5. Oh ... Really?

151 11 0
                                    

"Jadi? Kalian bertengkar lagi?" tanya Benjamin seraya mengeluh, sepenuhnya tidak tertarik dengan topik yang tengah dibicarakan.

Pengacara hebat di hadapanku ini merupakan sosok pelarianku kalau sedang cekcok dengan Olivia. Eits, bukan 'pelarian' yang seperti itu! Maksudnya teman curhat! Teman ngobrol! Geez! Jangan mikir yang aneh-aneh!

Seperti sekarang ini, contohnya. Kalau kami sedang berantem, aku menumpang di rumah Benjamin. Daripada menginap di hotel, 'kan? Ngirit, dong!

Apalagi besok aku sudah harus kembali berangkat ke Los Angeles karena pekerjaanku yang menumpuk terpaksa kemarin itu kusisihkan dulu. Aku segera terbang ke sini ketika menerima panggilan telepon dari Olivia. Kukira ia kenapa-kenapa karena suaranya terdengar panik dan dipenuhi ketakutan. Bah! Ternyata perihal baby yang nyatanya tidak pernah ada. Ugh! Jadi sedih lagi, nih!

"Kali ini, masalah bayi?" tanya Benjamin lagi.

Aku mengangguk lesu.

"Sorry kalo gue agak melenceng sedikit. Tapi, bukannya sebelum ke sana, lo seharusnya mikirin married dulu sama Olivia?" ceramahnya seraya memberikan gelas transparan berisi dedaunan teh yang baru saja diseduhnya.

Kenapa juga aku selalu meminta pendapat kepada makhluk aneh ini? Padahal ia adalah seorang perjaka jomlo yang hingga saat ini, di usianya yang telah melebihi empat puluh tahun, belum juga memiliki pasangan hidup.

"Alasan macam apa itu?! 'Benci anak kecil'?! Olivia?! What a joke!" bentakku, mengulang setiap kalimat kekesalanku padanya.

"Masa, sih?" Bakti ikut duduk di atas sofa. Ia mendorongku secara paksa ke tengah, tubuhku diapitnya dan Benjamin yang mana ugh! Sempit!

"Right? Aneh banget, 'kan?!" tanyaku seraya melampiaskan kemarahan dengan menonjok bantal hingga sedikit busanya terbang melayang-layang di udara. Aneh juga, sejak kapan Benjamin memiliki bantal berwarna pink terang seperti ini? Kampungan sekali.

"Kamu tau? Waktu itu aku pernah dipanggil ke ruangannya, dan Ibu Olivia ternyata bolehin Chris—"

"Hm? What?" tanya Christian ketika menyadari bahwa namanya barusan dipanggil.

"Oh. N-no, no. Uh ... play," jawab Bakti terbata-bata karena tidak terbiasa berbicara dalam bahasa Inggris yang tidak terlalu dikuasainya.

Anak yang sekarang beranjak semakin dewasa dan sudah tidak terlalu menggemaskan lagi seperti dulu, kembali melanjutkan bermain di atas karpet, menyusun mainannya hingga hampir menyerupai sebuah UFO. Habis, sekarang ia tidak mau untuk kucium pipinya! Padahal, dulu ia tidak pernah menolakku! Ugh! Bukan cuma Olivia, Christian pun membenciku. Huhuhu ....

"Iya. Waktu itu di ruangannya, Ibu Olivia bolehin dia,"—telunjuk Bakti mengarah pada Christian, khawatir kalau anak itu akan menoleh sekali lagi—"duduk di bangkunya! Main di situ! Di mejanya! Bayangin. Aku ga pernah liat orang laen boleh duduk di bangku singgasananya. Bahkan Amelia juga ga pernah, deh."

"How's Amel?" tanyaku.

Bingung juga ketika anak semata wayangnya malah dititipkan kepada Bakti, yang baru beberapa menit kuketahui kalau mereka berdua telah menjadi pasangan kekasih. Salut, deh. Office romance. Berani yah, pacaran dengan rekan kerja? ... Ugh! Lalu aku ini apa? Aku dan Olivia kan ibarat staf dan pimpinan!

"Sibuk. Tambah sibuk, malah. Gara-gara kamu, nih! Berantem. Jadi deh, tiba-tiba Ibu Olivia suruh semua staf kumpul buat meeting! Mana malem-malem gini!" keluhnya tidak suka.

"Lah? Lo kenapa di sini kalo gitu?"

Bakti masih kerja di kantor Olivia, 'kan? Atau jangan-jangan sudah dipecat? Betul-betul perempuan itu. Secepatnya aku harus cari guru yang sekiranya bisa meredam emosinya karena tingkatnya sudah melebihi batas wajar.

"Nanny, inget?" jawabnya seraya sekali lagi menunjuk ke arah Christian.

"Hahhh~." Aku kembali membuang napas.

