“HERIS Fiansyah ...
“He-ris Fi-an-syah.”
Beberapa sekon Harum pejamkan matanya. Kembali menghadirkan bayangan yang beberapa hari ke belakang sempat terekam ingatan.
Wajah itu, suara itu, mata itu, senyuman itu. Ia merasa pernah memilikinya di masa lalu. Memiliki? Entahlah, Harum tak yakin. Sekuat apa pun ia berusaha menggali, tak ada satu pun kenangan tentang sosok itu yang mau hadir ke permukaan.
“Argh!” Harum mengerang kecil kala kepalanya berdenyut. Hal yang sungguh dibencinya setiap kali berusaha menyelami masa lalu dan mencari kepingan kenangan yang telah menghilang.
Itu sebabnya Harum benci melangkah mundur. Karena selain sakit itu kerap hadir menemani, Harum pun yakin ada alasan menyakitkan kenapa pada akhirnya ia melupakan segalanya. Ia tak ingin kembali merasakan sakit itu.
Harum akan menolak seandainya dirinya yang sekarang digantikan dengan dirinya yang dulu. Namun …
“Aku tahu siapa Heris Fiansyah.”
… nama Heris Fiansyah terus menghantuinya selama beberapa hari ini.
“Look!” Aya berjalan lebih dalam memasuki kamar Harum. Meloncat heboh ke atas tempat tidur dan menghadapkan layar ponselnya tepat di depan wajah Harum.
Harum mengernyit dalam saat membaca tulisan di balik layar ponsel itu.
SEKIAN LAMA MENGHILANG, HERIS FIANSYAH KEMBALI SAPA PARA PENGGEMAR.
“Heris seorang seleb, ya?” Harum melempar tanya. Entah kepada siapa karena pandangannya kini terpusat ke arah layar ponsel yang perlahan meredup.
Aya mengangkat bahu pertanda tak tahu. Ia hanya sempat mendengar Harum menyebut-nyebut nama Heris Fiansyah sehingga ia turut merasa penasaran.
Selama beberapa tahun ini Aya mencoba untuk membantu memulihkan ingatan Harum kendati yang bersangkutan sepertinya menolak untuk itu. Bukan apa-apa, masalahnya Harum itu butuh masa lalunya untuk kemudian melangkah mantap menuju masa depan.
Karena bagaimana pun, meski kadang masa lalu adalah sesuatu yang menyakitkan, tetapi itu adalah sejarah penting yang tak boleh manusia lupakan.
Aya berniat untuk membuka halaman web favoritnya saat ia melihat nama Heris Fiansyah berada di kolom berita. Langsung saja begitu ingat Harum sering menyebut nama itu, Aya segera berlari memasuki kamar Harum yang memang berada tepat di samping kamarnya.
“Aya, apa mungkin dulu gue ini pacaran sama artis, ya?”
“Hm, bisa saja. Kamu, kan, cantik,” jawab Aya tanpa melirik Harum. Ia sibuk dengan isi chat yang baru saja masuk.***
Jam pelajaran terakhir baru saja berakhir saat Yazar melihat Mika dengan tergesa membereskan alat tulisnya sebelum kemudian bangkit.
“Zar, gue duluan!” Laki-laki pecinta basket itu melirik Yazar sekilas. Melangkah lebar-lebar meninggalkan kelas bahkan sebelum Yazar memberi respons kemudian.
Alis Yazar bertahut. Refleks ia menoleh ke arah Ginan yang tetap tenang, sebagaimana biasanya.
“Beberapa hari ini dia bersikap aneh sama gue. Kayak, gue itu enggak ada di deket dia.”
Nah, itu. Yazar heran kenapa Mika hanya pamit padanya dan tidak pada Ginan juga, padahal biasanya tidak seperti itu. Walaupun kadang Ginan tak menanggapi, tetapi Mika biasanya pamit juga pada Ginan jika memang harus pergi lebih dulu. Bahkan seingat Yazar, Mika lebih rekat dengan Ginan ketimbang dirinya yang kerap tak masuk sekolah lantaran kesehatannya yang buruk.
“Udah ditanyain kenapa?” Yazar menutup resleting tasnya dan segera bangkit saat Ginan melakukan hal yang sama.
Ginan menggeleng. Mereka berjalan keluar kelas.“Tanyain, dong.”
“Males. Lo aja.”
Hela napas pendek Yazar embuskan. Ia tak lagi menanggapi Ginan karena baru saja ponselnya bergetar. Ada chat masuk dari seseorang.
Yazar sontak menepuk jidatnya. Ia lupa kalau semalam sempat mengirim Aya pesan dan mengajak gadis itu ketemu.
“Kenapa?” Ginan bertanya heran.
“Lo ada les enggak hari ini?”
Gelengan singkat Ginan berikan, selagi matanya memicing.
“Anter gue ketemu cewek.”
Sejemang Ginan biarkan otak jeniusnya mencerna kata-kata Yazar. Selain Mika, keanehan itu juga turut menyerang Yazar rupanya. Ada yang tidak beres dengan teman-temannya, begitu pikirnya. Masalahnya, Mika yang biasanya heboh mendadak diam, dan Yazar yang biasanya tenang dan kalem tiba-tiba saja sok pecicilan ketemuan dengan perempuan.
“Ih, malah bengong. Buruan!”
Tak sempat memikirkan lebih jauh alasan kenapa teman-temannya berubah, Yazar tiba-tiba saja menarik tangannya. Terseok-seok Ginan mengikuti langkah cepat sahabatnya itu.Bersambung
Bandung, 18 Oktober 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Memory
Teen FictionMurid baru itu bernama Harum Areta. Gadis super aneh yang sempat mencoretkan crayon penuh warna dalam lembaran hidup Yazar. Gadis yang selalu menempati ruang kosong dalam hatinya kendati gadis itu sempat hilang bertahun-tahun lamanya. Yazar tahu ada...