Babak #9

303 28 0
                                    

PANIK. Satu kata yang bisa menggambarkan kondisi Harum kini. Tangan yang tengah menggenggam ponsel itu bergetar hebat. Keringat dingin bermunculan di tiap pori tubuhnya.

Sekali lagi gadis itu berusaha menghubungi Yazar. Namun, panggilannya tak jua mendapat jawaban.

Satu jam yang lalu Kanis dan ayahnya pergi ke gedung resepsi. Kanis akhirnya memiliki Ibunda baru setelah lima tahun ditinggal Ibu kandungnya. Harum memutuskan untuk tetap di rumah mengingat itu acara keluarga Kanis. Dan, sepuluh menit setelah Kanis pergi, Ratna tiba-tiba saja datang dan menyeretnya pulang.

Sekarang, ia terkurung di kamarnya sendiri. Dikawani kegelisahan yang mencekik seluruh pernapasan. Tiada kuasa Harum membayangkan seorang pria bejat memasuki kamarnya dan menjamah kesuciannya. Air mata Harum menderas makin keras kala panggilannya tak juga tersambung.

“Yazar, please! Angkat!” Bahkan ketika akhirnya pintu itu terbuka, Yazar tak juga merespons.
Bersamaan dengan ponsel yang terjatuh dari genggamannya, riuh tangisan Harum terdengar memilukan di ruangan bernuansa ungu muda itu. Demi Tuhan, Harum bahkan tak ingin melihat wajah pria yang kini berjalan mendekatinya.

Suara derap sepatu mahal yang menggema entah kenapa terasa seperti mencekik dan menyeretnya menuju lembah paling curam. Tangis Harum pecah makin hebat kala itu.

***

Sore ini, Yazar tidak tahu kenapa dadanya sakit sekali. Asmanya kambuh tanpa alasan. Seingatnya, ia tidak melakukan aktifitas berat. Seperti biasanya di beberapa minggu terakhir ini, sepulang sekolah ia hanya sibuk berkirim pesan dengan Harum sebelum akhirnya jatuh terlelap ke dalam bunga tidur.

Saat ia bangun, dadanya nyeri dan ia kesulitan bernapas. Keadaan rumah yang kosong melompong lantaran semua orang tengah sibuk dengan aktifitas masing-masing di luar rumah, membuat Yazar panik bukan buatan. Kepanikan itu jelas memperparah kondisinya.

Tanpa sempat mengecek pesan-pesan dari Harum, laki-laki penyuka warna biru itu sibuk mencari kontak Dina saat ia sadar inhaler miliknya tak ia temukan di mana pun. Namun, Dina tak menjawab panggilannya sama sekali.

Ketika napasnya kian memendek dan menghilang, ia mencoba menghubungi anggota keluarganya yang lain. Namun, hasilnya sama. Tak satu pun di antara mereka yang menjawabnya.

Alhasil, ia biarkan tubuhnya merosot di balik dinding kamarnya yang dingin. Hanya pasrah ketika si asma sialan itu makin menghimpit paru-parunya. Ketika napasnya kian lindap seiring penglihatannya yang mulai mengembun, Yazar merasakan getaran di tangannya.

Panggilan dari Harum.

Yazar ingin saja menjawab panggilan kekasihnya itu. Namun, jari-jari tangan yang mulai membiru—sama birunya dengan wajahnya—itu terasa begitu kebas.

Seolah tulang belulangnya melepuh, laki-laki itu merasa tubuhnya lemas tak alang kepalang. Satu detik setelah itu, ia tak ingat apa pun selain rasa nyeri yang bahkan terus mengikuti jauh ke alam bawah sadarnya.

***

Kembali ke tahun ini ...

“Perasaan bengong mulu lo dari tadi.”

Lamunan Yazar buyar. Suara dan tepukan Mika baru saja menariknya keluar dari genangan masa lalu yang nyaris menenggelamkan sadarnya. Laki-laki beriris cokelat muda itu refleks memutar bola mata seraya melempar senyum tipis ke arah kedua sahabatnya.

“Ada masalah?” Ginan mengempaskan tubuhnya di sisi kanan Yazar sementara Mika memilih posisi sebelah kiri. Ia sibuk mengusap peluh di sekitar dahi dan lehernya, begitu pun dengan Mika.

Yazar tidak mengerti kenapa kedua laki-laki berbeda kepribadian itu mau saja bermain basket di tengah terik seperti ini. Melihat seberapa merahnya kulit putih mereka saja membuat Yazar turut merasa kepanasan.

Yazar hendak berputus untuk pulang saat Mika mengajaknya ke lapangan basket. Sebab tak begitu suka berkeringat, alhasil Yazar hanya duduk menonton saja di pinggir lapangan.

“Enggak ada, kok.” Yazar menghadapkan botol air mineral ke hadapan Ginan.

“Lo lagi mikirin Harum, ya?” tebak Mika. Ia mengangguk kecil ke arah kakak-kakak kelas, yang turut bermain basket bersama, pamit pergi lebih dulu.

“Kanis enggak masuk, ya, Mik?” Alih-alih menjawab pertanyaan Mika, Yazar justru memberi pertanyaan balik. Seharian ini ia tidak melihat Kanis sama sekali. Padahal, katanya gadis itu akan menemui Harum hari ini.

Sama seperti sebelumnya, Harum masih diam dan pura-pura tak mengenalinya. Ia sibuk menutup diri dan tak ingin membuka pertemanan dengan siapa pun. Saat istirahat berlangsung, alih-alih ikut berdesak-desakkan di kantin untuk mengisi perut, gadis itu lebih memilih untuk menyendiri di perpustakaan, atau membaca novel di kebun belakang sekolah. Sungguh lain dengan Harum yang ia kenal.

Entahlah, terlalu banyak yang Yazar lewatkan di tiga tahun ini.

Saat itu, Yazar tidak ingat siapa yang menyelamatkannya. Saat membuka mata, Yazar tahu-tahu ada di rumah sakit. Berteman infus, masker oksigen, dan bermacam kabel yang menempel di sekitar tubuhnya. Lebih dari dua puluh empat jam ia tertidur, begitu kata sang ibu.

Kemudian, Yazar ingat dengan Harum dan pesan-pesan yang dikirimnya. Ia mencoba menghubungi Harum, tetapi tak bisa. Seterusnya pun demikian.

Harum menghilang. Rumahnya kosong dan Kanis juga tak tahu di mana gadis itu berada.

Bersama Kanis, ia mencoba mencari keberadaan Harum selama tiga tahun ini. Namun, Harum seperti ditelan Segitiga Bermuda. Gadis itu berhasil kembali, tetapi ia menjelema menjadi sosok lain. Asing. Tak Yazar atau siapa pun kenali lagi. Hanya satu yang tak berubah. Harum tetap cantik dan Yazar selalu mencintainya.

“Zar!” Kini giliran Ginan yang menepuk bahu Yazar, menyadarkan Yazar yang lagi-lagi larut dalam lamunan. Pasalnya, Mika sudah bosan melihat Yazar bengong seharian ini. Sudah beberapa kali cerocosannya hanya ditanggapi oleh kebisuan. Yazar itu bukan tipe orang yang senang mengabaikan orang lain macam Ginan, asal tahu saja.

“Bengong mulu. Kerasukan setan lo entar,” celetuk Mika kemudian.

Yazar mendelik. “Asal jangan kerasukan lo, deh. Lebay gue entar.” Susah sekali rasanya untuk fokus seharian ini. Selama belum memastikan kalau Harum Areta, teman barunya itu, gadis masa lalunya, kekasih yang pernah mewarnai hariya, Yazar tak yakin hari-harinya akan tetap normal sebagaimana biasanya.

“Semprul!” sungut Mika. Menjitak pelan kepala Yazar.

Yazar meringis selagi tangannya mengusap kepala. “Orang ganteng, kan, bebas.”

“Ganteng tapi jomblo.”

Gue enggak jomblo nyaho, batin Yazar. Harum masih kekasihnya sampai saat ini. Mereka belum putus sama sekali. “Mentang-mentang udah punya Kanis lo!”

“Ceweknya cewek jadi-jadian lagi,” celetuk Ginan tiba-tiba. Sejak awal, bahkan sebelum Mika jadian dengan Kanis, laki-laki minus ekspresi itu memang tak menyukai Kanis, begitu pun dengan Kanis. Kerap mereka sering bertengkar bahkan hanya karena hal sepele. Bagi Ginan, Kanis itu cewek setengah jadi yang menyebalkan.

“Balik yuk, Zar.”

Baru saja Mika hendak melontarkan protes campur sumpah serapah tatkala Ginan bangkit dan meninggalkan tempatnya. Meskipun tomboi dan agak sediki galak, tetapi Kanis itu cantik dan baik. Ginan hanya melihat kekasihnya dari satu sudut saja.

Kadang, perlu menilai seseorang dari berbagai sudut sebelum memutuskan apa kita perlu menanam kebencian atau tidak untuk orang tersebut.
Yazar turut berdiri begitu pun dengan Mika. “Udahlah. Ginan, kan, emang gitu orangnya.” Ginan itu defensif. Sangat sulit merubah pendiriannya.

“Gue jadi penasaran, cewek masa lalu yang selalu dia pu—” kata-kata Mika terputus begitu tubuhnya dirasa menabrak sesuatu. “Ginan! Ngapain, sih, lo berhenti tiba-tiba?”

Yazar memandang Ginan yang tiba-tiba saja mematung di tempatnya. Mika yang berdiri tepat di belakang laki-laki sedingin salju itu sampai menubruk punggung tegaknya.“Ada apa, Nan?” tanya Yazar seraya melempar pandang ke arah objek yang jadi fokus Ginan di luar pagar sekolah sana.

“Dia ...” Suara Ginan terdengar mengambang.

Bersambung
Bandung, 17 April 2022

Last MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang