjalan ke arah daun pintu yang masih tertutup rapat semenjak kepergian Carlton dari kamarnya.
"Sera?"
Roseanne mengintip di balik celah pintu dan tidak mendapati siapapun di depannya. Gadis itu menghembuskan napas berat dan menarik gagang pintu sehingga ia dapat dengan leluasa keluar dari kamarnya.
Roseanne mulai menapakkan kakinya menuju tangga yang ada di pojok lorong sepanjang 7 meter. Satu demi satu ia menuruni anak tangga hingga tersisa 3 buah anak tangga yang akan mengantarkannya menuju ruang makan keluarga. Kedua bola mata yang menyusuri setiap sudut di ruang makan tak mendapati satu pun orang di kediaman tersebut. Sepi, tak ada orang yang berlalu lalang.
Kemana perginya semua orang?
Rose berjalan dan memanggil nama Sera untuk yang kesekian kalinya. Tak terdengar sahutan dari seberang, ia malah beralih untuk mengambil salah satu kue kering yang terletak di meja. " Bahkan Carlton tidak ada disini?" , Rose mendesah pelan dan memilih untuk pergi berjalan-jalan keluar.
Masih dengan 2 buah kue kering yang ia bawa, Rose membuka pintu belakang dan menempuh jalur cepat menuju kandang kuda Kediaman Feliceu. Ketika hendak menutup pintu belakang tersebut, Sir Ben muncul dengan wajah pucat dan kantung mata yang besar. Hal ini tentunya membuat Roseanne sangat terkejut dan tersedak. Ia memukul pelan dadanya sembari menunjuk sosok yang ia lihat.
"Sir Ben?" , Pria itu menoleh dan berusaha untuk melempar senyum lemas ke arah majikannya. "Saya memberi salam kepada Putri Roseanne"Rose mengangguk dan mendekati pria itu. Ia bertanya mengenai kepergian semua orang di kediaman Feliceu. "Ah mengenai hal tersebut, saya dengar bahwa mendadak pagi ini Yang Mulia Kaisar memberikan surat undangan untuk para bangsawan yang tergabung dalam ikatan pertahanan dan keamanan Kekaisaran Atlante. Tuan Duke dan Tuan Carlton langsung pergi setelah menjenguk anda, Putri". Sir Ben menatap 2 pintu kandang kuda yang kosong menandakan bahwa pemiliknya telah membawa mereka pergi.
Gadis itu menaikkan satu alisnya, dan kembali bertanya tentang hal itu. "Lalu, Sera dan yang lainnya berada dimana?". Sir Ben menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, kemudian menimpali, "Soal itu....Saya rasa putri harus mengetahuinya sendiri". Rose memandang Sir Ben untuk waktu yang cukup lama, namun pria itu tak akan membuka mulutnya sehingga ia tak perlu membuang waktu untuk membongkarnya. Toh, Sera tak akan berbuat yang tidak-tidak.
"Baiklah kalau begitu", sahut Rose. Ia membalikkan tubuhnya dan terhenti sejenak. "Sir Ben, tolong jangan mengkhawatirkan yang lain. Kau hanya perlu fokus pada hal tersebut". Sir Ben tertegun dan segera membalas perkataan Roseanne. "Baik, Putri"
********
Di balik ruang kerja yang penuh dengan tumpukan kertas dan tinta hitam yang telah melekat pada meja tersebut. Seorang pria tengah mengerutkan kening dan mengusap kasar wajahnya. Baju formal yang tengah ia gunakan tak senada dengan rambut acak miliknya.
Ia membolak-balikkan kertas dan menandatangani selembar demi selembar berharap agar dokumen itu menghilang dari pandangannya. Namun malang, usaha yang ia lakukan tak membuahkan hasil apapun. Kertas itu seakan muncul kembali dengan jumlah yang lebih banyak.
Kemudian pria itu menyandarkan dirinya dan memijat area pelipis yang sedikit penat. Matanya beralih menatap butiran salju yang perlahan jatuh dan pantulan dirinya di jendela itu. Pria itu menghela napasnya dan tertawa pelan sambil berceletuk, "Mengapa aku terlihat sangat menyedihkan?". Ia kembali menatap meja kerja dengan tumpukan kertas yang memiliki cap resmi dari tiap lembaga. Pria itu membuka laci mejanya dan mengambil sebuah kotak cincin berwarna silver. Cincin pasangan yang digunakan untuk pertunangan itu kini tak lagi tersemat di jemarinya.
Ia mengambil salah satu cincin itu dan menatapnya lamat-lamat. Bola matanya sayu memandang cincin yang memantulkan cahaya dari jendela. Kemudian ia meletakkannya kembali. Berusaha meyakinkan bahwa semua keputusan yang telah ia ambil merupakan hal yang tepat.
"Aku tak mungkin mencintainya"
Pria itu membenamkan dirinya pada peristiwa beberapa hari yang lalu. Saat ini, ia merasa bahwa tulisan di hadapannya kabur bahkan tak terbaca sama sekali. Pikirannya melayang entah kemana. Segala kejadian yang berkaitan dengan gadis itu terus terbayang dalam benaknya. Perlakuan, perkataan, bahkan pandangannya pada gadis itu kembali ia rasakan dengan dalam.
Kemudian ia meringis, merasakan sakit di kepalanya saat segala kejadian yang terjadi mulai terangkai dalam otaknya. Hingga kejadian itu membuatnya merasakan nyeri pada bagian dada.
"Aku tak mencintainya, bukan?"
Ia menarik rambutnya frustrasi,
"Sial"
"Aku tak dapat menghilangkanmu dari benakku"
Ia menutup kedua mata dengan tangan kanannya hingga tetes air mata mulai membasahi wajahnya. Berharap tak ada yang menyaksikan pengakuan pria itu. Perlahan ia dapat merasakan penyesalan yang merayapi tubuhnya.
"Mengapa? Padahal waktu tak cukup lama untuk membuatku berpaling padamu, Rose"
To Be Continue
(Maaf ada beberapa perubahan karena saya udah lama nggak update jadi lupa alurnya sedikit wkwk~)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Villainess Wants To Meet A Good Ending
Fiksi RemajaAnne, seorang bintang yang bersinar di Kota Meddleston ditemukan meninggal dunia di tempat syuting drama terbarunya yang diadaptasi dari sebuah novel best seller berjudul "Lady Beatrice, Marry me!" Novel itu menceritakan tentang seorang tokoh utama...