"Babe, dinner's ready," panggilku seraya meletakkan sepiring besar berisi sayuran hijau di dalamnya. Alias, tumis kangkung favoritnya.
Perempuan itu tidak pernah pilih-pilih dalam hal makanan. Sejauh ini semua yang kumasak selalu sesuai dengan seleranya. Memang makanan merupakan jembatan penghubung yang penting bagi setiap pasangan, bukan?
Oh! Ada satu yang dibencinya. Buah, tepatnya. Apa lagi kalau bukan nangka. Katanya buah itu selalu membuat asam lambungnya naik setiap kali selesai menikmatinya. Alhasil, sekarang dia malah jadi mual walaupun hanya mencium wanginya.
Hampir saja sesi percintaan kami saat itu terhenti di tengah-tengah akibat aromanya yang menyengat aneh keluar dari ... yah, dari mana lagi kalau bukan dari bawah sana. Tapi untungnya, kegiatan kami tetap berlanjut tanpa masalah.
Setelahnya, as always, ia mencak-mencak dan menyebut merek yang dipilihnya itu tolol dalam menentukan jenis rasa yang dipasarkan. Tapi saat itu aku seratus persen setuju dengannya. Bau yang ditimbulkan melenceng jauh dari aroma buah eksotis yang seharusnya dikeluarkannya dan malah cenderung terlalu sintetis palsu.
Tapi berkat kegerahan yang ditimbulkan siang hari itu, tiba-tiba saja demamnya sembuh tanpa perlu meneguk obat. Dan segera saja keperkasaannya kembali mendominasi sehingga kami berdua melanjutkan bergulat di ranjangnya bahkan hingga matahari terbenam dan terbit kembali. Tentu menggunakan beberapa varian rasa yang berbeda selain nangka yang dibencinya.
Tuh, kan! Belum juga menerima benihku, sudah terjadi keajaiban hebat pada dirinya. Makanya jangan pernah menolak lagi. ... Ugh! Aku ini benar-benar. Memang sulit sekali mengubah sifat jelek yang sudah mendarah daging. Tapi aku harus berjuang supaya tetap pada isi sumpahku. Aku sudah berjanji untuk tidak memaksanya.
Dan dari sana, hubungan kami berjalan lancar. Bisa dikatakan sempurna malah. Jangan lupakan juga sesi make-out yang kami lakukan hampir setiap harinya.
"Babe," panggilku lagi padanya yang tidak juga keluar dari ruang tidur tempatnya berada.
Kugeser salah satu mangkuk setelah menimang-nimang untuk beberapa saat karena sepertinya posisinya tidak berada di tengah. Kurang sekitar lima sentimeter ke kanan. Dan sekarang ... tepat. Sempurna!
Euh, agak kebanyakan masaknya karena saat ini meja makan dipenuhi oleh beberapa hidangan beraneka ragam. Sudah seperti restoran, semuanya telah siap dimulai dari appetizer, main course, dan tentu dessert yang menunggu dikeluarkan dari dalam freezer. Sengaja juga semuanya kubuat dengan porsi yang lebih besar daripada biasanya supaya ia menambah berat badannya yang terlalu kurus.
"Babe?" panggilku lagi dan menuju kamarnya di saat sosoknya tidak kunjung tampak. "... Liv? Hey. You okay?"
Tentu aku harus mengeluarkan pertanyaan itu padanya. Belum pernah aku melihatnya seperti sekarang, duduk lesu di atas ranjang, tatapannya kosong ke depan entah melihat apa, dan yang paling aneh, ia tidak sedang memeriksa berkas kantor yang masih juga menumpuk di nakasnya.
"Liv," panggilku lagi seraya duduk di sampingnya yang masih juga melamun.
Baru ketika aku meraih kertas di tangannya, ia menoleh dan menyadari keberadaanku. "Oh? Hey. Dinner's ready?"
"What's wrong?" tanyaku seraya meremas jemarinya.
"No, no. It's nothing. Let's eat—"
"Ada apa?" ulangku lagi, segera memotong ucapannya dan menariknya kembali, menggagalkan usahanya yang hendak bangkit berdiri.
"Really. It's nothing. Cuma kerjaan doang and I'm a little tired."
"Nice try, Liv," balasku menyindir akan ketidakmampuannya untuk berbohong.
Ia terdiam untuk beberapa saat dan membalas memainkan jemariku di genggamannya. Beberapa menit berlalu dan ia masih juga membisu. Apakah ini saatnya aku bertanya? Tapi nanti malah disangka seperti memaksa! Sabar, Antony, sabar. Kamu sudah janji, 'kan? Tepati, dong!
"It's just ... I mean, it's really stupid and you won't like it," ucapnya akhirnya dengan gelisah, "so ... maybe I'll better skip! Let's eat!" tambahnya mengalihkan.
"Liv."
"Hahhh~. It's just ... it's been a while after ... after we did it. And ... and like last time. Hahhh~. I'm afraid of what will happen," jelasnya terbata-bata dan menolak untuk menatap kedua mataku.
Aku tersenyum geli. "Liv. Remember the nangka thing?"
"Right, right. That d—mn nangka." Akhirnya sedikit senyuman manis pun muncul di wajahnya, namun ia kembali mengembuskan napas sebelum melanjutkan kalimatnya. "But, the thing is ... just like last time ... I'm late. My period, that is."
Aku tetap diam menunggu datangnya lagi kalimat dari mulutnya. Perlahan ia mulai terbuka kepadaku. Buktinya, sesi curhat seperti ini baru pertama kali dilakukannya. Biasanya ia selalu memendamnya sendirian. Kemajuan yang pesat, bukan? Yah, walaupun aku masih juga belum tahu alasan sebenarnya di balik 'I hate kids!' yang diteriakkannya berulang kali.
"What, what if ... God, please don't get mad. I know it says, 'terbukti dan sudah teruji, 99 persen akurat' bla blabla blabla on it. But ... what if, just like what I said last time, kita masuk ... ke dalam satu persennya?" tanyanya dan sekali lagi ia menunduk setelah tatapan mata kami bertemu.
Aku tahu pasti, sebetulnya kalimat yang ingin diucapkannya dengan nada menggelegar adalah 'I don't wanna have kids!' tapi ia mengubah beberapa kata supaya tidak menyinggung perasaanku.
Hm? Perihal dia telat datang bulan? Tidak. Aku tidak khawatir. Olivia tidak mungkin hamil. Saat itu aku mengenakannya dengan sempurna, kok. Juga tidak terjadi kebocoran. No hole, no leak. We're safe.
Lagian, ingat dengan dokter OB-GYN yang kami temui? Sepertinya saat itu Olivia sudah terlanjur tidak percaya dengan kemampuannya sehingga hasil diagnosanya pun masuk ke kuping kiri dan keluar dari kuping kanan segera setelahnya.
Dokter bilang kalau Olivia mengalami sedikit gangguan hormon akibat stress, tapi sangat ringan dan tidak bermasalah pada kesehatannya. Itulah kenapa ia sering telat datang bulan. Seharusnya ia rutin meminum vitamin yang diberikan di resepnya. Tapi, ingat dengan tumpukan brosur yang saat itu dirobeknya dengan penuh emosi? Ya, resepnya pun termasuk di dalamnya. Which is gone.
Tubuhku bergerak maju dan kukecup keningnya. "Listen. It's my fault. Ga seharusnya gue ... atau kita ... terbawa nafsu," tuturku diiringi suara tawanya yang merdu. "But, if you're that worried, we can go to the clinic—"
"No way! That quack doctor?!"
"Then, I'll go buy one. The test pack. How's that?" usulku dan membelai pelan pipinya.
Olivia mengangguk dan remasannya berubah pelan di tanganku. Sepertinya aku berhasil untuk sedikit menenangkan kegundahan hatinya. You did a good job, Antony!
"Now, let's eat," ajakku seraya menarik tubuhnya bangkit. Ia mengangguk dan mengikuti langkahku keluar menuju meja makan. "Inget?" ungkitku segera ketika kuperhatikannya terbelalak melihat terlalu banyaknya makanan. "Tolong hargain gue yang udah cape-cape masak. So please, just take a seat,"—kutarik kursinya mundur, memberi ruang untuknya duduk—"and enjoy."
Akhirnya senyumannya yang lebar mulai tampak pada wajahnya ketika ia tulus menikmati tumis kangkung yang kumasak. Again, you did a good job, Antony! Makanan memang kunci utama keberhasilan suatu hubungan.
"You know what?" ucapnya di saat aku tengah memuji tingkat kepintaranku memasak dalam hati. "Maybe it's not that bad ... to have Little Tony around the house," tambahnya dengan volume suara yang sangat pelan.
Oh ... huh?
What, what? What did she say just now?
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Kidding
Romance[Undies Connoisseur Series] Antony's Unwise Fraudulence Akibat terbawa suasana setelah sekian lama ia akhirnya berjumpa kembali dengan kekasihnya, malam itu ia kebablasan. Oopsie! Di tengah kekecewaannya karena hanya satu garis muncul pada test pack...