"Daripada kamu di sini nganggur liatin Mama bikin rendang, mending berangkat aja, deh!"
"Heh, geblek! Sonoh buruan pergi!"
"Hurry, go back!"
Kalimat mereka sama seperti yang diucapkan Papa sebelum mengembuskan napas terakhirnya. Bukan cuma Mama, tapi Agnes dan Dad juga sepenuhnya tahu akan isi hatiku, kalau aku menderita ketika tidak bersamanya. Apa memang terlihat sekali yah, dari mukaku?
Sudah hampir setengah tahun lamanya aku tidak berjumpa dengannya. Kesibukkan kantor memenuhi keseharianku, dari pagi sampai malam. Kadang hingga matahari kembali terbit pun aku masih terus di meja kerja. Bahkan juga pernah ketiduran di atasnya.
Cukup membantu mengalihkan pikiran sebetulnya, karena tiada hari aku tidak memikirkannya. Apalagi ketika panggilan teleponnya yang terpaksa kuabaikan sesuai rencana Benjamin dan Bakti tidak pernah datang lagi. Sungguh gila rasanya!
Ugh! Apa justru rencana ini malah menjadi senjata makan tuan? Bagaimana kalau dia sudah lelah dengan sikapku yang tidak menentu seperti ini? ... Jangan bilang sekarang perutnya sudah membuncit besar? Benih dari lelaki lain yang dipilih untuk menjadi pasangan hidupnya. Ugh! Ugh! Ugh!!!
"Dessert for you, Sir," ucap seorang pramugari dan meletakkan ice cream cup di atas mejaku yang penuh dengan gambar sketsa. Hebat sekali timing-nya. Memang aku perlu makanan penutup ini untuk mendinginkan pikiranku yang ngaco.
Ya, di sinilah aku berada saat ini, di dalam pesawat, untuk secepatnya kembali padanya. Aku sudah tidak bisa lagi menahan diri untuk tidak menemuinya.
Persetan dengan rencana mereka! Lupakan bayi yang menjadi alasan utama pertengkaran konyol ini! Dari awal aku sudah memutuskan untuk bersamanya. Titik!
Begitu pesawat mendarat, aku bergegas menuju area imigrasi, meraih koper, dan mencegat taksi. Untung saja aku tidak perlu berlama-lama menunggu karena berbaris-baris kendaraan berwarna biru sudah menunggu tepat di luar bandara.
Kepalaku berdenyut sakit akibat kurangnya waktu tidur dan kelelahan setelah lebih dari dua puluh jam lamanya berada di atas awan sana. Intinya, jetlag. Namun yang kuinginkan saat ini adalah untuk secepatnya mencapai rumahnya, memastikan bahwa tidak terjadi apa pun padanya, dan ia baik-baik saja.
"Terima kasih," ucapku pada sopir taksi yang dengan handal membawa kendaraannya hingga bisa mencapai tujuan dalam durasi singkat. Maksudnya, ia jago ngebut. Mungkin mantan pembalap.
Segera kutekan empat digit angka password pada panel yang urutannya tentu kuingat jelas. 5-6-7-1 atau sol-la-si-do~, sesuai dengan nada panggilan yang dikeluarkan auntie-nya yang nyentrik. Pintu di samping pagar pun terbuka dan aku melangkah masuk melewati tamannya yang luas serta terawat.
Kuperhatikan jam tangan yang bertengger di pergelanganku—tepat tengah malam. ... Tunggu. Ini masih jam Los Angeles. Aku belum menyesuaikannya dengan waktu di sini. Jam berapa sekarang? ... D—mn! Pukul dua siang. Saat tidak tepat untuk mengunjungi rumahnya karena di jam-jam sekarang, biasanya ia sedang berada di kantor.
Serentak aku berhenti melangkah dan menyadari satu hal. Aku sungguh tidak tahu malu! Sudah menyakitinya, sekarang malah kembali ke sini? Bahkan aku lebih rendah dari cupu dan culun. Memalukan! Aku betul-betul tidak pantas untuknya.
Posisiku saat ini berada tepat di bawah rindangnya pohon ... oooh~! Mangga! Setelah sekian lama hanya memunculkan beberapa buah saja berbentuk bulat kecil di rantingnya dan terus berwarna kehijauan, kali ini seluruhnya sudah matang sempurna dan siap untuk dipanen. Pupuk ajaib apa yang digunakan padanya? Mujarab sekali. ... Jangan bilang ... aku menginjak tanah tempat sepupu narsis Olivia itu menyiram! Nooo! My new shoes!
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Kidding
Romance[Undies Connoisseur Series] Antony's Unwise Fraudulence Akibat terbawa suasana setelah sekian lama ia akhirnya berjumpa kembali dengan kekasihnya, malam itu ia kebablasan. Oopsie! Di tengah kekecewaannya karena hanya satu garis muncul pada test pack...