8. Oh, Well ...

114 8 0
                                    

"Jadi? Berhasil, 'kan?" tanya Benjamin.

"Berhasil 'pala lo! Gue ga bakal ngelakuin usul lo!" bentakku pelan, khawatir kalau suaraku terdengar jelas oleh si pegawai kasir—staf perempuan itu lagi—dan bisa-bisa ia menganggapku semakin aneh.

Yakin, ia pasti mengenaliku. Orang yang sama, kembali mengunjungi minimarket tempatnya bekerja, dan sekali lagi kesulitan untuk memilih merek test pack mana yang sebaiknya kubeli. Siapa juga yang tidak akan ingat?

"Yahhh ... padahal gue yakin bakal berhasil," ucapnya lagi terlalu pede.

"Gue ga bisa! Gue ga mungkin maksa Olivia buat ... buat euh ... make baby," bantahku, semakin membisik di microphone-nya ketika kusadari sepertinya tatapan si cewek itu mengarah ke tempatku berada. "And besides, it's not healthy. Gue ga mau jadi lelaki yang maksain kehendak ke pacarnya. I think she has her reason kenapa dia bilang benci anak kecil."

"Terus? Lo udah tau jawabannya? Kenapa Olivia benci anak kecil?"

"... Belum."

"Tuh, kan!" teriaknya yang terlalu keras hingga aku harus menjauhkan telepon genggam dari telingaku. "Harusnya lo ikutin saran gue!"

"No, no! You have issues! No wonder you're still single!" balasku emosi.

"Hei, hei! Kok jadi ngatain gue?!"

"Bye!" ucapku singkat dan segera menutup kasar panggilannya.

Bikin bete saja! Tahu apa dia?! Nutupin botaknya juga tidak bisa! Dasar om-om perjaka sok tahu!

"Ada tambahan lainnya?" tanyanya selesai aku meletakkan bungkus test pack yang sama seperti yang waktu itu kami beli. Daripada kebingungan harus pilih yang mana, lebih baik ambil saja yang identik supaya bisa secepatnya pergi dari sini.

Tapi ... sudah terlanjur malu, 'kan? Ya sudah, bablasin saja, deh. Sekalian.

"Ini," jawabku seraya meraih sepuluh dus dari sekian banyaknya varian yang berjejer tepat di depan kasir tempatnya berada. Dan yang kupilih? Mint chocolate karena itu merupakan rasa favorit Olivia dan stok di lacinya sudah habis, juga satu dus varian spicy karena aku ingin mencobanya. I don't know what kind of flavor that is, tapi warna bungkusnya yang merah pekat dan berapi-api berhasil menarik perhatianku.

"Ba-baik," jawabnya gelagapan lalu mengarahkan barcode yang tertera di atasnya ke scanner.

Ugh! Pasti ia melihatku seperti predator maniak yang selalu kebablasan. Makanya setiap kali setelah melakukan aksi bejatnya, ia harus segera mencari tahu kebenaran kehamilan cewek yang barusan ditungganginya dengan menggunakan test pack.

Tidak! Aku bukan pria seperti itu! Percayalah! Aku hanyalah seorang lelaki normal yang terlalu mencintai kekasih agresifnya, well ... ditambah dengan hormon dan cacing-cacing pada tubuhku yang sepertinya sama perkasanya.

"Di-ditunggu kedatangannya ke-kembali," ujarnya terbata-bata.

Cukup! Aku tidak akan kembali lagi ke sana! Itulah kenapa aku memborong semuanya. Buat persiapan, 'kan. Jaga-jaga. Sedia payung sebelum hujan, setuju?

Segera aku menginjak pedal gas lebih dalam, sampai mentok bahkan, pergi dari tempat sialan ini dengan kecepatan kendaraan yang jauh melampaui saat kami berangkat ke klinik waktu itu. Semoga tidak ada polisi lalu lintas yang berhasil menemukanku.

"Ada?" tanya Olivia segera ketika aku masuk melewati daun pintu.

"Nih," ujarku seraya menyerahkan kantong belanjaan ke arahnya.

Just KiddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang