DALAM hidup, tak sedikit orang yang pernah mengalami kata terlambat. Menyesal, mungkin saja. Namun, penyesalan sungguh tidak akan mengubah apa pun. Benar, waktu memang egois, tidak pernah ingin berhenti, tetapi ia selalu memberi kesempatan untuk manusia memperbaiki diri.
Yazar Mahendra masih sibuk berkutat dengan ponselnya. Berulang kali mencoba menelepon nomor yang sama. Dengkus keras kemudian terdengar. Percuma saja, seribu kali pun ia mencoba menghubungi, baik Kikan maupun Heris tidak akan mengangkat panggilannya. Ponsel mereka kompak tidak aktif.
Apa mereka sedang di pesawat, ya? Kok Abang enggak bilang ya mau balik ke Thailand? Yazar membatin.
“Zar, Ibu udah terlambat, ya? Kikan sama Abang kamu pasti udah benci banget sama Ibu.” Di samping Yazar Dina tampak menunduk, menenggelamkan seluruh wajah penuh penyesalannya di balik telapak tangan. Frustrasi. Khawatir.
Mengulas senyum tipis, Yazar berusaha menengkan perasaan si Ibu. “Enggak mungkinlah, Bu. Kayak yang enggak tahu aja Abang gimana. Dia, tuh, enggak pernah nyimpen dendam sama orang lain. Lagian, kalau emang dia niat membenci Ibu, mungkin udah dari dulu dia lakuin. Tapi, buktinya enggak, kan?”
Dina tak lagi merespons. Fakta bahwa anak-anaknya tumbuh menjadi sosok pemaaf dan berjiwa besar, justru menikam sadis perasaannya.
“Ibu tenang aja.” Jujur kepala Yazar begitu penat saat ini. Selain dipenuhi kekhawatiran akan keberadaan kakak-kakaknya, juga nama Harum yang sejak tadi turut berkelebatan dalam benaknya.
Yazar terkesiap seketika saat tiba-tiba saja ponselnya berdering. Tanpa memastikan siapa yang menghubungi, ia sontak mengangkat panggilan itu. Berharap itu salah satu dari mereka—Kikan dan Heris.
“Yazar ...” Suara itu terdengar tak asing. Seperti semua kenangan yang pernah mereka berdua lewati, Yazar tidak akan pernah melupakannya.
“Harum?” Setelah tahu kejadian yang sebenarnya kenapa ingatan Harum lenyap, entahlah, Yazar merasa kata-kata untuk Harum turut lenyap juga.
“Gue mau minta tolong sama lo.”
“Apa?”
“Anterin gue ke suatu tempat.”***
Yazar terkejut saat Harum membawanya ke tempat ini. Bukan lantaran rumah berlantai dua yang dikelilingi garis polisi itu terlihat angker. Namun, ia tak tahu harus bersikap seperti apa seandainya alasan Harum mengajaknya ke rumah ini adalah karena Harum sudah mengetahui semuanya.
“Yazar ...”
Yazar menoleh. Menatap bagian samping wajah gadis bersurai cokelat itu. Enggan masuk, mereka hanya berdiri mematung di depan pagar rumah.
“Gue inget pernah berdiri bareng lo di sini.”
Yazar tak lantas merespons. Entah itu sebagian atau keseluruhan, Yazar tahu kalau Harum mulai mengingat dirinya.
“Waktu itu lo kasih tahu gue siapa pencipta instagram. Lo ngomong banyak hal. Gue enggak begitu inget, tapi yang pasti gue bahagia banget waktu itu.”
“Lo inget semuanya?”
Harum mengangguk.
“Semua tentang gue? Tentang kita?”
“Ya. Termasuk semua hal mengerikan yang terjadi di dalam sana.”
Sesaat Yazar mengernyit. Tentu yang ia dengar dari Aya itu sebagian saja. Alasan Harum bunuh diri pasti tak hanya lantaran ibunya tak bisa diselamatkan. Waktu itu, Yazar kira alasan kenapa rumah Harum dikelilingi oleh garis polisi lantaran menjadi TKP kasus prostitusi. Tahunya ada alasan lain yang—kata Harum—mengerikan.
“Kejadian apa?” Yazar penasaran. Namun, ekspresi sedih Harum membuat Yazar terpaksa harus menahan rasa penasaran itu. Sebab, alih-alih menjawab pertanyaannya, gadis itu justru tiba-tiba mengalihkan pembicaraan.
“Naik bianglala yuk, Zar.”
Beberapa saat terdiam guna berpikir, akhirnya Yazar mengangguk. Ia paham kalau gadis itu belum siap bercerita. Tentu, Yazar tidak ingin memaksa. Ia yakin saatnya nanti Harum pasti akan memberi tahu segala sesuatunya.***
Bersama Harum, Yazar berjalan membelah malam. Kendati situasi mulai terlihat sepi lantaran waktu mulai beranjak malam, tetapi entah kenapa hati Yazar terasa begitu ramai. Hangat.
Melihat Harum berjalan di sampingnya, membuat Yazar begitu bahagia. Terlebih saat membayangkan untuk kedua kalinya ia akan duduk berdua bersama Harum di atas bianglala, seperti dulu.
Bianglala. Di sana, kisah indah itu tercipta. Mengukir kenangan berarti kendati berakhir tanpa pasti. Mungkin, hari ini di atas bianglala, mereka akan memulai kembali kisah itu. Jujur, membayangkannya saja membuat hati Yazar berdesir-desir tak keruan. Bahagia. Saking bahagianya, ingin rasanya ia merangkai berpuluh-puluh puisi untuk ia persembahkan kepada Harum.
“Yazar ...” Harum memecahkan keheningan.
“Hm?”
“Maaf, ya, udah sempet lupain lo.”
Senyum tipis Yazar terulas. “Enggak apa-apa.” Karena yang penting untuk Yazar sekarang adalah Harum sudah mulai mengingatnya kembali.
Kemudian, hening kembali merajai. Kecanggungan meliputi keduanya.
“Itu Heris Fiansyah, kan?”
Mendengar nama kakaknya disebut kontan mata Yazar beralih, mengikuti arah pandangan Harum. Seketika itu manik sewarna kopi susu milik Yazar membola sempurna.
Di sana, tepat di seberangnya, Yazar melihat Heris berkelahi dengan tiga orang sekaligus. Di belakangnya, Kikan tampak berusaha melindungi diri. Tak bisa berpikir lama, Yazar segera berlari mendekat. “Harum, lo tunggu di sini.” pesannya.
Tak ingin menuruti perintah Yazar, Harum justru ikut berlari mengikuti laki-laki itu. Ia tahu, Yazar tidak sejago itu berkelahi. Namun, mencegah untuk tidak menolong juga jelas bukan pilihan. Terlebih orang yang saat ini butuh pertolongan adalah saudaranya sendiri.
Lama tak jumpa, tetapi Yazar tidak akan lupa dengan ketiga orang yang saat ini tengah bergelut dengan si Kakak. Mereka orang yang sama yang pernah mengeroyoknya hingga nyaris mati. Sampai saat ini Yazar tidak tahu apa masalah antara ketiga orang itu dengan Heris. Yang pasti, perlakuan mereka padanya beberapa tahun ke belakang dan kejadian saat ini, Yazar yakin kalau urusan mereka bukan sekadar perempuan atau kalah tanding basket.
Pasti ada masalah yang lebih besar! Terlebih ketika …
“JANGAN!” Yazar mempercepat langkah kakinya dan sesegera mungkin menarik Kikan ke dalam rangkulannya.
… salah satu dari mereka bahkan tak segan-segan—hendak—memukul Kikan yang tengah melindungi diri di balik punggung Heris dengan balok kayu. Benar, nyaris saja balok kayu itu melayang mengenai tubuh Kikan seandainya Yazar tidak menjadikan tubuhnya sebagai tameng.
“YAZAR!” Harum menjerit panik. Kejadian itu terlalu nyata untuk ia anggap mimpi semata. Di depan lensa matanya, semuanya terekam sempurna. Bagaimana balok kayu itu menghantam kepala Yazar dengan keras, membuat tubuh Harum seketika bergetar hebat.
Yazar masih berusaha mempertahankan posisinya—mendekap Kikan—sebelum memastikan orang-orang itu pergi menjauh. Kendati rasa perih dan ngilu di bagian kepalanya membuat fokusnya kian terombang-ambing, ia tetap berusaha mempertahankan sadarnya. Tubuhnya bergetar dan Yazar bisa merasakan sesuatu mengalir di balik sela-sela rambutnya, kemudian merembes membasahi keningnya. Baunya membuat Yazar yakin kalau itu Darah.
Baru saat Heris berbalik dan Kikan berusaha melepaskan pelukannya, tubuhnya terkulai tak bertenaga. Mungkin akan ambruk ke atas jalan seandainya Harum tak menahannya dengan segera.
“Yazar! YAZAR!”
“Yazar! Lo harus tetap sadar, oke!”
“Jangan tidur, Yazar! PLEASE!”
Suara tangis pilu Kikan, tepukan tangan Heris di pipinya, juga tangan lembut Harum yang tak berhenti mengguncang tubuhnya, tak bisa menahannya untuk tetap tersadar. Sekuat apa pun Yazar berusaha mempertahankan sadarnya, sakit itu makin menjejalkannya ke dalam mulut kegelapan.Bersambung,
Bandung, 28 Oktober 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Memory
Teen FictionMurid baru itu bernama Harum Areta. Gadis super aneh yang sempat mencoretkan crayon penuh warna dalam lembaran hidup Yazar. Gadis yang selalu menempati ruang kosong dalam hatinya kendati gadis itu sempat hilang bertahun-tahun lamanya. Yazar tahu ada...