MELUPAKAN LELAKI TEMPERAMENTAL dan semua sikap menjengkelkannya yang tertera, aku menarik kemeja si kacamata menjauh dari meja tempat si lelaki temperamental dan yang lainnya duduk. Kutarik kemeja bagian lengan atasnya hingga kemudian kami sampai di depan stan penjual soto ayam dan gado-gado.
Aku tidak menyangka bahwa si kacamata akan sepenurut ini. Bahkan dia manut-manut saja sambil mengembangkan senyum kala kubilang akan menghabiskan uang sakunya untuk mentraktirku makan setiap hari selama dia berpacaran denganku. Malahan tarikan senyumnya semakin lebar tatkala kubilang aku tidak bercanda.
Dia bilang, hal itu bukanlah apa-apa untuknya. Dih, sombong sekali. Tapi tak apa, akan kumanfaatkan kesombongan itu. Ini kan simbiosis mutualisme, dia berhenti dirisak oleh berandalan itu--yang aku pun tak tahu apakah itu karena aku atau memang benar kepala mereka terbentur--dan aku mendapatkan keuntungan makan gratis setiap hari. Bukankah itu akan sangat menghemat anggaran hidup?
Kenapa? Hidup ini tentang materi. Jadi, jangan menyalahkanku jika kuhitung semuanya dengan materi. Aku hanya berpikir logis secara realistis.
"Jangan khawatir, Swasta. Perusahaan ayahku tidak akan bangkrut hanya karena mentraktirmu makan siang setiap hari."
Baiklah, Kacamata Sombong, aku mengerti. Dan jangan lagi kausebut-sebut perusahaan ayahmu yang katanya berada di peringkat tiga perusahaan terbesar se-Indonesia di depanku. Karena jika tidak, aku takut jiwa materialistis dalam diriku akan semakin mendorongku untuk terus memorotimu.
Tunggu sebentar, berada di peringkat ketiga terbesar se-Indonesia itu bukankah berarti si kacamata ini sangatlah kaya, yang biasa disebut anak soeltan? Dan setahuku anak soeltan selalu dielu-elukan, makanya aku benci mereka, para penjilat.
Iuh!
Meski kuakui aku sangat suka uang, uang segalanya, of course! Tetapi, jika menjilat hanya untuk mendapat keuntungan, itu bukan caraku karena kupikir cara tersebut tidak etis. Akan kuporoti harta mereka selama keberadaanku menguntungkan pihak lain. Namun, apabila keberadaanku sama sekali tidak menguntungkan, pun aku tidak mau mengambil keuntungan apapun dari pihak lain. Itu beban namanya bukan simbiosis mutualisme, and I don't wanna be a burden, karena menjadi beban itu aib.
Tapi, kenapa orang ini bisa jadi sasaran objek bulian para berandalan dengan latar belakang seperti itu. Atau jangan-jangan berandalan itu memegang rahasia kotor perusahaan ayahnya si kacamata hingga berani berlaku demikian?
Siapa yang tahu?
"Bukan seperti itu, Swasta." Si kacamata terkekeh. "Justru karena mereka tahu orang tua saya kaya, karena itu mereka mulai menggangguku. Mereka berpikir aku tidak melawan karena aku takut, padah-eh, aku memang takut sih, saat melihat wajah mereka yang tidak terlihat seperti pelajar SMA."
Aku tertawa ketika binar mata berapi-api si kacamata tiba-tiba meredup kala mengakui kelemahannya. Gila, lucu juga orang ini. Sampai-sampai benakku berkeinginan untuk mendaftarkannya ke pelatihan pertunjukan topeng monyet.
Aku terperanjat. Orang ini kenapa tiba-tiba menatapku seakan hendak menelanku utuh-utuh seperti ini? Kerasukan penunggu pohon tauge?
Ah, iya. Tauge tidak berpohon, jadi tidak mungkin.
"Kenapa, deh?" Aku bertanya. Dia mengangguk sekali lalu berkata, "Meski begitu, bukan berarti aku akan terus tinggal diam. Suatu saat nanti, akan saya bal-"
"Kacamata, berhenti!" potongku tak tahan. "Elo kalau pakai 'aku' ya 'aku' aja, 'saya' ya 'saya' aja. Pusing gue dengarnya.
"Okay, kamu mau aku pakai yang mana?"
"Yang mana aja, asalkan jangan dicampur."
Si kacamata mengangguk mengerti. "Jadi, aku .... Sampai mana tadi? Oh, okay. Akan aku balas berkali-kali lipat dari apa yang mereka lakukan padaku. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri bahwa suatu saat akan berubah, tidak akan menjadi Shevano yang penakut lagi. Jadi Swasta," panggilnya tiba-tiba setelah pidatonya membuatku tergagap.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Not) Aesthetic Life
Художественная проза"Tuhan, izinkanlah kebahagiaan menghampiriku, kendati hanya sepersekian dari sisa waktu yang Engkau berikan." ~Saujana Swastamita~