"Apa?!" tanyaku galak setelah menggeser tombol accept di layarnya, dengan terpaksa menerima panggilan yang masuk dari orang yang sangat malas kudengar suaranya sekarang.
"Hei, Ton. Kamu tau? ... Ibu Olivia ada di sini," jawab Bakti yang menghubungi segera setelah aku ditinggalkan sendirian di rumah.
Olivia pergi masih sambil terus menangis dan tidak berpamitan sama sekali. Hatiku perih dan pedih, seperti digores atau ditusuk dengan pisau, bahkan mirip dicincang dengan golok yang dimiliki tukang daging di pasar. Sakit sekali rasanya.
"... Sama Amel?"
"Iya. Eh, Ton. Kamu ... kamu beneran ngikutin rencana Benjamin? Ibu Olivia bilang ... dia bilang—"
"Olivia bilang kalo dia hamil," potongku segera, mengetahui kalimat yang akan disampaikannya dengan terbata-bata. "Ugh! It's my fault."
"Ya, iyalah! Siapa lagi dalangnya kalo bukan kamu," jawabnya sok tahu.
"Bukan. Hahhh~. The truth is ... Olivia ga hamil," akuku padanya sambil menunduk lesu, duduk di tutup kloset kamar mandi tanpa gairah. Bahkan si dus spicy di genggamanku pun bentuknya sudah tidak karuan dan penyok sana-sini karena kuremas dengan keras saking marah akibat penyesalan yang mendalam.
"Hah? Gimana, gimana?"
"Olivia ga hamil. Gue ... gue bohongin dia," ulangku sekali lagi pada Bakti yang tidak mengerti juga. Yakin orang ini menjabat sebagai kepala divisi perencanaan di kantor Olivia?
"Hah?!!! Buat apa juga?!"
"Gue ga mungkin seratus persen ngikutin usul Benjamin! Bukan. Bukan ga mungkin. Tapi gue ga mau! Gue ga sebejat itu buat hamilin dia beneran secara Olivia ga mau punya anak. Gue cuma mau denger alasan dia kenapa bilang benci sama anak kecil. Cuma itu! Tapi ... hahhh~, kayaknya gue asli tolol banget."
Bakti diam dan tidak berkata apa-apa untuk beberapa saat. Mungkin dia sedang mencerna pengakuanku yang keluar bertubi-tubi dengan suara super keras dan alamat gendang telinganya pun sakit kala mendengarnya. Atau mungkin, dia terlalu shock mengetahui kalau aku ini ternyata goblok sekali. Memang kau bodoh sekali, Antony! Makan, tuh! Sukurin! Huhuhu, Olivia. Tolong jangan tinggalkan aku. Maafkan aku sekali ini saja.
"Berani juga yah kamu, bohongin Ibu Olivia. Salut aku."
What?! Bukan shock ternyata. Bakti malah terpukau padaku! Dasar manusia bego! Kalau aku nanti berhasil baikan sama Olivia, kelihatannya harus aku tanyakan apa betul kinerja Bakti di kantor sebagus itu. Karena dari semua kalimat yang keluar dari mulutnya, Bakti ini agak sedikit mengkhawatirkan dan cenderung labil.
"... Terus? Olivia gimana sekarang?"
"Tadi pas dateng, dia nangis gitu. Sesenggukan, bahkan sampe matanya bengkak-bengkak. Ngeri, deh. Tampangnya jadi ancur gitu," jawabnya mendeskripsikan kondisi kekasihku yang memperdalam rasa ngilunya di hatiku. "Kalo sekarang, aku ga tau. Aku juga diusir Amelia keluar, jadinya. Jangan ganggu, katanya."
Pantas saja mereka berdua bisa cocok, baik sebagai sahabat di luar kantor, maupun sebagai rekan kerja antara pimpinan dan sekretaris pribadi. Buktinya wataknya sama, seperti bayi kembar identik yang tidak ada bedanya satu sama lain. Dengan semudah itu mengusir kekasihnya keluar dengan galak dan tanpa ampun. Kelihatannya nasibku dengan Bakti bakal sama, harus sering-sering melatih kesabaran ketika dihadapkan dengan pacar yang emosian.
"Eh! Udah dulu, yah! Mereka keluar. Bye!" Bakti pun segera menyudahi panggilan.
Ugh! Tubuhku lemas dan tidak bertenaga. Kedua tanganku pun jatuh lunglai ke bawah hampir mencapai keramik lantai, sudah mirip seperti zombie yang bahkan untuk menerkam daging mangsanya pun tidak sanggup. Kalau di film-film, aku ini zombie yang nyangkut di pagar besi, tidak bisa menggerakkan tubuh, dan hanya bisa pasrah sampai ada manusia muncul lalu menembak kepalaku hingga betul-betul mati.
Seperti ini ternyata rasanya ketika aku sendirian seperti sekarang. Rumahnya begitu hening dan hampa. Tidak ada sosoknya yang memelukku saat aku baru tiba. Tidak ada dirinya yang menerka-nerka menu masakan apa yang bakal kubuatkan untuknya. Tidak ada lagi kecupannya dan suhu tubuhnya yang hangat di sisiku. Tidak ada Olivia yang berteriak dan membentakku dengan galak.
Apa memang aku tidak pantas untuknya? Olivia terlalu sempurna dan jelas tidak sebanding denganku, laki-laki madesu yang tidak bisa membahagiakannya.
Kemarin ini, ia mengampuniku. Tapi kali ini, apa Olivia mau untuk menerimaku sekali lagi? Seharusnya aku jangan kembali ke sini. Lebih baik aku tetap di Los Angeles saja, menyendiri dan menyibukkan diri, jauh darinya. Memang keputusannya tepat saat itu. Mungkin dari awal ia pun tahu kalau aku ini sebaiknya lenyap dari kehidupannya. Itulah kenapa ia menyuruhku pergi.
Tubuhku berubah tegak ketika indra pendengaranku mendengar hadirnya suara dari luar. Daun pintu terbuka dan itu pasti dia. Ia akhirnya kembali ke sini.
Go, Antony. Kamu tidak bisa tetap merana di kamar mandi sambil meremas dus kondom. Ingat? Jujur! Itulah jawabannya. Aku harus segera keluar dan membeberkan segalanya. Sebelum semuanya terlambat. Sebelum Olivia akan mendepakku untuk selamanya.
"Liv?" panggilku pelan kepadanya yang sudah duduk di atas sofa.
Betul seperti yang dijabarkan Bakti. Tampangnya kusam, kedua matanya bengkak, dan pipinya basah oleh air mata. Ia betul-betul hancur. Dan yang membuatnya jadi seperti ini ... akulah pelakunya.
"Liv? You okay?" tanyaku seraya berlutut di hadapannya meremas sebelah lututnya.
"No, I'm not okay," jawabnya jujur dan sekali lagi sikapnya membuatku terluka.
Sekarang. Sebelum ia semakin menderita. Sekarang saatnya untuk mengakui segalanya.
"Liv. Soal itu ... gue ... sebenernya gue ... bo—"
"I've decided," potongnya. "Gue tau lo pengen banget keturunan. So ... I've decided to keep it. But—" tambahnya segera sebelum menyelesaikan kalimatnya, yang tentunya membuatku melotot besar.
What? Dia bilang apa barusan? Olivia akan mempertahankan bayi—euh, tidak ada bayi—di kandungannya? Apa aku tidak salah dengar?
Jadi ... apa kebohonganku sepenuhnya berhasil mengubah pendiriannya? Jadi ... apa Olivia sudah tidak membenci anak kecil lagi? Apa langkahku tidak salah?
... Tidak, Antony! Please, jangan mempertahankan ketololanmu! Jujur sekarang juga!
"Tapi, Liv. Gue bo—"
"But!" potongnya lagi galak, hendak melanjutkan kalimatnya yang terhenti barusan dan tidak memperbolehkanku menyalipnya. "But, only when it's a he."
... Hah? Apa? ... Heh? ... Hah?
"If it is a she, I'm gonna get an abortion."
... Tunggu. Olivia menolak apabila bayinya berjenis kelamin perempuan? Perasaan dia tidak sekolot itu yang mengharuskan memiliki keturunan laki-laki demi meneruskan harta keluarga dan perusahaan. Buktinya, kami berdua melakukannya sebelum menikah. Tapi ... apa ini? Apa betul aku berhasil mengubah pendiriannya? Apa benar aku telah menghilangkan ketidaksukaannya pada anak kecil?
"Apa ... apa—"
"Like I said, if it is Little Olivia, she's immediately out," jawabnya dingin dan terdengar keji. "C'mon. Let's go to the OB-GYN. I hope they can tell its gender right away," perintahnya dengan raut wajah yang datar.
Oh, shoot! What does she mean by that?
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Kidding
Romance[Undies Connoisseur Series] Antony's Unwise Fraudulence Akibat terbawa suasana setelah sekian lama ia akhirnya berjumpa kembali dengan kekasihnya, malam itu ia kebablasan. Oopsie! Di tengah kekecewaannya karena hanya satu garis muncul pada test pack...