BAB 7

16.4K 142 5
                                    

Hari sudah menjelang malam, tapi Kenzo masih belum pulang juga sejak ia pergi pagi tadi. Kulirik jam sudah menunjukkan hampir pukul 9 malam. Saat ini aku sedang berada di ruang tengah bersama Mas Yoshua, menonton film horror. Tapi aku tak bisa sepenuhnya fokus karena pikiranku mencemaskan adik iparku.

"Kamu kenapa, Sayang? Kok kayak gak tenang gitu?" Tanya Mas Yoshua padaku.

"Ini, Mas. Kok Kenzo masih belum pulang juga, ya? Udah malem loh ini." aku menyahut dan mengatakan terus terang apa yang membebani pikiranku.

Mas Yoshua beralih melihat jam tangannya sejenak, kemudian mengambil ponsel miliknya.

"Coba aku hubungi dulu. Mungkin masih di rumah temennya, atau nggak masih dalam perjalanan pulang." katanya.

"Padahal gak biasanya kan Kenzo keluar sampe malem gini, Mas? Paling telat biasanya juga jam 8 sampe rumah."

"Iya, sih. Ini aku telpon juga nomernya gak aktif."

"Tuh, kan.. Aku khawatir deh Mas, apalagi dia kan baru aja sembuh."

Mas Yoshua tak merespon lagi, ia sibuk menghubungi nomor Kenzo, tapi tak juga mendapatkan jawaban.

"Apa sebaiknya kita cari dia aja ya, Mas? Aku takut terjadi apa-apa sama dia." Mas Yoshua menatapku sejenak, sepertinya ia tengah memikirkan usulanku barusan. Tapi, belum sempat ia menjawab, seseorang tiba-tiba masuk mengagetkan kami. Kenzo.

"Dari mana aja, Ken? Kok baru pulang?" tanya Mas Yoshua.

"Dari rumah temen." Kenzo terdengar menyahut. Wajahnya tampak kusut.

"Nomer kamu kenapa gak bisa dihubungi? Kakak kamu sampe cemas mikirin kamu gak pulang-pulang." Kenzo tak segera merespon, melainkan beralih menatapku sejenak. Aku pun hanya diam tak mengatakan apapun. Melihatnya kembali ke rumah saja aku sudah merasa lega, kendati aku sedikit penasaran apa yang membuatnya terlihat kalut begitu.

"Maaf," ucapnya kemudian.

Mas Yoshua terdengar menghela nafas panjang, "Ya udah, yang penting kamu udah pulang sekarang. Kamu udah makan?"

"Belum, Bang." Mas Yoshua beralih menatapku, "Sisa makan malam tadi masih ada kan, Sayang?"

"Masih ada, Mas. Nanti biar aku angetin lagi bentar." sahutku.

"Ya udah, abis mandi kamu langsung makan. Biar kakak kamu angetin dulu makanannya."

Kenzo hanya mengangguk sebagai respon, kemudian beranjak pergi menaiki tangga menuju kamarnya.

Mas Yoshua kembali menatapku, "Ya udah kalo gitu aku ke kamar duluan, ya. Nanti kamu nyusul kalo udah selese angetin makanan buat Kenzo."

"Iya, Mas.."

"Makasih, Sayang. Maaf udah ngerepotin kamu."

"Gapapa, kok, Mas. Kan Kenzo keluarga aku juga."

Mas Yoshua tersenyum, kemudian mengecup keningku lembut. Setelah itu ia beranjak untuk pergi ke kamar terlebih dahulu.

Tepat setelah aku selesai menghangatkan makanan untuk Kenzo, adik iparku itu muncul di dapur, dengan penampilan yang lebih segar dari sebelumnya. Ya, meski aku masih sedikit menangkap ekspresi kalut dari wajah tampannya.

"Oh, kamu udah selese mandi? Nih, aku udah angetin makanannya."

"Makasih." Kenzo menyahut tanpa melihat ke arahku.

Ia mulai mengambil tempat duduk di meja makan dan mengambil nasi yang sudah kusiapkan.

"Kamu lagi ada masalah ya, Ken? Kok kayaknya kurang bersemangat gitu?"

Kenzo tak menjawab, ia masih terlihat sibuk mengambil lauk dan sayur di meja makan.

"Lagi ada masalah di sekolah, ya? Atau-lagi berantem sama pacar?"

Gerakan tangan Kenzo sempat terhenti sejenak, tapi ia kembali melanjutkan aktifitasnya setelahnya, "Enggak, kok."

Aku mendesah pelan, "Maaf ya, kalo aku terkesan pengen ikut campur urusan kamu. Tapi, kalo emang kamu lagi ada masalah, kamu bisa kok cerita. Siapa tau aku bisa bantu cariin solusinya."

Kenzo mulai mengunyah perlahan, kemudian menatapku sejenak, "Gak perlu. Aku bisa kok selesein masalahku sendiri."

Oh, berarti dia memang sedang memiliki masalah sekarang. Pantas saja dia terlihat kusut dan banyak pikiran.

"Besok bisa ajarin aku lagi, kan?" pertanyaan Kenzo kembali menyadarkanku.

"Oh, bahasa Inggris?" aku balik bertanya.

Kenzo hanya mengangguk sebagai respon.

"Oke, sepulang sekolah kita belajar bareng lagi."

Tanpa disangka, Kenzo tersenyum, lagi, meski hanya sekilas, "Makasih.."

Aku hanya balas tersenyum dengan berbagai pikiran yang seketika mampir memenuhi kepalaku. Jujur, aku penasaran dengan apa yang ada dalam pikiran Kenzo sekarang. Aku ingin tahu masalah apa yang tengah terjadi padanya. Kenapa dia terkadang tampak seperti membenciku, tapi ada kalanya dia terlihat normal dan bahkan tersenyum seperti ini padaku. Aku sungguh ingin tahu seperti apa aku ini di mata Kenzo.

"Kak.." panggilan Kenzo lagi-lagi menyadarkanku.

"Y-ya?"

"Ayamnya udah basi."

"Ha? Kok bisa? Tapi tadi masih enak, kok."

"Cobain aja, ini udah gak enak."

Aku pun mencicipi ayam kecap masakan Mbok Inah tadi sore. Masih enak, kok. Kenapa Kenzo bilang tidak enak?

"Boleh minta dimasakin lauk lagi, gak? Telur ceplok juga gak masalah." kata Kenzo kemudian.

Aku menatapnya sedikit ragu sekaligus aneh, tapi mau tidak mau aku pun mengangguk mengiyakan.

"Ya udah, aku bikinin telur ceplok dulu bentar kalo gitu."

"Makasih." Kenzo mengulas senyum manis lagi di wajahnya. Bagaimana aku bisa menolak jika dia memintaku dengan senyuman seperti itu. Senyuman yang aku bahkan tak tahu kapan lagi bisa melihatnya.

Akhirnya, aku pun mulai berkutat di pantry membuatkan telur ceplok untuknya. Di saat aku mulai menyiapkan penggorengan, tiba-tiba Kenzo melingkarkan kedua tangannya ke tubuhku dari belakang. Tentu saja aku terkejut dibuatnya. Nyaris menjerit, tapi aku segera sadar bahwa ia hanya bermaksud memakaikan apron padaku.

"Maaf, Kak. Aku cuma gak mau baju Kakak kotor nanti." ucapnya.

Aku seketika tersadar dibuatnya, "O-oh, iya. M-makasih." sahutku mencoba menyembunyikan rasa gugupku.

Ya Tuhan, jantungku hampir copot saja rasanya. Kupikir dia mau apa tadi. Aku tahu niatnya baik karena ingin memakaikan apron padaku, tapi tetap saja caranya membuatku nyaris jantungan. Padahal dia kan bisa saja memanggilku atau memberitahuku terlebih dahulu sebelum memakaikannya padaku.

Bukannya main selonong begitu.

Diam-diam aku melirik ke arah Kenzo sekarang. Dia terlihat kembali duduk dengan tenang di meja makan, seolah tak pernah terjadi apa-apa sebelumnya.

Dasar, aku di sini sudah nyaris pingsan oleh tindakannya, bisa-bisanya dia santai duduk di sana sambil memainkan ponsel miliknya.

Aku meraba kedua pipiku diam-diam. Sial. Kenapa wajahku mendadak panas begini? Apa karena aku marah dan kesal karena sikapnya tadi? Atau-aku justru merasa malu dan senang dengan perlakuannya? Aku tidak tahu tepatnya seperti apa, tapi yang jelas, saat ini aku bisa merasakan bagaimana jantungku yang berdegup dengan cepat, bahkan lebih cepat dari biasanya.

Tunggu. Aku tidak mungkin terbawa perasaan, bukan? Ingat, dia itu hanyalah adik iparku, bocah SMA yang usianya terpaut lima tahun lebih muda dariku. Mana mungkin aku baper oleh anak kemarin sore seperti dirinya? Mustahil itu terjadi, atau aku memang telah berubah menjadi setengah gila.

Aduh bikin salting aja ceritanya,
Eh tapi kan cinta gak Mandang usia kan 🤭

TERJERAT PESONA ADIK IPARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang