4. Oh, No!

160 12 1
                                    

"Stupid doctor!" umpatnya setibanya di rumah. "He prescribed me those stupid supplements again!"

"Hahhh~."

Aku tidak bisa berkata menanggapi bentakannya yang mencak-mencak barusan dan memilih untuk membuang napas saja. Sudah seperti kehilangan seorang anak, euh ... padahal jadi juga belum, tapi anehnya, sekarang aku merasa lesu dan lemas setelah dokter juga menyatakan bahwa Olivia tidak sedang mengandung. Ugh! Bagaikan diserang oleh kenyataan pahit, dua kali berturut-turut. Pertama, oleh test pack. Kedua, oleh dokter. Double ugh!

"And what are these for?!" tambahnya dengan emosi yang masih juga menggebu-gebu, belum siap untuk mereda. "Bayi tabung? Sperm donor? What?! Surrogate mother? I mean, for real?! Listen here, dear doctor who knows nothing! We're super fine and healthy! My lovely eggs are beyond perfect and his pretty sperms are exceptional!" bentaknya panjang lebar seraya merobek-robek kasar semua lembaran brosur yang diterimanya dari klinik.

"Hahhh~."

Aku pun membuang napas sekali lagi karena harus mulai menyapu dan bersih-bersih. Ia seenaknya membuang sisa pelampiasannya tadi ke atas lantai, potongannya kecil-kecil, menyebar dan beterbangan hingga ke mana-mana. Sedangkan Bi Esih, ART lansianya yang sudah berpuluh-puluh tahun mengabdi padanya, baru akan datang besok. Tidak mungkin perempuan emosian ini sanggup tinggal di rumahnya yang berantakan seperti sekarang ini.

"But anyway, yayyy! The world is not ending! I'm not pregnant!" pekiknya riang.

Mengerikan sekali wataknya. Sudah seperti mengidap double personality, ia berubah ceria dalam hitungan detik. Segera ia menjatuhkan tubuhnya ke atas sofa, berbaring dengan sebelah kaki naik ke atas meja dan kedua tangannya terbuka lebar membelah udara.

Aku tetap memutuskan untuk berdiri tegak, menatap wajahnya yang riang seperti anak TK yang baru diberi hadiah permen oleh Santa Claus. Bahkan rautnya terlihat lebih bahagia daripada saat kepulanganku waktu itu. Menyebalkan sekali. Bete, ihhh! Bete!

"... What, what? Say it!" ucapnya ketika menyadari kegembiraan tidak tampak pada wajahku. Tentu saat ini ia mengharapkanku jingkrak-jingkrak, berbagi kemujuran dan kesenangan dengannya. Party mode on merayakan ketidakhadiran janin dalam rahimnya.

Bagaimana mau bahagia, coba? My Mini Antony. Antony Junior. ... My baby. He's gone! Huhuhu ....

"Lo,"—Olivia mengubah posisinya dan ia kembali duduk tegak seraya menatapku—"don't tell me ... lo malah berharap gue hamil betulan?!"

Ding, dong! 80 poin!

Tentu aku potong 20 dari jawabannya yang tepat. Lihat sekitarmu, dong! Masa baru nyadar sekarang, sih?! Tidak lihat mukaku ini yang sejak tadi tidak ada pancaran hidup dan totally lifeless?! Apa kurang terlihat pucat? Apa aku harus pingsan dulu baru ia sadar dengan awan mendung yang sejak tadi menjatuhkan petirnya hanya di puncak kepalaku saja?!

"Seriously? You want me with baby?" tanyanya tidak percaya seraya menutup mulutnya yang terbuka lebar dengan kedua tangan.

"Ada yang salah?" balasku singkat dan mulai menyapu sampah yang ditimbulkannya.

"What? 'Ada yang salah'? Of course, salah!" Sekarang ia pun bangkit berdiri dan kedua lengannya memanjang ke atas seakan bertanya kepada Sang Pencipta Semesta kenapa bisa lelaki di hadapannya ini—yaitu aku—mengucapkan kalimat yang betul-betul bodoh baginya.

"Yes, yes!" bentakku seraya menjatuhkan sapu dan menimpa bahkan merusak tumpukan sampah yang baru saja selesai kukumpulkan. "I wanna have baby with you!"

"Lo ... lo gila! You're crazy! Well, you know what? I don't wanna have baby with you!" Serangan yang dilancarkannya itu membuat hatiku terbelah menjadi dua.

"... Wha-what? ... 'With me'? You don't wanna have baby ... with me?!" ulangku, berharap kalau telingaku keliru menangkap kalimat penolakannya tadi.

"What? No, no. I mean—"

"So you're fine having baby with someone else?" potongku menyindir ketika sakit hati yang kurasakan kian memuncak.

"Gosh! No!" jawabnya kesal. "I don't wanna have baby! Not with you, and of course, not with someone else, either! ... Gah! I hate kids!"

... Hah? Apa, apa? Dia benci anak kecil? Olivia? ... Mana mungkin?!

"You ... hate kids?"

"... This is getting nowhere! You know what? Let's just forget our conversation that we've had so far, and start from the very beginning. Okay? Errr ... yayyy~, thank God it didn't happen!" ulangnya dengan nada tinggi yang dipaksakan keluar, juga menghilangkan kata 'pregnant' yang menjadi biang kerok dari konflik saat ini. "Oh, and one more thing. From now on, you sleep outside!"

Apa? Melupakan perdebatan barusan? Ketika aku belum mendapatkan jawaban apa pun darinya? Maaf. Tapi tidak bisa seperti itu, Nona Besar! Lagian, aku yang selalu ngotot memilih tidur di sofa. Yang ngajak ke dalam kamarnya itu siapa?!

"Chris?" pancingku dengan memunculkan nama anak sahabat baiknya yang kuperhatikan sangat disayanginya. "You do love him, don't you?"

Setiap kali teman sekaligus sekretarisnya, Amelia, menitipkan anak semata wayangnya di sini, Olivia tidak pernah menolak, tuh! Bahkan ia menyuapinya, mengajaknya bermain, juga meninabobokannya. Waktu Christian membuat rumahnya berantakan sampai mirip kapal pecah pun tidak pernah kulihatnya marah-marah.

Dan rautnya itu. Paras wanita ini saat tengah berbaring di samping Christian yang sudah tertidur pulas, dan telapak Olivia tanpa henti menepuk area dadanya, berusaha memberinya ketenangan dan kehangatan.

Saat itu, ia tampak begitu mempesona. Ia bagaikan seorang ibu yang dipenuhi kebahagiaan karena kehidupannya sudah lengkap dengan hadirnya seorang anak yang menggemaskan.

Tapi, what is this?! She hates kids? What?!

"Euh ...."

"See?! Lo ga bisa jawab!" tantangku.

Entah bagaimana aku bisa menjadi seberani ini, membentaknya dan enggan untuk mengaku kalah. Padahal aku tengah menumpang di rumahnya. Oooh~! Apakah ini khasiat yang timbul dari obat kuat yang diberikan dokter OB-GYN tadi? Manjur sekali. Mantap!

"I, errr, I love babies ... yes, yes. I do love babies ... but only when ... only when ... they're not mine!"

Oh, bloody motherf—cker! Alasan macam apa itu?! Apa ia pikir aku bisa semudah itu memercayainya? Bahkan tetangga yang tidak dikenal juga bakal tahu kalau perempuan keras kepala ini tengah berbohong.

"You hate it that much?"

Olivia membuang napas dengan keras, tidak suka kalau aku mengabaikan permintaannya untuk mengalihkan pembicaraan, dan malah tetap ngotot mendiskusikan topik yang sama. "Gue udah pernah bilang, 'kan? Gue benci anak kecil."

"... Keliatannya, ga gitu."

"Well, you know nothing," balasnya dingin.

"Then, tell me."

Bukankah itu yang harus dilakukan sepasang kekasih ketika dilanda masalah? Saling terbuka dan jujur. Bagaimana bisa selesai kalau ia terus saja menolak membuka isi hati?

"I'm telling you right now. I hate kids!" bentaknya lagi, jauh lebih keras daripada sebelumnya.

"Alesannya?"

Olivia sepenuhnya diam dan ruangan menjadi hening.

"Liv? Alesannya?" desakku sekali lagi.

"No reason!" Suaranya menggelegar dan ia membuka lebar daun pintu. "I need some space!" tambahnya seraya mendorongku keluar dan membantingnya keras tepat di depan mukaku.

...

Oh, no!

Just KiddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang