2. Oh, Sh--t!

314 19 1
                                        

Gerah sekali rasanya malam ini. Apa cuaca tengah memasuki musim kemarau? Apa AC di rumahnya sedang ngadat dan perlu secepatnya direparasi?

Bukan. Semuanya salah. Suhu tubuhku yang sebetulnya tengah meningkat cukup drastis. No! Bukan demam! Aku tidak sakit! Walaupun kuakui yang sedang kualami saat ini sungguh memabukkan.

Tapi aku tidak mabuk, jelas. Hingga hari ini, tidak ada satu pun minuman beralkohol dapat kutemukan di rumahnya. Karena hubungan dengan ayahnya—euh, bukan ayahnya—yang tidak harmonis, ia menjadi trauma dengan keberadaan minuman keras dan tidak berani untuk meneguknya.

Sehingga, tentu saja saat ini pun ia tidak dalam keadaan mabuk. Koreksi, ia tidak mungkin bisa mabuk. Sedikit saja lubang hidungnya menghirup bau alkohol, keringat dingin akan langsung membasahi tubuhnya dan ia bisa segera jatuh pingsan.

Apa sampai sekarang ia masih juga belum bisa berdamai dengan masa lalunya? Tapi kemarin ini kuperhatikan di atas nakas, obat tidur yang dulu selalu rutin ditenggaknya masih terisi penuh dan lapisan debu juga tampak hinggap di tutupnya. Semoga ia bisa secepatnya menyingkirkannya ke dalam tong sampah.

Intinya, alkohol bukanlah dalang di balik ini semua walaupun pipinya saat ini merona merah dan panas membara ketika kurabanya dengan perlahan.

D—mn! Why does this feel so good?

Situasi kali ini mengingatkanku kembali akan saat itu. Saat di mana semuanya berakhir dan ia meninggalkan kenangan pedih pada diriku hingga sanggup membuatku terus mengingatnya selama tiga tahun setelahnya. Kala ia menghempaskanku begitu saja dan tidak memperbolehkanku melawan keputusannya untuk menjauhkanku darinya.

Tapi, kali ini berbeda. Karena tidak perlu dihadapkan dengan perpisahan setelahnya, rasa yang ditimbulkannya jauh lebih manis dan sangat menggoda.

Apalagi sebulan belakangan, kami menahan diri untuk tidak berbuat lebih jauh. Aku tepatnya yang berusaha keras. Wanita ini tidak, karena dia cukup, ehem ... liar. Oh, jangan lupakan, memaksa. Aku bahkan pernah kabur dan memilih untuk tidak menginap di rumahnya karena bak lintah, ia terus mencoba menggerayangi tubuhku! Bukannya aku tidak suka. Aku sangat suka malah! Tapi, pekerjaanku jadi terganggu karena tidak bisa melakukan video call!

Namun hari ini, seratus persen sudah tidak dapat terbendung lagi.

D—ng! Why does she taste so divine?

Wangi mint chocolate juga mulai tercium dari rongga mulutnya, aromanya kusalurkan langsung padanya yang berada di dalam pelukanku. Kerinduanku pada dirinya membuatku semakin bergelora dibarengi dengan kecupannya yang bertambah dalam dan napasnya yang kian berderu kencang. Seperti kecanduan pil ecstasy—euh, aku tidak pernah memakai obat terlarang itu sebelumnya—tubuhku bagaikan melayang dan terbang tinggi ke langit ketujuh. Baru kali ini kurasakan sensasi hebat seperti sekarang.

Aku tidak sanggup lagi. Udara kian bertambah panas dan aku merasa sesak akan semua benang yang membaluti setiap permukaan kulitku.

Sepertinya ia pun berpikiran yang sama, karena menggunakan jemarinya yang panjang dan lentik, dengan tergesa-gesa ia mulai melepas setiap kancing pada kemeja yang melekat di tubuhku. Setelahnya pun ia ikut menarik pakaiannya ke atas, melewati leher dan kepalanya, dan kembali meraih wajahku ke arahnya.

Sebegitu tergila-gilanyakah dirinya padaku? Bahkan ketika aku baru menginjakkan kedua kakiku masuk ke dalam rumahnya, segera saja benda itu menarik perhatianku dan tanpa kuasa, aku terbelalak lebar. Siapa juga yang tidak kaget kalau melihat celana dalam digantung sebagai pajangan?! Kepergianku sepertinya meninggalkan dampak yang kurang bagus pada kesehatan mentalnya. Tapi, hei. Aku kembali juga, 'kan? Silakan nikmati diriku ini sepuasmu.

"Liv," panggilku, mencoba menghentikan perlakuannya di tubuhku yang tinggal menyisakan sehelai kain saja menutupi organnya yang sudah siap beraksi. "Are you sure?"

"Shut up," bentaknya dan sekali lagi ia menguasai bibirku.

Tunggu, tunggu!

Tunggu yang kumaksud di sini bukan berarti aku cupu dan menolak ajakannya. Tapi ... aku tidak bisa melakukannya di sini, ketika benda itu juga berada bersama kami!

Benda apa lagi kalau bukan selembar seratus ribu yang sedikit kumal dan kusut, terpigura di dindingnya, tepat di samping celana dalamku yang menurutnya patut untuk dibanggakan kepada semua tamu yang mampir ke rumahnya. Aku tidak bisa melakukan kegiatan sensual ini di hadapan uang itu! Kenapa? Itu pemberian dari Papa buatnya! Aku membayangkan seperti tengah bersetubuh di hadapan papaku sendiri yang menatap kegiatan panas kami berdua tanpa mengedipkan kedua mata. Nooo!

Ini kan jaman modern. Masa juga Papa harus menonton, menjadi saksi di hubungan kami berdua yang baru akan dimulai kembali? Ini bukan bedding ceremony yang dilakukan raja dan ratu zaman dulu! ... Ugh! Walaupun nyatanya kami bukanlah pasangan pengantin baru.

... Betul juga! Wait! This needs to stop! Now!

"Liv?"

Ia bahkan tidak bisa mendengarku. Wanita di pelukanku ini tengah disibukkan menjamah setiap inci tubuhku dan meninggalkan kecupannya yang membuatku bertambah tegak.

Dasar kelamaan di luar negeri! Jadi begini akibatnya. Aku pun sedikit curiga, apa mungkin ia memiliki darah bule? Tapi namanya Hartanto, tuh. Indo banget.

... Wait. Dia kan aslinya bukan Hartanto! Apa Harris merupakan westerner? Atau Emily yang memiliki blue eyes? Aku belum pernah melihat foto mereka sebelumnya!

"Liv? Liv ... mmhm~. We need ahhh~ ... we need to stop," ucapku lagi berusaha menghentikannya yang bagaikan anak kecil terus menyesap serta menjilati cokelat atau permen lolipop manis. Ouh~ ... entahlah. Aku sudah tidak bisa berpikir lagi.

"What? What?!" bentaknya penuh amarah, kesal karena kegiatannya terganggu.

Ah, satu lagi kekurangannya muncul. Emosinya yang cukup menyeramkan harus secepatnya dilatih supaya terkendali.

Tapi ... ugh! Saat ini aku malah yang tidak kuasa untuk meredamnya. Semua ini salahnya! Ketika kecupannya lepas, rasa hampa menghantuiku segera.

Jangan lihat aku seperti itu! Aku hanya menuruti kemauannya. Apiku sudah tersulut dan membara besar, bahkan hampir kebakaran, tidak mungkin bisa untuk kupadamkan kembali.

Kutarik kembali dirinya dan kuangkat tubuhnya, sekali lagi mendominasi bibir kenyalnya yang mengundang. Tentu aku sambil membawanya yang bertengger erat dengan kedua kakinya di pinggangku, meninggalkan area ruang tengah dan masuk menuju kamar tidurnya yang bernuansa gelap. Bye, Papa! Jangan ngintip!

Dalam sekejap, aku dan dia sudah saling bergumul di atas ranjangnya. Setiap pakaian bertebaran di keramik lantai, acak-acakan dan tidak beraturan. Dan tanpa kusadari, kulit kami bersentuhan dengan tidak adanya pembatas apa pun di antaranya. Walaupun kehabisan napas dan tersengal-sengal, kami tidak berhenti dan terus melanjutkannya ke tingkat yang lebih tinggi.

"Tony," panggilnya tiba-tiba di saat aku baru saja mencapai penghujung kenikmatan.

Suara yang keluar dari mulutnya terdengar terengah-engah, kelelahan. Hampir saja aku bangkit kembali dan mengajaknya bersamaku untuk sekali lagi mengarungi ronde yang ke— ... aku pun sudah tidak tahu saat ini sudah mencapai di hitungan yang ke berapa.

Senyuman hadir di wajahku, senang akan sosoknya yang berada di sisiku. Aku hanya berharap setiap pagi, di saat aku bangun, wanita ini akan selalu berada di sampingku, memanggil namaku dengan mesra, dan mengecupku dengan hangat.

Aku mendarat tepat di atas tubuhnya yang sempurna, halus, mulus, dan wewangian harum melekat di setiap permukaan kulitnya. "Hm?" balasku bertanya tepat di samping telinganya yang membuatnya sedikit bergidik geli. Kugigit pelan cupingnya dan kuberikan tiupan kecil di atasnya.

"You're wearing protection, right?" tanya Olivia yang nadanya berubah cemas.

...

Oh, sh—t!

Just KiddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang