“JADI, lo masih enggak mau cerita?”
Yazar mengusap kasar wajahnya ketika lagi dan lagi ia melihat Harum menggeleng.
Sejak pertama kali mereka dekat, Yazar tahu kalau Harum menyimpan beban yang berat dalam dadanya. Yazar sudah berusaha membuat lubang di sana, untuk sedikit membebaskan beban itu. Namun, Harum terlalu kokoh sebab si gadis memang tak memberinya kesempatan untuk itu. Yazar akui, terkadang orang ceria macam Harum jauh lebih pintar menyembunyikan permasalahan hidup.
“Yaudah, gue buatin dulu mi instan. Mau sekalian sama cokelat panasnya juga, enggak?” Harusnya Yazar tak bertanya tentang itu. Meski tak hafal apa masalah yang tengah Harum sembunyikan saat ini, tetapi setidaknya Yazar tahu apa saja yang Harum suka dan tidak suka.
Setelah menghabiskan satu jam penuh di halte bus, berpikir ke mana harus membawa Harum pergi, akhirnya laki-laki beriris karamel itu memutuskan untuk membawa Harum ke apartemen Heris.
Dina tak pernah mempermasalahkan dengan siapa Yazar dan Heris berteman. Ia bahkan tidak pernah melarang teman perempuan siapa pun berkunjung ke rumah. Namun, jika itu larut malam, Yazar tak yakin jika uang saku selama sebulannya tak lenyap begitu saja. Yang terpenting, Yazar tiada berharap pertemanannya dengan Harum kandas hanya karena masalah ini.
Beruntung Heris punya apartemen ini, dan Yazar tahu password pintu masuknya. Ia sudah mengirimi Heris pesan, meminta izin untuk menginap di apartemennya malam ini. Namun, sepertinya kakaknya sedang sibuk. Si model berparas rupawan itu tak kunjung membalas pesannya sampai saat ini.
“Nyokap gue ...”
Yazar baru saja menuangkan mi instan—-satu-satunya makanan yang tersedia—-ke dalam mangkuk saat suara serak Harum berlabuh di telinga. Harum masih menunduk dalam sambil mencubiti kuku-kuku jarinya, selagi Yazar membawa dua mangkuk mi instan dan duduk di samping gadis itu. Ia membatalkan niatnya untuk membuat cokelat panas karena Heris tak menyimpan persedian cokelat di kulkas.
“Nyokap lo?” Yazar menyimpan kedua mangkuk itu di atas meja dan mulai memperhatikan Harum dengan saksama.
“Nyokap gue mucikari, Zar.”
Nyaris saja Yazar tersedak ludahnya sendiri saat pernyataan itu tak hanya menusuk gendang telinganya, tetapi juga menohok dadanya dengan keras. “Maksud lo?” Tentu saja ia tak ingin memercayai hal itu dengan terburu-buru.
“Dia ngejual cewek-cewek muda sama bajingan-bajingan enggak punya otak itu. Dia kasih gue makan sama minum, dia biayain hidup gue dan sekolah gue, dari hasil ngerebut harga diri cewek-cewek. Dan ...” Sengaja, Harum membuat kalimatnya menggantung. Ia menatap mata karamel Yazar dengan sendu. “Tadi, gue denger katanya dia bakal ngejual gue juga.”
Ada saat-saat di mana Harum merasa neraka dunia itu adalah rumahnya sendiri. Saat ia berulang kali menyaksikan ada banyak orang yang rela mempertaruhkan harga diri hanya untuk dunia yang fana. Terkadang, di antara mereka-—perempuan-perempuan yang kerap datang ke rumahnya-—adalah anak-anak belia semacam dirinya.
Hati Harum hancur berkeping setiap kali mengingat mereka sama seperti dirinya, seorang perempuan. Yang ingin dilimpahi banyak kasih sayang tanpa harus melakukan pekerjaan nista. Bahkan ada di antara mereka yang dipaksa untuk menyerahkan diri mereka untuk orang-orang biadab itu oleh orang tua mereka sendiri.
Salah satunya adalah Missa, seorang siswi SMA, yang Harum kenal dengan sangat baik saat itu. Dia pendiam, tetapi perangkai sejuta mimpi dan angan yang tinggi. Cita-citanya menjadi seorang novelis di samping menjadi seorang psikolog harus kandas lantaran kebiadaban orang tuanya sendiri.
Dan, Harum berpikir, Ratna, ibunya adalah—ia sebenarnya tak ingin mengatakan ini—seorang iblis. Orang paling jahat di muka bumi ini, yang bahkan tega bilang akan menyerahkan dirinya juga kepada laki-laki hidung belang hanya untuk kemewahan duniawi.
Tubuh Harum bergetar kala mengingat percakapan ibunya dengan seorang pria yang berhasil terekam memorinya beberapa jam silam.
“Harum, gue bukannya enggak percaya. Tapi ...”
