10. Just Kidding

215 9 1
                                    

"No, no. Olivia, stop!"

"Apa lagi?! Gue udah setuju buat pertahanin bayi ini, but only if it is Little Tony. It's better than nothing, right?" balasnya sinis dan cenderung mengerikan.

"Tunggu—"

"What?!" bentaknya langsung seraya berbalik menghadapku. "Don't tell me lo pengen gue pertahanin dia, terserah apa pun gender-nya? Itu yang lo mau? Please, don't be egois! Ini rahim gue! Gue yang mengandung bayi ini! Every decision is in my hand!"

"No! It's not that! ... Gah! There's no baby inside your tummy!"

"... What?"

Oops! Kebenaran malah sekali jadi terucap tanpa terbendung kala ia mencak-mencak. Gawat!

"Gue ... gue bohong, Liv. You ... you're not pregnant," jawabku akhirnya, sepenuhnya jujur padanya. Semoga saja pengakuanku bisa mendinginkan lahar emosinya yang sudah meletus dan muncrat ke mana-mana. Tapi ... sepertinya agak sulit untuk mewujudkan harapanku itu.

"... W-what? How? ... Why? Why?!!!"

"I just ... I ... I wanna know why you hate kids so much. Gue ... gue pikir, kalo lo ngira lagi hamil, lo bakal berubah pikiran dan ... dan mulai sadar, kalo sebenernya lo suka sama anak kecil."

Akhirnya, keluar juga semuanya. Tapi ... bagaimana tanggapannya sekarang? Moment of truth! Aduh, jantungku berdebar. Tarik napas, buang napas. Hahhh~ ... sh—t! Malah makin cepat! Shut up, jantung. Shut up!

Ugh! Olivia tetap mematung dan tidak ada satu pun suara dihasilkannya walaupun mulutnya terbuka lebar. Mampus kau, Antony!

Tidak! Aku masih harus berusaha! Kalau begitu, akan kutambahkan kalimat defense-ku yang lebih panjang. Siapa tahu bisa meyakininya. Semoga.

"And ... and I think, mungkin ... mungkin itu bisa betul terjadi. Karena ... karena lo bilang that it's fine to have Little Tony around the house—"

"Little Tony, okay! Little Tony! I've never said Little Olivia!" balasnya akhirnya dengan suara yang keras. "What if it is Little Olivia that will come out of my tummy?! No! Never!"

Hah? Apa juga maksudnya? Mau Little Tony, kek. Mau Little Olivia, kek. Whether it's a boy or a girl, doesn't matter, right? Yang penting ia bayi kami berdua. Bayi yang merupakan perpaduan diriku dan dirinya. Our precious baby.

Ada apa ini sebenarnya? Olivia seharusnya bukan tipe pemilih seperti itu. Ya, ya. Aku tahu kalau dia tergila-gila padaku ... atau pada abs-ku. Ugh! Satu hal lagi yang aku masih belum dapat jawaban darinya. Aku butuh penjelasan!

Tapi sebelum ke sana, akan lebih baik kalau aku menenangkannya dulu yang masih menangis sesenggukan dan betul-betul terluka. Ini lebih penting karena hubunganku dengannya sudah di ujung tanduk, di tepi jurang! Sorry, Little Tony. Forgive me, Little Olivia. Papa janji tidak akan melupakan kalian. Betul! Tapi untuk sementara, kasih Papa waktu untuk baikan dulu dengan Mama. Itu harus! Kalau tidak, bagaimana caranya kalian bisa hadir ke dunia?!

Oh, tidak. Tatapannya sekarang benar-benar menggambarkan kesakitan yang dirasakannya. Mama kalian betul-betul marah pada Papa! Oh, no! What should I do? What should I do?!!!

Ugh! Semuanya memang salahku! Bukannya menyelesaikan masalah, malah muncul perkara baru yang jauh lebih parah. Good job, Antony! Good job! Lihat. Bahkan semua pembaca pun memberikan standing ovation setelah dibacakan hasilnya, bahwa pemenang dari kategori Worst Lover adalah Antony Darmawangsa! Ugh! Suara tepukannya pun seperti terngiang-ngiang di dalam benakku, makin lama makin keras.

Kalau seperti ini, boro-boro bisa menjadi seorang ayah. Mungkin Olivia juga ogah memiliki kekasih seperti diriku yang tidak bisa diandalkan dan cuma pintar menipu. Siapa juga yang bangga kalau punya pacar mengerikan seperti itu?!

Tidak, tidak. Berhenti bersikap tidak pede. Aku tidak mau menyerah. Aku tidak mau hubungan kami berakhir seperti ini. Semoga cara ini berhasil. Wish me luck.

"O-Olivia," mulaiku dengan memanggil namanya, namun memilih untuk tidak memegang kedua tangannya yang terkepal erat akibat emosi. Bisa-bisa nanti malah tanganku yang dijadikan remuk, atau bahkan sampai bubuk olehnya. "You see. E-everyone makes mistakes, including me. Tapi intinya dari ini semua ... intinya ...."

Ugh! Setelah dipikir-pikir, ini bukanlah ide yang bagus. Tapi masalahnya, sudah terlanjur! Aku sudah berkata, bagaimana menghentikannya?

"Intinya ... your world is not ending. W-why? You're not pregnant! A-ha-ha-ha-ha! J-just kidding! Happy April Fools' Day! Ta-daaaah!" teriakku garing dengan kedua tangan terbuka lebar dan telapaknya bergerak cepat mungkin akibat bergetar.

Betul 'kan, ini April Mop? Kalau ternyata masih bulan Maret, gawatlah sudah. Otakku dengan tanggal di kalender agak tidak sinkron karena keseringan bolak-balik Los Angeles.

"KELUAR!!!"

Seperti yang sudah kuprediksi sebelumnya, kalimat pembelaanku gagal total. Dan akibatnya, aku pun kembali ke tempat ini, ke rumah pelarianku, menangis tersedu-sedu di pundak Benjamin yang berlemak dan tidak tampak keberadaan tulang keras di bawah lapisannya yang tebal. Hm, empuk juga sih, untungnya. ... Ugh! Aku betul-betul menyedihkan. Awas saja kalau Benjamin mengusirku juga. Ia kan turut memiliki andil dari kehancuran ini. Siapa coba yang pertama kali memberikan usul itu.

Baru juga sebentar, aku sudah kangen akan sosoknya. Cuma benda ini yang tanpa sadar masih kugenggam dan kubawa dari rumahnya ketika Olivia menendangku keluar.

Ternyata si spicy bukan barang abal-abal karena keterangan di baliknya sesuai dengan produk yang dipasarkan, tidak seperti temannya, si nangka yang palsu dan tidak bermutu. Buktinya, belum juga menggunakannya, tapi hanya dengan menatap dusnya saja aku terus menangis tersedu-sedu layaknya kepedasan karena skalanya yang mencapai 350.000 Scoville.

Bagaimana kabar Olivia sekarang? Apa ia sudah bisa berhenti menangis? Semoga ia tidak lupa mengompres kedua matanya karena tidak lucu kalau ia tetap berangkat ke kantor dengan penampilannya yang mengenaskan seperti itu. Huhuhu ... Olivia ... I miss you ... so, so much! Huhu ... hu ... huhu?

... Hm?

Seketika suara bervolume keras yang keluar dari speaker televisinya berhasil menenangkanku dan tatapanku sepenuhnya tertuju pada layarnya. Ditemani dengan semangkuk besar popcorn sebagai snack pendamping yang sudah disiapkan Benjamin di atas meja, malam ini kuputuskan akan bermalam di sini.

Pertandingan sepak bola memang ajaib. Suasana hatiku yang semula mendung seketika saja awan gelapnya tertiup pergi dan berubah cerah dalam sekejap.

"Oh? Oh, oh, oh, oh ... OH!!!"

Akhirnya, matahari pun membiaskan cahayanya ke hariku yang kelam.

"GOAL!!!" pekikku girang. Untungnya air mataku berhenti mengalir di saat yang tepat sehingga bisa menyaksikan secara jelas sebuah tendangan spektakuler yang dihasilkan oleh pemain bek dari Barcino bernomor punggung 4, Ron Silva.

"NOOO!!!"

Setidaknya aku memiliki teman senasib yang sama-sama menangis di hari yang suram ini. Aku karena Olivia, sedangkan Benjamin karena gawang kesebelasan True Magerit yang dipercayakannya akan menang ternyata baru saja kebobolan.

Let's cry together, Brother.

Just KiddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang