MALAM itu, tangis Harum pecah. Tubuhnya bergetar hebat. Sobek parah di bagian depan bajunya menambah rebak dalam dada. Tangannya terkepal, menahan getar ketakutan yang kian meremas kuat jantung. Gedoran hebat di dadanya membuat ia sesak dan sulit mengambil udara.
Kembali, mata Harum melirik sosok yang kini terbujur kaku bersimbah darah beberapa meter dari posisinya saat ini. Bau amis cairan merah pekat yang menusuk hidung bangirnya sesaat menyadarkan Harum bahwa baru saja ia telah …
“YA TUHAN!”
… menghilangkan nyawa seseorang.
“Apa yang kamu lakukan, Sialan?!”
Lantaran berusaha melindungi diri, Harum akhirnya kalap. Saat ia dipaksa menyerahkan kesuciannya, Harum menangis, meronta, mengamuk, dan tanpa sadar memukul kepala pria jalang itu dengan botol minuman yang turut dibawa oleh si pria.
Harum tidak tahu kalau pria itu akan tumbang karena pukulannya. Berdarah hebat sebelum akhirnya terbujur kaku menjadi mayat.
Dengan kaki yang masih bergetar, Harum mencoba bangkit. Dengan tangan bertumpu pada dinding ruangan, ia balas menatap nyalang mata Ratna yang kini dilumuri kepanikan campur dengan kemarahan.
“INI SEMUA GARA-GARA MAMA! HARUM MENJADI PEMBUNUH KARENA MAMA!”
Teriakan Harum menggema di ruangan bernuansa ungu itu. Ratna mengatupkan rahangnya kuat-kuat. Dalam satu gerakan ia menarik rambut Harum dan menyeretnya keluar kamar, meninggalkan jasad yang masih bersimbah darah di sana.
“DASAR BRENGSEK! KAMU HARUS BERTANGGUNG JAWAB!”
Harum menjerit keras. Berusaha melepaskan cengkeraman tangan si Ibu dari rambutnya. Hujan di balik matanya makin deras, diselingi isak tangis dan getar ketakutan di balik suaranya.
“SAKIT, MA! LEPASIN!” Entah bantuan tenaga dari mana, Harum mendorong tubuh Ratna hingga cengkeraman tangan wanita itu terlepas. Beberapa helai rambut Harum bahkan ikut tertarik dan rontok. Lantas semuanya terlalu cepat dalam pandangan Harum. Benar-benar cepat sampai ia tak sadar ketika …
“MAMA!”
… tubuh wanita itu terjerembab di anak tangga paling bawah. Darah mengucur dari pelipis dan juga hidung Ratna yang untuk sesaat menatap Harum sendu kemudian terpejam, terenggut dalam pingsan.
Harum mengerang kala ingatan itu mampir beruntun. Kerikil kenangan itu menimpuki kepalanya hingga nyeri. Napasnya memburu seiring jambakan tangannya yang kian menguat di balik surai kecokelatannya. Keringat di seluruh pori tubuhnya kemudian saling rebut minta keluar.
Harum kini ingat. Kenangan paling menyakitkan itu yang kemudian membuka semua kenangan yang ada. Hellen benar, ia hanya perlu perlahan mengingat kenangan paling menyakitkan dalam hidupnya untuk kembali menemukan siapa dirinya. Karena beberapa detik kemudian seperti sebuah film, kenangan itu terputar kembali dalam kepalanya.***
“Ibumu tidak bisa kami selamatkan, adik.”
Beberapa saat yang lalu dokter mengatakan hal itu. Namun, bukan itu yang membawa Harum berdiri di atas gedung rumah sakit. Melainkan kenyataan bahwa ia penyebab Ratna meninggal, adalah alasan kenapa ia bersiap menjemput kematian itu sendiri. Belum lagi nyawa lain yang sempat ia hilangkan yang saat ini mungkin masih terbujur kaku di kamarnya.
Ia adalah pembunuh. Jika ia tetap hidup, mungkin ia hanya akan hidup digulung rasa bersalah. Lebih parahnya ia akan menjadi seonggok manusia tak berharga yang menghabiskan masa remajanya di sel penjara. Jadi, apa gunanya ia tetap berada di dunia yang fana ini. Terlebih kala sadar tak ada siapa-siapa lagi yang ia miliki di dunia ini.
Tidak! Ia mungkin masih memiliki seseorang.
Yazar. Wajah laki-laki itu kemudian terbingkai di balik mata lelahnya. Namun, pembunuh sepertinya masih pantaskah untuk laki-laki sebaik Yazar?
Harum terenyuh dalam diam. Dalam hati ia menertawakan dirinya yang payah dan menyedihkan.
“Benar, Yazar bahkan enggak akan mau lagi deket-deket sama gue. Gue emang pantes mati.”
Selamat tinggal Yazar.
Selamat tinggal kenangan berarti.
Hal terakhir yang Harum ingat di sisa-sisa waktu sebelum gravitasi menarik tubuh ringkihnya adalah …
“AAAAA—MOM!”
… Yazar. Semua tentang Yazar.
“Dia jatuh tepat di depanku. Terlalu mengerikan jika diingat.”
Yazar menahan napas selama beberapa saat ketika Aya menyelesaikan ceritanya. Tak berani membayangkan seberapa mengerikannya kejadian itu. Sekilas ia menatap Ginan yang kini duduk di sampingnya. Laki-laki itu menyimak walaupun terlihat tak begitu tertarik. Justru yang menarik perhatiannya adalah sosok gadis berwajah bule yang saat ini duduk berhadapan dengannya.
Aya sibuk mengusap wajahnya dengan kasar. Berusaha mengusir bayang mengerikan yang sempat ia alami. “Beruntung Harum bertemu dokter hebat seperti Mom. Dia berhasil diselamatkan walaupun memerlukan beberapa tahun lamanya untuk memulihkan kondisi tulang dan syaraf-syarafnya yang sempat melumpuh.”
Ada banyak yang ingin Yazar tanyakan, tetapi mendadak semua kata yang ingin ia utarakan tersendat bersama udara dalam paru-parunya. Sesak. Sesak sekali di dalam sana.
“Ah, aku lupa menceritakannya. Rumah sakit tempat di mana Harum mencoba bunuh diri adalah rumah sakit baru yang Mom bangun di Indonesia. Baru diresmikan beberapa minggu sebelum insiden bunuh dirinya Harum. Ibunya Harum adalah orang pertama yang tak berhasil tim rumah sakit selamatkan. Itu sebabnya, Mom merasa bertanggung jawab untuk keselamatan Harum. Jadi, ia berjuang dengan keras menyembuhkan Harum. Setengah tahun berobat di Amerika sebelum akhirnya kami sama-sama pulang ke Milan, tempat tinggal kami. Bersama-sama kami berusaha memulihkan ingatan Harum.”
“Tapi, bahasa Indonesia lo fasih, ya?” Ginan bersuara. Keluar dari tema perbincangan yang sedang berlangsung.
Aya terkikik. Menatap Ginan dengan pipi merona. Sejak awal bertemu, Aya suka melihat gerak-gerik Ginan. Kalem, tak banyak bicara, datar, tak bisa berekspresi dengan baik dan dingin semacam es. Tipe laki-laki yang sungguh Aya gemari.
“Aku lahir dan besar di Indonesia. Dad bahkan asli Indonesia. Hanya saja, gen Mom menurun banyak padaku. Saat aku berusia sepuluh tahun, Dad meninggal. Karena kehidupan cukup sulit tanpa Dad, aku akhirnya dikirim ke Milan untuk tinggal bersama nenekku. Sementara Mom melanjutkan kuliah kedokteran di Amerika sampai ia lulus dan kemudian menikah lagi dengan seseorang di sana.”
“Apa kita pernah bertemu sebelumnya, Aya?” Ginan kembali melempar tanya, mengundang tolehan dari Yazar sementara Aya sontak menyipitkan mata bulatnya. “Bukan apa-apa, gue cuma ngerasa pernah lihat lo sebelumnya.”
“Nan, gue angkat telepon dulu, ya?” Yazar memilih untuk bangkit dan menjauh saat dirasa ponselnya bergetar. Panggilan dari Dina.
“Zar, Kikan sama Abang kamu, kok, enggak ada di rumah, ya?”
“Hah?” Yazar tak begitu fokus. Cerita Aya tentang apa yang sudah terjadi pada Harum masih berputar-putar dalam kepalanya.
“Ibu udah beliin hadiah buat mereka sebagai permintaan maaf. Tapi, pas ibu pulang, mereka udah enggak ada.”
Memijit pelan keningnya, Yazar berusaha memenuhi paru-parunya dengan udara positif. “Lagi pergi keluar kali, Bu. Tunggu aja.”
“Tapi, baju sama barang-barang mereka enggak ada, Yazar.”Bersambung
Bandung, 21 Oktober 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Memory
Teen FictionMurid baru itu bernama Harum Areta. Gadis super aneh yang sempat mencoretkan crayon penuh warna dalam lembaran hidup Yazar. Gadis yang selalu menempati ruang kosong dalam hatinya kendati gadis itu sempat hilang bertahun-tahun lamanya. Yazar tahu ada...