“KENAPA LO ENGGAK PERCAYA?!” Harum tiba-tiba menjerit. Ia menatap tajam mata Yazar. Sungguh! Ia hanya ingin Yazar memercayai dirinya. Karena, ia juga sudah memercayai Yazar untuk tahu semua rahasia ini. Kanis yang bahkan sudah menjalin pertemanan lebih lama dengannya pun tak tahu menahu tentang perkara ini.
“Lo harusnya percaya sama gue, Zar! Lo harus percaya kalau nyokap gue enggak pernah main-main sama omongannya. Kalau dia bilang dia mau jual gue, itu berarti dia bakal lakuin itu.”
“Harum, gue ...”
“GUE BILANG LO HARUS PERCAYA! LO HARUS BANTUIN GUE. GUE ENGGAK MAU BERAKHIR KAYAK KAKAK GUE!”
Karena Missa adalah kakaknya. Ia ingat dengan jelas bagaimana hancurnya Missa kala itu. Ia bahkan selalu ingat setiap detiknya yang menyakitkan, setiap tetes air matanya yang meluncur, setiap mengingat bagaimana kakaknya yang paling cantik, kakaknya yang baik, kakaknya yang paling pengertian akhirnya tewas menggantung dirinya sendiri lantaran depresi.
“MAKANYA LO DENGERIN GUE DULU!” Suara Yazar naik beberapa oktaf, kesal lantaran kalimatnya harus terputus berulang kali. Ia meraih bahu mungil Harum dan mencengkeramnya dengan kuat. Dituntunnya gadis itu untuk menghadap ke arahnya sehingga kini iris berbeda warna milik mereka saling beradu.
“Gue percaya sama lo. Tapi, kita berdua saja enggak bisa ngelawan orang dewasa. Kadang, mereka tahu apa yang kita pikirkan, tapi kita enggak tahu apa yang ada dalam pikiran mereka.”
Harum menggigit bibir bawahnya. Menahan tangis untuk tak meluncur lebih deras lagi. Ia menundukkan kepala, melepas tatapan Yazar yang sesaat mengunci segala pergerakannya.
“Gue takut. Gue mau ketemu sama bokap gue terus ikut tinggal sama dia. Tapi, gue enggak tahu dia di mana. Gue enggak mau pulang, Zar. Gue takut.”
Lirih terdengar suara gadis ceria itu di telinga Yazar. Selama kenal dengan Harum, ini pertama kalinya ia melihat gadis itu menangis sehebat ini. Dalam satu gerakan, Yazar segera meraih kepala Harum dan memeluknya dengan erat. Membiarkan air mata gadis itu tumpah di dadanya.
“Jangan khawatir. Gue bakal minta bantuan orang yang jauh lebih dewasa buat nyelesain masalah ini.” Sandi, ayah Yazar adalah seorang polisi. Harusnya dia bisa dimintai bantuan. Namun, untuk saat ini ayahnya sedang tugas di luar kota.
“Untuk sementara ini, lo bisa tinggal di sini.” Walau Yazar tak yakin Heris akan mengizinkannya. “Jangan nangis lagi.”
Saat membuka mata, Harum disuguhi dua mangkuk mi instan yang sudah mengembang. Terlihat begitu menjijikkan, jadi ia membuangnya segera dan mencuci mangkuknya.
Semalam, baik ia maupun Yazar sama-sama tak memakan mi itu. Tak hanya meninggalkan mi miliknya, Yazar juga meninggalkan Harum sendirian di apartemen satu jam setelah menenangkan perasaan gadis itu. Yazar tidak mungkin tidur berdua bersama seorang gadis di satu tempat yang sama. Kendati apartemen itu luas dan mereka bisa tidur di ruangan berbeda. Namun, bagaimana pun juga, Yazar berpikir itu bukan hal baik yang patut dilakukan.
Lagi pula, Yazar lupa ada tugas kelompok yang belum diselesaikannya. Ia terlalu asyik bermain sampai-sampai lupa kalau tugas itu harus dikumpulkan senin ini.
Yazar itu tipe teman yang baik. Ia tidak pernah keberatan jika harus berkelompok dengan anak-anak malas. Yang bahkan mereka hanya tahu tugas selesai dan dapat nilai, sementara Yazar yang mengerjakannya sendiri. Sialnya, Yazar lupa mengerjakan tugas itu sehingga ia harus buru-buru pulang dan mengerjakannya dalam semalam.
Harum merasa tak enak dengan Yazar. Sejak pertama kali berjumpa, ia sudah banyak merepotkan laki-laki itu. Sebabnya, ia berpikir untuk pergi dari apartemen dan pulang saja ke rumah.
Setelah mencuci piring dan membereskan sofa tempatnya tidur semalam, Harum bergegas untuk pergi. Apa yang akan ibunya lakukan, ia akan memikirkannya nanti. Lagi pula, tinggal di apartemen milik orang lain tentu saja membuatnya tak nyaman.
