|-III-| Swasta dan Hidup Patetik

10 2 0
                                    

MENYUSURI KORIDOR KELAS sepuluh yang tidak terlalu ramai, Swasta membolak-balik ponsel model terbaru di tangannya dan mengira-ngira akan laku berapa jika ia jual. Namun, mengingat kembali ucapan Baskara yang diucapkan dengan nada sombong beberapa waktu yang lalu, mau tak mau membuat Swasta terpaksa menguburkan keinginannya dalam-dalam. Gadis itu menghela napas sambil menggeleng miris. Gagal dirinya untuk mendulang uang tanpa harus bekerja keras.

"Jangan pernah berpikiran buat ngejual HP itu, Swa." Lelaki itu tahu saja yang dirinya pikirkan. "Gue cuma jijik saat liat lo pake hp jadul itu, jadi jangan kege'er-an. Dan lo bakal tau apa yang akan terjadi kalo sampai gue liat lo masih pake HP jadul itu."

Swasta mencebik mengingat semua perkataan lelaki temperamental itu. Ancamannya memang berhasil menskakmat Swasta dan Swasta benci saat-saat di mana dirinya dibuat tidak bisa berkutik di hadapannya. Pun, Swasta amat sangat benci untuk mengakuinya.

"Swasta, tunggu gue!"

Swasta mempercepat langkahnya mendengar teriakan itu dan berpura-pura membaca buku kimia yang sebenarnya tak ia pahami manakala orang yang tadi berteriak di belakangnya telah tiba di sampingnya, setelah sebelumnya menyimpan ponsel pemberian Baskara--secara paksa--ke dalam ranselnya. Swasta juga sama sekali tak menghiraukan Dita yang mengoceh di dekatnya lantaran masih jengkel pada sahabatnya, hingga akhirnya Dita yang sadar bahwasanya dirinya diabaikan langsung menggeplak tangan gadis waktu matahari terbenam itu keras-keras dan membuat si empunya tangan mengaduh.

"Gue masih kesel ya, Mudit!" Swasta mendengus.

Dita yang merasa bersalah pun meminta maaf tampak tak tulus, kemudian berucap, "Lo harusnya makasih sama Kak Kara." Melihat reaksi syok Swasta, Dita segera melanjutkan, "Ya, walaupun kemarin dia keterlaluan banget, tapi lo tau? Yang nolongin lo waktu lo pingsan di kamar mandi, ya, Kak Kara."

Kali ini Swasta sungguhan syok. "Kok bisa?"

Dita mengangkat bahu dan membalas, "Gue waktu itu pake kamar mandi di kamar sebelah. Terus katanya Kak Kara balik lagi ke kamar karena charger-nya ketuker sama punya gue dan pas masuk katanya dia denger ada suara gaduh di kamar mandi. Dan, ta-daa, elo pingsan."

"Yang gantiin baju luaran gue ... elo, 'kan?"

Dita menggeplak lengan Swasta kera-keras. "Ya, iya lah! Gila kali Kak Kara yang gantiin." Dari semua yang terjadi, bisa-bisanya temannya ini malah mengkhawatirkan hal itu?

Swasta balas menggeplak Dita lebih keras sebelum kemudian memicing menatap Dita. "Elo gak lihat yang lain, kan?" Melihat Dita bersumpah tak melakukan apa pun selain mengganti seragam, Swasta berujar seraya menggosok ujung hidungnya dengan dua jari, "Kalau begitu ... bagus, deh."

Pikiran Swasta berkeliaran ke mana-mana, mengingat setiap sisi kehidupannya yang sama sekali tidak bisa dikatakan estetik. Lalu, otaknya dengan kurang ajarnya menjejalkan ingatan-ingatan "indah" yang kala Swasta ingat hanya semakin membuat lubang menganga di hatinya bagai disiram air garam. Bibir bawahnya ia gigit kuat-kuat tatkala ingatan-ingatan "indah" tersebut berubah menjadi kepatetikan dan menghantam jatungnya, menghantarkan semua rasa bersalah ke sekujur tubuh melalui setiap pembuluh darah.

Hentikan, Otak Bodoh! Swasta sudah tidak ingin bernostalgia lagi.

"Aduh!"

Swasta tersadar dari lamunannya dan menatap benda besar bergerak di lantai. Namun, setelah dilihat lebih teliti sesuatu yang bergerak yang awalnya Swasta kira adalah benda ternyata seorang siswa berkacamata tengah memungut sesuatu.

"Aduh, maaf." Swasta meringis merasa bersalah, entah merasa bersalah karena telah menabrak atau karena salah mengira dia adalah sebuah benda.

"Maaf, bisa tolong saya membereskan ini?"

(Not) Aesthetic LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang