Aku memijit keningku berkali-kali. Pusing, ralat—bingung usai mendapatkan pengakuan tak terduga dari adik iparku beberapa saat yang lalu. Ini sudah berlangsung tiga jam sejak aku mendapatkan pengakuan itu. Tapi aku masih tak bisa tenang.
Ya, begitu dia mengucapkan kata-kata itu, aku tak bisa merespon apapun kecuali hanya diam seperti orang bodoh. Aku bahkan hanya menurut saat ia memintaku duduk di tepi ranjang dan ia membaringkan kepalanya di atas pangkuanku.
Demi Tuhan, aku tidak mengerti apa yang sebenarnya telah terjadi. Aku hanya bisa berpikir positif, mungkin saja itu efek karena dirinya sedang demam. Bisa jadi Kenzo punya semacam kelainan khusus yang hanya terjadi saat ia sedang sakit. Ya, aku yakin seperti itu.
Tapi entahlah, jujur saat Kenzo mengatakan hal itu, jantungku berdegup lebih cepat dari biasanya. Aku tidak mungkin terbawa perasaan oleh kata-katanya, kan? Mana mungkin. Ayolah, dia itu adik dari suamiku. Usianya terpaut lima tahun lebih muda dariku. Aku pasti sudah tidak waras jika menanggapi ucapannya secara serius.
Entah sudah ke berapa kalinya aku menghela nafas panjang sepenuh dadaku. Masih tak bisa menepis apa yang baru saja terjadi tiga jam yang lalu.
Lantas, begitu ia tertidur pulas, aku perlahan memindahkan kepalanya dari atas pangkuanku ke atas bantal. Sedikit mengendap keluar dari kamarnya. Sungguh, aku berharap besok, ah setidaknya nanti malam saat tanpa sengaja kami berpapasan, suasana kembali normal seperti sebelumnya. Karena aku yakin yang tadi itu hanya karena efek demamnya saja.
Sayangnya, begitu malam tiba, aku justru kembali mengkhawatirkannya. Tentu saja. Aku bahkan tak berani keluar dari kamarku sejak tadi siang. Takut jika tanpa sengaja berpapasan dengan Kenzo lagi. Tapi nyatanya, saat ini aku justru mencemaskan keadaannya. Tak ada orang lain di rumah, dan ia dalam keadaan sakit. Tentu saja siapa lagi kalau bukan aku yang akan merawatnya?
Pada akhirnya, usai mengerahkan seluruh tekad yang kupunya, aku pun memutuskan untuk membawakan makan malam ke kamarnya.
"Ken, aku bawain makan malam buat kamu. Kamu belum makan, kan?" ucapku setelah mengetuk pintu kamarnya. Tak ada jawaban. Mau tak mau, aku pun membuka pintu dan masuk ke dalam kamarnya. Kosong, tak ada siapapun di dalam. Tapi aku bisa mendengar suara gemericik air dari dalam kamar mandi. Mungkin Kenzo sedang di dalam. Akhirnya, aku pun meletakkan makanan yang kubawa di atas nakas tempat tidurnya.
Baru saja aku bermaksud hendak keluar, kudengar pintu kamar mandi terbuka, menampakkan sosok Kenzo di sana. Hanya mengenakan handuk yang menutupi tubuh bagian bawahnya, dengan rambut yang basah.
Tanpa sadar aku meneguk salivaku sendiri. Aku tidak munafik, Kenzo terlihat sangat tampan dan ehm-seksi, dengan tubuh atletis yang cukup membuatku tercengang. Tidak heran sebenarnya, karena setahuku Kenzo memang gemar berolahraga, sama seperti Mas Yoshua. Hanya saja aku tak pernah mengira jika ternyata Kenzo memiliki tubuh yang tak kalah menggoda dari Mas Yoshua. Padahal ia masih bocah SMA.
"Kak?" teguran Kenzo sontak membuyarkan fantasi laknatku.
"O-oh, eh, k-kamu kok udah mandi aja? Kamu kan masih demam." responku berusaha bersikap senormal mungkin.
"Aku mandi pake air anget, kok."
"O-oh.."
Kenzo terlihat berjalan menghampiriku, membuatku seketika was-was. Tanpa sadar, aku berjalan mundur beberapa langkah.
"G-gimana keadaan kamu? U-udah mendingan?" Si perempuan bodoh bernama Ocha ini masih saja terlihat gugup.
Tentu saja, pasalnya Kenzo terus bergerak menuju ke arahku, sampai-sampai aku terpojok di nakas tempat tidurnya.
Aku kembali meneguk salivaku sendiri, kali ini nafasku tertahan, sebab sungguh demi apapun, jarak di antara kami berdua sangatlah dekat. Aku bahkan bisa mencium aroma wangi shampo dari rambutnya yang masih basah. Juga wangi tubuhnya yang menyegarkan. Dan-astaga, apa yang tengah kupikirkan sekarang?
Kenzo masih terdiam sembari terus menatap lekat padaku.
Dadaku berdegup kencang.
Mengutuk siapa saja karena tak mampu berkutik dalam situasi semacam ini. Kenzo sungguh tampan, aku bahkan nyaris melupakan kenyataan bahwa dia adalah adik iparku. Sepasang hazel pekat yang tajam, hidung mancung, rahang kokoh dan bibir tipis berwarna kemerahan miliknya, rasanya aku nyaris menyambarnya tanpa bisa. kutahan.
"Makasih.."
Fantasiku buyar seketika mendengarnya, "Y-ya?"
"Ini buat aku, kan? Makasih karena Kakak udah bawain ini ke sini."
Aku lantas tersadar, sadar sesadar-sadarnya. Rupa-rupanya Kenzo hanya bermaksud akan mengambil nampan berisi makanan yang tadinya kuletakkan di atas nakas yang berada di belakangku. Spontan, aku pun menyingkir dari hadapannya. Benar-benar situasi yang canggung dan bodoh. Apa yang baru saja kupikirkan tadi?
"O-oh, ya, sama-sama. Aku juga lega kamu udah mendingan sekarang. Udah gak demam lagi, kan?"
Tahan, Cha. Tahan. Kamu pasti bisa menahan rasa malu akibat tingkah bodohmu beberapa saat yang lalu.
Kenzo terlihat menggeleng, "Makasih karena Kakak udah ngerawat aku seharian ini."
"Ya, sama-sama. Emang udah sewajarnya juga aku yang ngerawat, kan? Gak ada orang lain di rumah ini selain aku."
Kenzo hanya tersenyum dan mengangguk. Setelah itu meneguk susu hangat buatanku.
Aku tertegun di tempat. Untuk yang kesekian kalinya, aku melihatnya tersenyum lagi. Dan dalam waktu singkat, aku meralat ucapanku tempo hari yang memintanya untuk lebih sering tersenyum. Sebab pada kenyataannya, senyumannya amatlah tidak baik untuk jantungku.
Usai peristiwa yang terjadi hari ini, membuatku sulit memejamkan kedua mataku. Aku bahkan masih terjaga saat Mas Yoshua pulang dari kantor. Pelukan hangat dari suamiku-lah yang membantuku kembali pada kenyataan.
"Mas, hari ini Kenzo izin gak masuk sekolah. Dia demam." Ujarku di sela pelukan Mas Yoshua.
"Loh, udah periksa ke dokter? Kok kamu gak ngabarin aku?" respon Mas Yoshua.
"Maaf, Mas. Aku gak kepikiran buat ngabarin kamu karena takut ganggu fokus kerjaan kamu di kantor. Tapi demamnya udah turun kok, tadi udah mandi juga pake air anget."
Mas Yoshua terdengar mendesah pelan, masih dengan posisinya yang memelukku dari belakang.
Ingin rasanya aku menceritakan padanya apa yang telah terjadi seharian ini. Tapi entah kenapa sulit rasanya menggerakkan lidah untuk bercerita.
"Mungkin dia capek dan stress karena terlalu banyak belajar. Bentar lagi kan ujian nasional di sekolahnya." ujar Mas Yoshua lagi.
"Iya, Mas.."
"Kamu yang udah ngerawat dia seharian ini, kan?"
"Iya, Mas.."
"Makasih ya, Sayang. Kalo gak ada kamu, gak tau deh bakal sesulit apa keluarga ini."
Aku hanya mengangguk tanpa menjawab. Mas Yoshua mengeratkan pelukannya padaku dan mengecup lembut tengkukku, menyalurkan perasaannya yang seketika tersampaikan padaku.
Ah, jahat sekali kalau aku sampai membalas semua perlakuan istimewa ini dengan sesuatu yang menyakitkan untuknya. Semoga saja Kenzo memang benar-benar salah mengenai perkataannya beberapa jam yang lalu.
Aduduh KELANJUTANNYA bakal kayak gimana ya? Hhehe
![](https://img.wattpad.com/cover/306523542-288-k934591.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
TERJERAT PESONA ADIK IPAR
Romance"Kak, boleh minta tolong?" Sepasang hazel pekat itu menatap lekat padaku, "Ada yang butuh ditenangin di bawah sana. Kakak bisa kan bantu tenangin?" Dan sialnya, hanya dengan senyuman tipis yang nyaris jarang ditunjukkannya pada siapapun, nyatanya be...