***
Gw di jembatan.
Received
19:20:11
Today
From:
Arumanis
Getar ponsel di tangannya menghentikan seluruh pegerakan Yazar. Sepulang sekolah ketika ia datang ke apartemen, ia tidak menemukan Harum sama sekali. Cemas, ia mengirim puluhan pesan, tetapi Harum tak membalasnya sama sekali. Baru selepas ia dilanda gundah, pesan balasan itu muncul juga.
Gue ke sana sekarang.
Sent:
19:22:11
Today
To:
Arumanis
Yazar mengetik pesan balasan itu secepat mungkin. Lantas begegas menyambar jaket dan melesat pergi ke luar rumah. Karena anggota keluarganya yang lain belum pulang, Yazar hanya pamit pada Dijah. Menitip pesan kalau ia hendak menemui temannya sebentar.
Hanya butuh waktu sekitar sepuluh menit dengan berjalan kaki untuk sampai ke tempat tujuan.
“Lo inget sama kita?”
Langkah Yazar terhenti begitu suara itu menyapa telinga. Ia menoleh guna memastikan. Tentu saja ia tahu siapa ketiga orang yang saat ini menghalangi jalannya. Beberapa kali ia pernah menjadi korban kekerasan ketiga anak SMA itu.
“Enggak.” Yang terpenting sekarang adalah Harum. “Maaf, tapi gue harus pergi.” Yazar berniat untuk melewati ketiga orang yang lebih tua darinya itu saat salah satu dari mereka menahan bahunya.
Yazar berniat untuk berteriak dan meminta tolong, mengingat jalanan masih terlihat ramai oleh lalu lalang orang-orang. Namun, niatnya tertahan sebab tiba-tiba saja mulutnya dibekap. Kemudian tubuhnya diseret menuju tempat yang jauh lebih sepi.
Hal yang paling Yazar benci di saat-saat seperti ini adalah kemampuan bela dirinya yang nol besar dan …
“Udah gue duga kalau kakak lo itu sama pengecutnya kayak lo.”
… Heris Fiansyah, kakaknya.
Hanya karena popularitas sang kakak, Yazar sering menjadi korban bullying seperti ini. Padahal, ia tidak tahu apa-apa dan tak mengerti apa pun urusan Heris dan teman-temannya.
Tak ada kesempatan untuk Yazar melawan karena ketiga orang itu tahu-tahu mengunci seluruh pergerakannya di balik tembok. Bahkan ketika ponsel yang masih aman dalam genggamannya dirasa bergetar, dan Yazar berniat untuk mengangkat panggilan itu diam-diam, salah satu dari mereka menyadari gerak-geriknya. Dalam satu gerakan, ponsel itu berpindah tangan sebelum akhirnya hancur lantaran dibanting keras ke aspal dan diinjak tanpa perasaan.
Hancur berkeping-keping. Tak hanya hadiah terakhir dari kakeknya, pun perasaannya. Tanpa sadar, tangan Yazar terkepal. Namun, belum sempat ia melawan dan melampiaskan kemarahannya, seseorang meninju mukanya dengan keras. Disusul dengan pukulan-pukulan lain di sekitar tubuhnya.
Yazar merasa sesuatu menusuk jantungnya saat salah satu dari mereka menendang dadanya dengan keras. Kemudian, ia merasa sesaat paru-parunya menyempit. Ia tidak bisa bernapas. Asmanya kambuh, tentu saja. Alih-alih memberi perlawanan, Yazar lebih sibuk meredam segala sakit yang ada. Ia mencengkeram dadanya dengan kuat, berharap bisa melonggarkan sesak di dalam sana.
Di sela keputusasaannya, ketika ia merasa bahwa hidupnya akan segera berakhir, Yazar mendengar derap langkah disertai umpatan kasar, bertepi di telinga. Dalam samar, ia mencoba memastikan siapa yang menjadi penolongnya kini.
Mereka berjumlah empat orang. Yazar tak yakin siapa, tetapi …
“Yazar?! Lo baik-baik aja?”
… kala mendengar pertanyaan itu, Yazar yakin kalau dia mengenal suara gadis itu. Yazar ingin memastikan siapa kedua gadis yang tengah mengguncang tubuhnya, dan kedua laki-laki yang saat ini tengah bergelut di hadapannya. Namun, sakit di dadanya perlahan menenggelamkan seluruh sadar yang ada.Bersambung
Bandung, 07 April 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Memory
Teen FictionMurid baru itu bernama Harum Areta. Gadis super aneh yang sempat mencoretkan crayon penuh warna dalam lembaran hidup Yazar. Gadis yang selalu menempati ruang kosong dalam hatinya kendati gadis itu sempat hilang bertahun-tahun lamanya. Yazar tahu ada...