"TA, BANDANA YANG gua kasih kenapa gak lo pake? Padahal cocok."
Sambil sibuk membetulkan dasi abu-abu, kujawab pertanyaan orang di sampingku tanpa menoleh, "Gue males denger gerutuannya Dita karena gak lo beliin juga."
"Kata siapa?" Serta-merta aku menoleh mendengar dua kata itu. Terlihat Arin mengeluarkan sesuatu dari ransel hitamnya. Sebuah bandana yang sama seperti yang Arin berikan padaku beberapa waktu lalu. Aku mangut-mangut. "Gue bawa, kok." Aku ragu untuk melanjutkan. "Tapi, gue ngerasa ... gak cocok, Ar," akuku akhirnya.
Arin menggebrak meja keras setelah mendengar kalimatku. Kebiasaan. "Siapa bilang?! Hah?! Siapa bilang omong kosong itu?!"
Mengurut pelan dahi, aku sungguh tak bisa menebak kapan Arin akan kalem dan kapan akan meledak-ledak seperti sekarang, meski sudah tiga tahun kami sudah berteman. Sifatnya sungguh tak terduga. Dan aku lebih suka saat Arin kalem timbang sikap hebohnya. Karena satu orang seperti Dita saja sudah lebih dari cukup, jangan ditambah satu lagi.
"Ya, sori, Ta. Gua kelepasa—hoaaam!" ucap Arin sebelum kemudian menguap lebar, setelah sebelumnya kujelaskan bahwa tidak ada yang berkomentar tentang aku yang tidak cocok menggunakan bandana atau semacam, karena hal tersebut hanyalah asumsiku.
Kurotasi bola mataku, jengah melihat Arin yang sangat cepat kembali ke tabiat aslinya. Aku tidak suka melihat Arin jika sudah hebohnya melebihi Mudita Wanodya alias Dita, pun bukannya senang mendapati Arin yang kembali menjadi Arin si pemalas. Ah, serba salah memang jadi manusia, mau jadi ikan saja. Hidup mereka estetik. Hanya perlu mempunyai corak sisik yang menarik, lalu mereka akan hidup enak di dalam akuarium lantaran corak indah sisiknya menarik para manusia tidak estetik untuk memelihara mereka guna memperestetik hidup.
Simpel.
Serta, lebih simpel lagi bagi ikan dengan corak sisik biasa saja tapi mempunyai daging bercita rasa tinggi. Mereka akan berakhir ditangkap dan berbaring di penggorengan guna memuaskan rasa lapar para manusia tidak estetik. Aku pun suka. Apalagi jika ikannya dipepes. Uh, rasanya benar-benar memanjakan lidah.
Ah, membicarakan makanan membuat perutku keroncongan. Mana aku belum menyarap pagi ini. Namun tak apa, aku tinggal meminta si kacamata sombong untuk membelikanku makanan berbahan dasar ikan di kantin, dan mengantarkannya ke kelasku (karena kejadian tiga hari yang lalu, membuatku malas ke kantin). Ingat, simbiosis mutualisme ini belum berakhir, dan akan terus kumanfaatkan sampai akhir. Ambillah keuntungan, apapun itu, dari semua kejadian yang terjadi di hidupmu, Bung. Selama itu menguntungkan dan tidak sedikit pun merugikan tentunya, why not?
"Awas kaki lo, Ta."
Ah, hampir saja. Jika bukan karena peringatan dari Arin mungkin kakiku akan berkubang ria secara mengenaskan di atas genangan air. Aku tidak suka. Itu tidak terlihat estetik.
"Gue balik ke barisan gue ya, Ta, Rin." Dita melambaikan tangannya sambil berjalan mundur menuju barisan kelasnya. Aku tak tahu berapa lama Dita di sana, tapi saat aku keluar dari kelas bersama yang lain, gadis itu sudah berdiri di depan kelas dengan Alan bersamanya.
"Gue nunggu kalian, kok, bukan nunggu Alan."
Kami, aku dan Arin, tahu itu hanya alibi Dita agar kami tidak mengatainya bulog alias budak cinta goblog. Namun, kami sepakat lewat kode mata untuk pura-pura percaya demi melihat gadis bertahi lalat di pipi itu bersukacita. Sesekali mengatakan kebohongan demi membuat teman bahagia bukan hal buruk, 'kan?
Ah, masa bodoh.
Kutengadahkan kepalaku menatap sang mentari yang tengah menjalani tugas sebagai lampu semesta, mengusir kegelapan dan menggantikan sang rembulan yang telah berjaga selama semalam suntuk. Cuaca tampak cerah berawan, langit yang dihiasi awan sirrus di sana-sini begitu menggoda untuk dipandangi. Udara sejuk sisa hujan kemarin sore berhembus, menggerakkan dedaunan hijau pada setiap ranting pepohonan di sekeliling lapangan, serta menerbangkan beberapa dedaunan yang telah menguning dan usai sudah menjalankan tugas sebagai penyerap karbon dioksida.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Not) Aesthetic Life
Ficción General"Tuhan, izinkanlah kebahagiaan menghampiriku, kendati hanya sepersekian dari sisa waktu yang Engkau berikan." ~Saujana Swastamita~