YAZAR baru saja hendak mengetuk pintu ruangan perawat saat pintu bercat putih itu terbuka. Kebetulan sekali sosok Dina yang muncul di hadapannya.“Ibu ...” Yazar menghalangi langkah Dina di ambang pintu. Kejadian tadi pagi membuat Yazar akhirnya berkunjung ke rumah sakit tempat ibunya bekerja dan tak langsung pulang ke rumah.
Dina berdecak. Ia berusaha menyingkirkan tubuh Yazar, tetapi tampaknya tubuh putra bungsunya itu kini sudah jauh lebih tinggi darinya. Sulit sekali ditembus. “Ibu sibuk, Yazar. Pulang sana!”
“Iya, tetapi Ibu jangan marah, dong.”
“Ibu enggak marah!”
“Tapi ngambek?”
“Ibu enggak ngambek!”
“Ah, Ibu bohong ...” Yazar merentangkan tangan begitu Dina berusaha menerobos pertahanannya. Tak peduli seandainya orang yang melintas berpikir bahwa ia tak sopan. Terlebih saat ini ia masih mengenakan seragam sekolah lengkap.
“Yazar, jangan ngerengek kayak bocah!” Amarah Dina perlahan naik. Namun, ia masih berusaha menahannya untuk tidak meledak-ledak. Ingat kalau mereka tengah berada di rumah sakit saat ini.
“Ibu, kok, tiba-tiba kayak gini sih? Ibu cemburu sama Mbak Kikan, ya?”
“Awas, Yazar. Ibu harus memeriksa pasien, tahu.” Tak ingin membahas apa pun tentang Kikan, Dina kembali berusaha menerobos pertahanan Yazar. Namun, sulit sekali. Ia tidak mengerti kenapa Yazar yang kurus dan gampang sakit, bisa sekuat saat ini.
“Iya, tetapi Ibu kenapa dulu?"
“YAZAR!”
“Ibu, Yazar minta maaf kalau misalkan Yazar salah. Yazar ...”
“Suster Dina, bisa tolong bantu saya sebentar?”
Kalimat Yazar terputus. Seseorang baru saja menginterupsi perdebatan yang tengah terjadi. Menurunkan kedua tangannya, kemudian laki-laki pengidap asma itu membalikkan badan guna memastikan siapa yang mengganggu acara memohon ampunnya. Seorang wanita bule dengan name tag “Dr. Hellen” di balik snelli dokternya, tampak memenuhi penglihatan Yazar kini.
“Baik, Dok.” Dina mengangguk sopan. Berjalan melewati Yazar sebelum mendorong pelan tubuh anak bungsunya itu. Lantas, kedua wanita itu berlalu meninggalkan Yazar yang hanya bisa mematung di tempatnya.
Begitu tubuh Ibu dan rekan kerjanya itu menghilang di balik lorong rumah sakit, Yazar menghela napas panjang. Ia berjalan meninggalkan ruangan perawat dan mendudukkan diri salah satu kursi tunggu tak jauh dari ruangan tersebut. Ia bertekad akan menunggu Dina kembali dan mengajak si Ibu pulang bersama.
Guna mengisi kekosongan, Yazar memilih memainkan ponselnya. Tiga tahun berlalu, tetapi Yazar menolak untuk mengganti ponsel itu. Selain karena ia bukan tipe orang yang gampang bosan, yang mudah mengganti sesuatu hanya untuk mengikuti tren, Yazar juga enggan membuang semua kenangan yang ada.
Baginya, selain Nokia jadulnya yang rusak lantaran dihancurkan oleh teman-teman kakaknya dulu, ponsel seri itu juga menyimpan banyak memori yang tak akan pernah terhapus kendati zaman telah berubah. Kenangan itu adalah saat-saat indah bersama dia. Harum.
Lama, Yazar terdiam di sana. Menghabiskan waktu dengan memainkan game Ludo tanpa minat. Sampai suara derap langkah menarik perhatiannya. Guna memastikan kalau itu Dina, Yazar mengangkat kepala dan ia terperangah. Salah satu dari dua orang yang kini melintas di hadapannya adalah orang yang Yazar kenal jelas.
“Harum.” Mulut Yazar tak tahan untuk tidak memanggil nama itu.
Seketika, Harum menghentikan langkahnya. Ia menoleh ke arah orang yang baru saja memanggil namanya. Begitu pun dengan gadis berambut pirang di sampingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Memory
Teen FictionMurid baru itu bernama Harum Areta. Gadis super aneh yang sempat mencoretkan crayon penuh warna dalam lembaran hidup Yazar. Gadis yang selalu menempati ruang kosong dalam hatinya kendati gadis itu sempat hilang bertahun-tahun lamanya. Yazar tahu ada...