Belum juga baikan, besok pagi-pagi sekali aku malah harus kembali mampir ke rumah Olivia. Entah apa mungkin aku bisa berpamitan padanya di tengah hubungan kami yang sedang dilanda badai topan begini.

"Sebentar," ucapku ketika merasakan timbulnya getaran dari dalam saku celana.

Oooh~! Olivia! Is that you? ... Bah! Ternyata pesan yang kuterima bukan darinya.

"Olivia?" tanya Benjamin sedikit melirik ke layarnya.

Aku menggeleng loyo. "It's Dad," jawabku dan melempar asal telepon genggam ke atas meja.

" 'Dad'?" tanya Bakti bingung. "Maaf, tapi bukannya ...."

"Uncle-nya," jawabku segera. "Dia pengen gue manggil dia dengan sebutan itu."

" 'Dad'? Pak Bakrie pengen lo manggil dia dengan 'Dad'? Wow! Lo udah seratus persen diterima jadi keluarga. Kalo gitu, lupakan married. Go make babies, now!" perintah Benjamin sambil menyeruput tehnya.

Kenapa malah dia yang jadi semangat begitu? Untuk membuat bayi, yang perlu bekerja kan aku dan Olivia. Apa hubungannya dengannya? Juga, otaknya korslet mungkin, yah? Aku kan sudah bilang tadi kalau Olivia menolakku! Masa tiba-tiba muncul bayi!

Dan yang lebih aneh lagi, kenapa warna teh di gelasnya tidak segelap cairan di dalam gelasku? Padahal sama-sama teh, 'kan? Tapi miliknya ... bening betul.

"Kamu ga bakal nyerah, 'kan?" tanya Bakti.

"Of course, not! Lo tau sendiri gimana sulitnya gue bisa balik lagi sama Olivia. Gue ga mau pergi ninggalin dia buat kedua kalinya!"

"Oh! Gue ada ide!" ujar Benjamin dengan pancaran matanya yang berubah licik dan sedikit menakutkan. Tapi ... aku dengar dulu deh, usulnya. Siapa tahu bagus, 'kan?

"... What?"

"Lo besok berangkat. Jangan ketemu Olivia," mulainya.

"Koper gue masih di rumah dia!" bantahku dengan cepat.

"Walaupun kamu ke sana besok pagi, kamu ga bakal ketemu Ibu Olivia. Aku jamin," timpal Bakti. "Inget?" tambahnya ketika ditatapnya mukaku yang kebingungan, "Ibu Olivia lagi meeting, bahkan sampe malem gini. Jadi antara nginep di kantor, atau masih tidur waktu kamu ke sana. Entar aku minta info dari Amelia, deh. Tenang."

"Euh ... mungkin juga, sih. Tapi ... jelasin? Maksudnya gimana?"

"Liat. Lo ninggalin dia tiga tahun, dan begitu lo balik ke sini, Olivia jadi rubah, 'kan?" tutur Benjamin.

Jelas ia jadi berubah. Pertama, celana dalamku disetrika rapi dan digantungnya. Kedua, femininnya hilang dan jadi jorok. Kalau dulu masing mending, dia cuma ngeces waktu tidur doang ... plus ngorok, sih. Apa itu yang dimaksud Benjamin?

"Masih ga ngerti juga? Olivia jadi klepek-klepek sama lo, 'kan?" tambahnya berusaha menyadarkanku.

Masa, sih? Yang ada Olivia tuh klepek-klepek sama abs-ku yang berotot.

"Tapi betul. Keliatan banget, deh. Kalo hatinya lagi berbunga-bunga karena kamu, di kantor jadi jauh lebih soft. Sering senyum juga dan banyak ngasih makanan gratis. Tapi kalo pas kalian berantem, hiii ... jangan tanya. Kayak sekarang, 'kan? Semua disuruh lembur," timpal Bakti mengiakan ucapan Benjamin sepenuhnya.

"Jangan bertele-tele!" bentakku, ingin segera langsung ke intinya. "Jadi gimana rencananya?"

"Jadi lo pergi aja. Jangan bilang-bilang Olivia. Oh! Jangan angkat telepon dia juga!" perintah Benjamin. Sepertinya ia memiliki dendam kesumat kepada Olivia.

"Gila, lo! Gue baru bisa balik ke sini mungkin setengah tahun lagi! Itu juga kalo cepet!"

"Setengah tahun itu ga berasa, deh. Waktu kan terus berjalan. Bahkan kalo lebih lama, menurut aku lebih bagus," ucap Bakti, jelas sekubu dengan Benjamin.

"Tapi—"

"Liat nanti hasilnya," potong Benjamin cepat, "lo pulang. Ketemu Olivia. Dia klepek-klepek. Mungkin kalian have baby. Entar Olivia bakal berubah pikiran kalo sebenernya dia suka anak kecil," jabarnya secara mendetail. "Gimana? Hebat bukan ide gue?"

Oh ... really? Menarik juga sih, idenya.

But ... seriously?

Just KiddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang