BAB 6

19K 146 3
                                    

Hari ini adalah hari Minggu. Mas Yoshua libur tidak masuk kantor dan mengatakan ingin menghabiskan weekend dengan pergi jalan-jalan keluar bersamaku. Sebenarnya Papa dan Mama mertuaku akan pulang minggu ini, tapi mereka bilang lewat telepon bahwa kepulangan mereka tertunda karena harus menghadiri acara anniversary perusahaan klien bisnis mereka.

Tidak begitu masalah untukku sebenarnya, lagipula aku seringkali merasa canggung jika mertuaku berada di rumah. Vibes anak dari keluarga biasa menghadapi keluarga konglomerat masih tertanam dalam jiwaku dan aku tak tahu entah sampai kapan aku merasa seperti itu.

Untungnya, mereka amat jarang berada di rumah dan itu membuatku sedikit merasa lega. Bukan berarti aku tak suka saat mereka pulang ke rumah, hanya saja aku merasa canggung dan sungkan. Tidak lebih dari itu. Apalagi aku memang bukan tipe orang yang cepat berbaur dengan orang baru, meski aku sudah menjadi bagian dari keluarga ini selama kurang lebih dua bulan.

Jam kini menunjukkan pukul 9 pagi, tapi Mas Yoshua masih tidur di kamar. Aku maklum, pasti dia merasa lelah karena bekerja tak kenal waktu. Tidak apa-apa kami tidak jadi pergi jalan-jalan keluar seperti rencana sebelumnya. Yang penting Mas Yoshua tidak merasa terbebani saja sudah lebih dari cukup. Toh kami masih bisa menghabiskan waktu berdua di rumah.

Ah, ralat, tidak sepenuhnya berdua. Aku baru ingat masih ada Kenzo di rumah. Semoga saja keadaannya tidak secanggung yang kupikirkan. Bagaimanapun juga aku masih belum lupa dengan kejadian kemarin.

"Mbak, mau dimasakin apa buat makan malam nanti? Biar saya sekalian beli bahan-bahannya ke pasar. Di kulkas sudah habis soalnya." Mbok Inah, pembantu di rumah kami bertanya padaku.

Di tangannya sudah terdapat sebuah tas belanjaan yang biasa dibawanya ke pasar untuk berbelanja.

"Oh, Mbok Inah mau ke pasar sekarang? Saya boleh ikut nggak, Mbok? Sekali-kali gitu."

"Jangan, Mbak. Biar saya saja. Mbak Ocha di rumah saja, takutnya nanti Mas Yoshua sama Mas Kenzo butuh apa-apa gak ada orang. Saya baru denger, katanya kemarin Mas Kenzo sakit demam, ya? Kasian, untung ada Mbak Ocha yang ngerawat."

"Eh, kok Mbok Inah tau?"

"Mas Kenzo sendiri yang bilang sama saya, Mbak. Katanya berkat Mbak Ocha, Mas Kenzo langsung sembuh sakitnya. Hebat ya, Mbak Ocha. Berbakat jadi dokter."

Aku hanya tertawa sekenanya mendengar ucapan Mbok Inah. Sedikit penasaran apa saja yang sudah diceritakan Kenzo pada Mbok Inah tentang kejadian kemarin.

"Ya sudah, jadinya mau dimasakin apa ini, Mbak?" Pertanyaan Mbok Inah kembali mencuri atensiku.

"Oh, beli ayam sama daging aja, Mbok. Nanti saya tanya Mas Yoshua dulu mau dimasakin apa. Oh, ya, sama jangan lupa beli sayurannya juga ya, Mbok. Saya gak bisa makan soalnya kalo gak ada sayurannya."

"Baik, Mbak. Nanti saya belikan. Kalo gitu saya permisi sekarang."

"Iya, Mbok, hati-hati."

Sepeninggal Mbok Inah, aku berjalan pergi menuju kamar. Mengecek apakah Mas Yoshua masih tidur atau sudah bangun. Tapi ternyata dia masih pulas seperti sebelumnya. Aku menghela nafas panjang, kemudian keluar lagi dari kamar. Sejenak, aku menatap pintu kamar Kenzo yang tertutup. Dalam hati aku bertanya-tanya, apa dia sudah makan? Atau apakah keadaannya sudah benar-benar membaik? Tapi aku menahan itu semua dan memilih untuk lanjut pergi turun ke bawah.

Seperti biasa, tak ada aktifitas khusus yang kulakukan. Kali ini, aku memilih pergi ke belakang, tepatnya di kolam renang yang berada di halaman belakang rumah. Oh ya, selain Mbok Inah, kami juga mempekerjakan seorang tukang kebun untuk mengurus pekarangan depan dan belakang rumah kami. Pak Hendra namanya. Orangnya ramah, sopan, dan pekerja keras. Rumahnya hanya selisih sekitar dua blok dari rumah kami.

TERJERAT PESONA ADIK IPARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang