|-VIII-| Swasta dan Sebuah Spekulasi

6 2 0
                                    

PINTU MENJEBLAK TERBUKA dan seseorang yang paling kuinginkan keberadaannya hilang dari Bumi berdiri di sana. Memandangku dengan senyumnya yang tak bisa kuartikan. Lalu, ia berjalan masuk ke dalam kamarku dan berhenti di sampingku yang tengah membereskan tempat tidur.

Dia hanya diam, aku pun berusaha menganggap keberadaannya tidak ada. Hingga kemudian, ia kembali melangkahkan kakinya mengitari kasur dan berhenti di depan meja belajar. Aku mengabaikan, bahkan saat dia membuka dan melihat-lihat semua buku pelajaranku.

"Bagaimana ujianmu, Swasta?"

Tanganku berhenti sebentar, dan kembali kulanjutkan kegiatanku tanpa menjawab. Kuharap dia segera pergi. Namun, kutahu seharusnya aku tak berharap.

"Mita," panggilnya membuatku seketika mematung. "Bagaimana keadaan perutmu?"

Aku mendengus. "Anda tidak perlu ikut campur apa pun keadaan saya, karena saya bisa mengurusnya sendiri tanpa bantuan Anda."

"Saya ke sini bukan untuk mendengar omong kosong, Mita."

Kulayangkan tatapan penuh permusuhan ke arahnya. "Pergi," usirku.

Dia bergeming.

"Enyah, Setan!" Kukepalkan kedua tanganku di kedua sisi tubuhku.

Kulihat dia mengayunkan langkah, lalu berhenti di depanku. Dia menyentuh daguku dan mengangakat wajahku hingga tatapan kami bertemu. "Mulut kamu semakin kasar," katanya.

Aku merasa seperti akan muntah mendengar kalimatnya. Kutepis tangannya kasar lalu mendorong tubuhnya menjauh dariku. "Pergi!" desisku.

Dia memandang rendah ke arahku. "Kamu adalah anak sambung saya. Kehidupanmu ada di bawah telapak tangan saya. Ingat itu, Mita," katanya sebelum kemudian melenggang pergi tanpa riak di wajah.

Aku selalu merinding saat dia berbicara dengan nada rendah seperti itu.

Sepeninggalnya dia, lututku lemas. Aku jatuh terduduk di lantai lantaran kakiku yang tak dapat menahan bobot tubuh. Aku mengusap wajahku kasar dengan kedua tangan. Sepagi ini aku sudah disadarkan dengan realita hidupku yang sama sekali tidak estetik.

Sekarang aku sungguh bosan dengan hidupku yang tidak estetik. Dan, aku penasaran, apa Tuhan tidak bosan mempermainkan, memporakporandakan hidupku yang tidak pernah berjalan sesuai yang kuinginkan? Aku saja sudah amat sangat bosan dengan semua realita ini.

Orang bilang, bayi kala masih di dalam rahim diberitahu bakal seperti apa hidupnya nanti, bagaimana ia mati, dan siapa jodohnya. Serta diberi dua pilihan, memilih mati atau berjuang untuk hidupnya nanti. Tetapi, aku tidak tahu diiming-imingi apa aku saat bayi oleh Tuhan hingga bisa-bisanya bersedia menjalani kehidupan jika mengetahui akan seperti ini jadinya.

Bodoh sekali. Sungguh bodoh. Andaikata yang diperlihatkan hal tersebut adalah aku yang sekarang, maka aku tidak akan skeptis memilih mati saat itu juga ketimbang harus menjalani hidup memuakkan dan tidak estetik seperti ini.

Aku tertawa getir bersamaan dengan air mata mulai menerobos pertahananku. Kutengadahkan kepalaku guna menghentikan laju air mata yang sialannya malah semakin deras turun membanjiri pipiku, membuat anakan sungai di sana. Mereka turun serempak seakan tengah menyemarakkan ketidakestetikan hidupku.

Hidup ini menang menyedihkan. Tetapi, terus-terusan meratapi hidup jauh berkali-kali lipat lebih menyedihkan.

Kau tahu, tapi yang kau lakukan terus-terusan meratapi nasib.

Memangnya apalagi yang bisa kulakukan?

Setidaknya kau harus berusaha.

Jelaskan padaku, usaha seperti apa harus kulakukan?

(Not) Aesthetic LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang