AKU MENITI LANGKAH di jalan setapak menuju tempat janjianku dengan Dita, untuk berangkat sekolah bersama.
Sudah dua hari berlalu sejak kejadian hari itu, dan tidak ada kejadian pencegatan sepulang sekolah seperti yang kuperkirakan. Kukira awalnya aku tidak akan bisa selamat dari pencegatan tersebut. Namun herannya--meski aku bersyukur untuk itu, yang kuperkirakan sama sekali tak terjadi. Semua aman, damai, dan sentosa sampai detik ini.
Aku tak tahu apa yang terjadi dan tak mau tahu apa yang terjadi, karena sama sekali tidak peduli. Bisa saja kepala mereka terbentur serentak saat pulang hingga lupa semua kejadian hari itu. Siapa yang tahu?
"Ta, gue bisa jelas-"
"Gue tahu," sambarku agak kesal. "Elo pengen berangkat sekolah berduaan dengan Alan, jadi de-ngan-ter-pak-sa gue harus berangkat sama Kak Baskara, bener? Gapapa, gue ngerti." Aku mengangguk paham. Lalu, setelah nenyambar helm pemberian Baskara, dengan cepat aku naik ke atas motor matic merah milik Baskara, mengabaikan Dita yang masih kelabakan lantaran mengira aku marah.
"Gue beneran gapapa, Mudit!"
"Sekali lagi, jangan panggil gue Mudit," ucap Dita lalu mendekatkan wajahnya ke telingaku dan berbisik, "Elo tau sendiri, kan, gue lagi PDKT sama Alan? Dan dia ngajak gue berangkat bareng. Jadi, yaa sori, gue minta Kak Kara buat jemput lo. Taaa, jangan marah." Dita menggoyangkan badanku sampai membuat motor yang kutumpangi hampir terjatuh dan berhenti setelah mendapat tatapan peringatan dari kakaknya.
Aku memutar bola mata sejenak, kemudian tersenyum kecil setelahnya. "PJ-nya jangan lupa," balasku juga berbisik. "Elo juga, PJ!" teriakku pada Alan, yang dibalas oleh lelaki itu dengan jari yang dibentuk huruf O.
Kulihat gadis itu terseyum cerah lalu mengacungkan kedua jempolnya, sebelum kemudian menghampiri Alan--teman sekelasku--yang berada di sisi lain jalan dan tertawa sok manis di depannya.
"Pegangan." Baskara berkata sambil memasang pengaman helmnya. "Pegangan yang bener, Swastamita. Gue gak mau tanggung jawab atas kematian lo nanti," katanya lagi seraya menarik kasar kedua tanganku hingga melingkari pinggangnya.
Lelaki ini membicarakan kematian seseorang seperti membicarakan makanan. Enteng sekali mulutnya.
Hah, ingin sekali kugeplak kepalanya yang hanya berisi kata-kata kasar itu dari belakang. Namun, lantaran terhalang dengan helm, sebagai gantinya aku pun menghantamkan kepalaku ke kepalanya sampai aku mendengar geraman rendah darinya. Kulihat dari belakang ia seperti tengah menarik napas dan menghembuskan kasar hingga aku mendengar hembusan napasnya yang seperti tengah menahan sesuatu untuk meledak.
Setelah kukira dia akan benar-benar meledak saat aku kembali mengulang perbuatanku, lelaki itu tiba-tiba menarik tuas gas dan membuatku hampir terjungkal jika saja tidak segera memeluk erat pinggangnya.
Oh, jadi begitu cara lelaki temperamental ini balas dendam?
Baskara menghentikan motor di samping kiri motor matic oranye milik Alan dan mengatakan sesuatu yang membuat pihak lain menatap ngeri kepadanya, "Kalo sampe adek gue kenapa-kenapa, gue sendiri yang bakal pretelin motor lo sampe gak bisa jalan."
Baskara menoleh ke belakang sebentar, sebelum kemudian melajukan motornya meninggalkan Dita dan Alan di belakang hingga sampai di depan gerbang sekolah dan menurunkan aku yang nyawanya tertinggal di jalan. Hell, bagaimana tidak, lelaki temperamental yang kini tengah bercakap-cakap dengan seorang perempuan di depanku ini melajukan motor seperti orang kesetanan, mengabaikan teriakanku yang menyuruhnya untuk menurunkan sedikit laju kendaraannya.
Aku merasa seperti akan mati saat itu juga. Aku tidak yakin, tapi mungkin itulah caranya lelaki temperamental ini balas dendam padaku. Hah, dia khawatir adiknya kenapa-kenapa saat bersama Alan, tapi sama sekali tidak peduli apakah nyawaku masih ada dalam raga atau sudah melayang ke nirwana saat berboncengan dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Not) Aesthetic Life
General Fiction"Tuhan, izinkanlah kebahagiaan menghampiriku, kendati hanya sepersekian dari sisa waktu yang Engkau berikan." ~Saujana Swastamita~